Siapa Obyek Makan Siang Gratis?
Tentang program makan bergizi gratis ini saya jadi teringat ucapan Joss Whedon (Producer, Screenwriter), yaitu: “Humor membuat kita tetap hidup. Humor dan makanan. Jangan lupakan makanan. Kamu bisa pergi seminggu tanpa tertawa, tapi tidak bisa tanpa makanan”. Harus diakui bahwa dalam kehidupan kita, makanan memiliki peran bentuk kenyamanan yang paling primitif. Saat orang kenyang, umumnya akan diakhiri dengan pembicaraan yang baik, pembicaraan yang produktif. Ini sebabnya katanya makanan bagi pemerintahan Prabowo saat ini menjadi simbol cinta, keberpihakan, dan keadilan bagi semua rakyat khususnya rakyat kecil, ketika ditengah janji-janji, wacana-wacana dan kata-kata manis yang tidaklah memadai.
Saya melihat, program MBG (Makan Siang Gratis) seyogyanya dilaksanakan lebih selektif, khususnya bagi para penerima manfaat yang terfokus. Pertanyaannya, siapa sesungguhnya obyek penerima makan siang gratis ini? Datanya dimana-mana kok sulit sekali njedul. Kenapa ini penting? Hal ini tentu penting karena sebagai dasar potret dan analisis sekaligus membuat ukuran stabilitas beban riel APBN saat ini. Kalau menelisik data IFSR berdasarkan benchmarking data di Amerika Serikat, bahwa program MBG ini perlu biaya 30 milyar dollar AS atau setara dengan Rp 450 triliun per-tahunnya. Logika angka ini didapatkan jika menggunakan indeks 1 dollar per-1 makanannya. Analisa data ini yang menalar pentingnya siapa saja obyek MBG dan berapa banyak volume targetnya di Indonesia, sehingga kita punya dasar gambaran anggaran implementasi yang riel jika dilaksanakan di Indonesia.
Saya coba langsung menjawab pertanyaan diatas dengan data semaksimal yang bisa saya temukan di lapangan. Program MBG paling relevan penerima manfaat terfokusnya adalah warga miskin. Data yang saya himpun menunjukkan bahwa jumlah kelompok warga miskin yang bisa masuk dalam kriteria penerima program makan bergizi gratis sepertinya akan lebih sedikit jumlahnya dibandingkan jumlah target pemerintah tahun ini, yaitu 19,47 juta warga. Dasarnya didapatkan darimana? Dasarnya data Litbang Kompas menunjukkan bahwa ada 11,3 juta orang yang masuk ketagori miskin atau 12% dari total 93,8 juta kriteria kalau dimasukkan dalam orang penerima MBG. Dari data 11,3 juta tsb indikator kemiskinannya adalah konsumsi kalori yang kurang dari angka kecukupan gizi. Lalu sisa data lainnya menyebutkan ada 3,8 juta (33,5%) anak balita dari keluarga miskin, lalu sisanya 1,9 juta (1,66%) dari ibu menyusui, dan 168.513 (1,5%) adalah ibu hamil keluarga miskin. Disini data memang perlu diperdalam, tapi minimal lumayanlah ada sedikit gambaran daripada tidak sama sekali.
Tantangan data saat ini adalah program makan bergizi gratis sebaiknya diprioritaskan bagi warga miskin agar anggaran tepat sasaran. Masalahnya, gambaran detil target penerima program ini belum tergambarkan sejauh mana. Namun yang pasti, saya setuju bahwa program ini sebaiknya mengerucut pada fokus kelompok warga sulit akses makanan bergizi, seperti anak sekolah umum atau santri, anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui dari warga miskin. Untuk warga berkecukupan lebih, sebaiknya tidak.
Lalu apa saja masalah-masalah, kendala, dan tantangan lapangan yang kita hadapai saat ini? Saya melihatnya ada banyak sekali, antara lain: (1) Program makan bergizi gratis siapa yang untung? (2) Realisasi program berdana besar tentu membuka celah korupsi di setiap lini dan daerah, bagaimana cara memitigasinya? (3) Bagaimana utak-atik anggaran makan bergizi gratis yang efektif? (4) Sebetulnya, tuntutan warga saat ini tidak muluk-muluk misal menjadi kaya, melainkan lebih ke mampu membeli kebutuhan pokok dan jaminan pendidikan yang terjangkau atau murah saja sudah cukup. Itu saja. Sedangkan lainnya, masyarakat dengan inisiatifnya cukup percaya mampu memikirkan nasib mereka masing-masing, (5) Gagasan gratis akan menguntungkan para oknum penjahat anggaran, bagaimana cara mengatasinya? Dan lain sejenisnya.
Jika memang Menkeu Sri Mulyani satu tahun ini lulus melaksanakan program anggaran tanpa defisit, ini prestasi luar biasa bagus. Tapi tentu tidaklah mudah, kemumetannya akan sangat luar biasa. Kalau di Amerika, program semacam MBG ini namanya School Lunch yang sudah mulai dilaksanakan sejak tahun 1946 dan hingga saat ini masih bisa eksis berjalan. Memang kalau disana tidak gratis sepenuhnya, jadi ada sekian persen dibebankan di SPP, tapi catatannya minimal siswa miskin oleh pemerintah dipastikan mendapatkan subsidi dalam program realisasi ini.
Penutup. Walaupun program ini sangat berat secara anggaran menurut saya. Tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup, apapun mungkin. Jika kita mempersiapkan diri dengan baik, bertanggung jawab, transparan amanah, dan siap bersedia melakukan perbaikan lebih baik terus menerus, maka segala sesuatu yang mustahil sangat mungkin terjadi. Ini sebuah tantangan sekaligus prestasi karna sejauh ini belum ada yang berani membentuk program semacam ini.
Salam,
Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!
Komentar
Posting Komentar