Quo Vadis PPN 12%
Nyalalah nyali. Keadilan adalah kebenaran dalam tindakan. Hari ini keadilan akan makin sukar, jika kita diam saja dalam kepastian hukum. Negara ini adalah negara hukum, dan negara hukum tidak boleh tegak berpihak pada yang titip proyek/kasus apalagi pada yang bayar. Pajak adalah instrument demokrasi, maksudnya yang berasal dari rakyat ya harusnya Kembali ke rakyat. Logika linier semacam ini seharusnya begitu cara merumuskan kebijakan fiskal, sehingga ada mutual trust dalam kebijakan spending policy yang akan dilaksanakan. Intinya harus berkonten: “berkualitas, adil, dan merata”. Yang membuat polemik Masyarakat saat ini adalah “kenapa sabun, sampo, dan sejenisnya” juga terkena dampak tarif PPN 12%, padahal ini bukan barang mewah? Maka “lumrah” jika muncul petisi menolak kenaikan PPN 12%.
Kejutan pemerintah masa jabatan baru + akhir tahun ini ada banyak. Satu, urusan PPN 12%. Dua, RUU tax amnesty atau pengampunan pajak yang sudah digodok di legislasi 2025. Ini jelas akan menjadi “Ambivalensi Policy Pajak”. Narasi keadilan menjadi tidak relevan untuk PPN yang masuk kategori indirect tax. Pajak selayaknya memudahkan administrasi, sederhana, dan mendorong daya beli. Bukan malah berlaku sebaliknya.
Lalu jalan keluar dan strateginya bagaimana? Apakah ada? Sedikitnya saya melihat ada 3, yaitu sbb: Pertama, PPN adalah indirect consumption, cara agar tidak menyakiti masyarakat kecil adalah “geser ke shifting forward”, cara ini akan langsung berpengaruh ke spending, langsung mempengaruhi harga, dan daya beli. Rumus ekonomi perpajakan menunjukkan “kenaikan tarif akan menurunkan kesejahteraan”. Kedua, Perlu pendekatan sistem untuk menggeser atau melakukan percepatan ekonomi dan penerimaan negara, tidak melulu dari meng-up tarif pajak. Implikasi akan lebih banyak menjadi bola salju dibandingkan manfaatnnya. Ketiga, Ekstensifikasi obyek PPN perlu dieksplor lebih kreatif. Contoh konkrit? “ya tolong itu digeser dari pajak yang fokus ke sektor konsumsi ke sektor investasi”. Cara ini akan membuat kelaziman nasional internasional. Inilah keberpihakan yang strategis dalam pembangunan nasional.
Lalu peluangnya ada dimana? Peluangnya adalah di tantangan memahami PPN tidak boleh langsung jump into conclusions, karena PPN berbeda dengan pajak penjualan atau sales tax. Oleh karena itu, kita harus melihat lebih detil teknis dan mekanismenya. Secara teknis, Indonesia menganut indirect substraction method. Misal, RS premium yang belum tentu memberikan kontribusi pajak, bisa jadi malah sebaliknya pemerintah yang memberikan restitusi. Kalau pajak dibebankan ke konsumen, misal pasien membayar 12% sementara RS di belakang layar malah mengklaim restitusi. Ini alih-alih mendapatkan tambahan penerimaan, malah sebaliknya. Solusinya? Sebagaimana UU HPP tak berlaku mekanisme perkreditan. Cara ini bisa dipakai, yakni negara justru partial part revenue dengan cara 70% pendapatan pajak/ penerimaan dibayar RS dan aturan tidak bisa dikreditkan. Dengan cara ini, metode perluasan obyek pajak PPN premium akan bisa meningkatkan penerimaan negara, dan cost of taxation menjadi murah.
Ada tanda tanya hari ini, apa itu? Pengumuman berbagai stimulus fiskal justru menunjukkan sebenarnya pemerintah menyadari betul dampak berganda/ multiplier effect kenaikan tarif PPN. Ini yang menjadi tanda tanya besar, kenapa pemerintah masih tetap menaikkan tarif PPN. Potensi naik menjadi tidak sebanding dengan gejolak ditimbulkan. Ending-nya menjadi paradoks policy cost pada otoritas fiskal negara. Tolong ini dijawab dan diberikan solusinya.
Penutup. Belajarlah untuk mulai melihat perbedaan antara kritik membangun dengan kebijakan titipan yang merusak. Hal ini penting karena jangan sampai kita suka membuat langkah-langkah yang melukai rakyat. Jangan membuat keadaan makin susah. Belajar dari masalah ini, seharusnya pemerintah punya alat deteksi keresahan, penolakan, resistensi PPN 12%, serta resistensi kebijakan publik strategis lainnya kedepan. Sebagai abdi rakyat, bukan alat kekuasaan. Apalagi kondisi data saat ini daya beli masyarakat yang terus merosot.
Salam,
Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!
Komentar
Posting Komentar