Awalan dari saya. Jika ada yang kau tutup-tutupi, lalu semua orang mengetahuinya sendiri, percayalah kamu tak ada integritas sama sekali. Yang diperbesar itu hati bukan kepala, yang diperkuat itu tekad bukan alasan, yang diturunkan itu ego bukan harga diri, yang diperbaiki itu cara bersikap bukan cara berbohong. Pembohong itu, sampai kapanpun tetap pembohong. Orang tipe kayak gini itu hanya mencari-cari alasan, ngutak atik kata narasi dg kebenaran relatif, dan terus menerus mengulur waktu untuk menutupi kebobrokannya. "Jubah kebenaran relatif". Miris. Ditengah zaman informasi modern hari ini, menggunakan kata2 luhur untuk memperangkap orang dan meresikokan orang lain untuk menjalankan keinginannya. Bahkan urusan problem duit dia sendiri, sudah mulai menggunakan orang lain. Katanya barter job, tapi job-nya gak ada yg beres. Keterbukaan zaman informasi, kebohongan malah semakin mudah mendapatkan ruang publik. Bukan sekedar kebohongan biasa tapi manipulasi kebohongan yg diseli...
Dalam puncak moril, malah puncak ironi. Iya enough is enough . Di negeri tropis bernama Republik Indonesia ini, kekuasaan mirip kredit KPR: pahit di cicilan dan basa-basi manis di awal. Para pemimpin datang membawa janji, namun pergi meninggalkan defisit. Dan pada akhirnya, sejarah hanya mencatat satu hal "apakah kamu gagal bayar atau tidak?". Semua penguasa jatuh karena satu alasan. Apa itu? Ekonomi. Soekarno tumbang bukan karena kurang kharismatik, tapi karena rakyat tak sanggup lagi membeli kebutuhan pokok. Soeharto, sang "smiling general", bukan dilengserkan karena kehilangan senyum, tapi karena harga beras dan nilai tukar tak lagi bisa ditoleransi. Reformasi 1998 lahir bukan dari idealisme elite kampus semata, tapi dari kurs rupiah yang tembus Rp17.000, PHK massal, dan rakyat lapar. Sejarah valid (bukan his-STORY) tidak pernah butuh retorika dan relatif/ manipulasi. Sejarah hanya percaya bukti empirisme angka, bukan pemaknaan. Manusia biasa pun tunduk pada huk...
Nyalalah nyali. Keadilan adalah kebenaran dalam tindakan. Hari ini keadilan akan makin sukar, jika kita diam saja dalam kepastian hukum. Negara ini adalah negara hukum, dan negara hukum tidak boleh tegak berpihak pada yang titip proyek/kasus apalagi pada yang bayar. Pajak adalah instrument demokrasi, maksudnya yang berasal dari rakyat ya harusnya Kembali ke rakyat. Logika linier semacam ini seharusnya begitu cara merumuskan kebijakan fiskal, sehingga ada mutual trust dalam kebijakan spending policy yang akan dilaksanakan. Intinya harus berkonten: “berkualitas, adil, dan merata”. Yang membuat polemik Masyarakat saat ini adalah “kenapa sabun, sampo, dan sejenisnya” juga terkena dampak tarif PPN 12%, padahal ini bukan barang mewah? Maka “lumrah” jika muncul petisi menolak kenaikan PPN 12%. Kejutan pemerintah masa jabatan baru + akhir tahun ini ada banyak. Satu, urusan PPN 12%. Dua, RUU tax amnesty atau pengampunan pajak yang sudah digodok di legislasi 2025. Ini jelas akan menja...
Komentar
Posting Komentar