Ekonomi Penentu Sejarah
Dalam puncak moril, malah puncak ironi. Iya enough is enough. Di negeri tropis bernama Republik Indonesia ini, kekuasaan mirip kredit KPR: pahit di cicilan dan basa-basi manis di awal. Para pemimpin datang membawa janji, namun pergi meninggalkan defisit. Dan pada akhirnya, sejarah hanya mencatat satu hal "apakah kamu gagal bayar atau tidak?".
Semua penguasa jatuh karena satu alasan. Apa itu? Ekonomi. Soekarno tumbang bukan karena kurang kharismatik, tapi karena rakyat tak sanggup lagi membeli kebutuhan pokok. Soeharto, sang "smiling general", bukan dilengserkan karena kehilangan senyum, tapi karena harga beras dan nilai tukar tak lagi bisa ditoleransi. Reformasi 1998 lahir bukan dari idealisme elite kampus semata, tapi dari kurs rupiah yang tembus Rp17.000, PHK massal, dan rakyat lapar.
Sejarah valid (bukan his-STORY) tidak pernah butuh retorika dan relatif/ manipulasi. Sejarah hanya percaya bukti empirisme angka, bukan pemaknaan. Manusia biasa pun tunduk pada hukum yang sama. Kamu bisa menjadi suami romantis, suami panutan di Instagram, tapi status itu tak bertahan lama jika hutang tidak bisa dibayar, listrik menunggak, cicilan monyet eh macet, dan dapur tak ngebul. Citra akan kalah oleh kenyataan. Seperti negara, rumah tangga pun runtuh bukan karena kurang cinta, tapi karena kurang saldo.
Begitu pula dalam negara. Kamu bisa membangun narasi seagung Candi Borobudur, foto sana foto sini, nempel launching sana nempel sini, bahkan di level advance melakukan groundbreaking setiap akhir pekan, atau mendeklarasikan proyek Ibu Kota Negara layaknya startup Series A. Tapi jika cash flow kamu seret, utang dibayar dengan utang, dan buruh menjerit karena upah terlambat, maka bukan hanya kepercayaan publik yang runtuh, tapi juga legitimasi kekuasaan.
Presiden Joko Widodo, mantan walikota Solo yang menjelma menjadi CEO Nusantara Inc., telah menyelesaikan dua periode jabatan. Tapi ia meninggalkan "outstanding liabilities" yang sangat outstanding; dari utang jatuh tempo, proyek mangkrak, hingga konsolidasi kekuasaan yang mirip holding company oligarki.
Kini, Presiden Prabowo melangkah ke panggung sejarah. Diharapkan menjadi gladiator yang menyejahterakan, namun justru terlihat seperti figuran dalam opera ekonomi muram. Semester pertama kekuasaan berjalan tanpa arah yang jelas. Janji pertumbuhan 8% terdengar seperti utopia TikTok, sementara data di lapangan menunjukkan hal sebaliknya: "PHK naik, daya beli merosot, dan investor hengkang".
Rakyat sedang lapar dan takut, rakyat tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin piring di meja makan tetap terisi. Mereka tak butuh narasi masa depan cerah jika hari ini listrik mati dan minyak goreng langka. Enough is enough bukan makar; itu sinyal dari rakyat yang lelah disuapi slogan.
Dan ketika suara protes terdengar dari warung ke warung, dari WhatsApp grup keluarga hingga kolom komentar akun gosip, itu bukan kegaduhan. Itu mekanisme alarm sosial. Itu pertanda bahwa Presiden Prabowo harus kembali membaca bukunya sendiri: Indonesia Paradoks. Harus kembali bertanya, untuk siapa kekuasaan ini dijalankan?
Tidak ada lagi ruang untuk politik balas budi. Tidak ada waktu lagi untuk kabinet yang isinya CEO-CEO perpanjangan tangan kekuasaan masa lalu. Karena pada akhirnya, dalam rumah tangga, dalam negara, dalam sejarah: "jika kamu gagal memenuhi kebutuhan dasar, kamu tidak sedang memimpin. Kamu sedang mengganggu".
Sejarah bukan pencatat niat baik. Sejarah adalah akuntan keuangan yang dingin dan kejam. Ia tidak peduli berapa banyak preskon yang kamu lakukan. Ia hanya mencatat realisasi apa yang sampai di meja rakyat. Bukan ajang pidato pemilu terus, pidato-pidato kuliah, pidato pemaknaan, atau ajang pidato relatif-relatif lho ya. Tapi butuh konkret pidato hasil realisasi keuangan positif.
Selamat datang di semester kedua kekuasaan. Selamat datang di laporan keuangan realita. Dan semoga, untuk pertama kalinya, pemimpin benar-benar belajar bahwa "Ekonomi itu adalah Penentu Sejarah".
Salam,
Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar
Posting Komentar