Tenun Kebangsaan Dan Inlander
Saya, Anda dan lainnya, saya yakin tidak bisa menjamin dirinya sendiri murni 100% darah pribumi. Saya yakin, pastilah ada sedikit banyak darah campurannya.
Eventhough, Bapak Bangsa kita sendiri, Bung Karno.
Sedari awal, bumi sumpah palapa Nusantara Gadjah Mada ini tidak hanya dihuni oleh satu dua suku asli. "Pribumi" adalah kata istilah "Inlander" yang diterjemahkan menjadi pribumi karena sebab kita adalah masyarakat lapisan ketiga (kasta paling bawah) akibat penjajahan Belanda atau VOC.
Oleh sebab itu, HOS Cokro Aminoto (kalangan pesantren, alim ulama, pahlawan pergerakan Nasional, bapak bangsa, figur multi talent, guru langsung dari Soekarno, dan berikut kakek sesepuh keturunan saya), melahirkan nama Indonesia (tahun 1920-an) sebagai spirit persatuan dan simbol perjuangan kemerdekaan dari kolonialisme.
Soekarno pernah berucap "I try to live up, I try to live up to the teaching of Tjokroaminoto, saya mencoba, mengikuti, bukan saja Tjokroaminoto, tetapi segala ajaran Tjokroaminoto, aku coba, aku ikhtiarkan, aku usahakan, aku laksanakan. Oleh sebab itu, aku kagum kepada guruku yang bernama Haji Oemar Said Tjokroaminoto".
Hal ini berpuncak pada Sumpah Pemuda tahun 1928 dg deklarasi satu tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Bagi VOC/ Belanda, kita dianggapnya lebih cocok disebut "inlander" ketimbang Indonesia. Inlander tentu sebuah sebutan yang lebih ada nuansa pelecehan. Dan VOC jelas menolak sebutan Indonesia karena berkonotasi ke subversive atau bentuk sebutan perjuangan dan pemberontakan kepada pihak kolonialis.
Di masa perjuangan kemerdekaan, menjadi 'pribumi' menjadi lebih ada kesan Indonesia, jadi ada perasaan heroik. Sebab muasal inilah yang dijadikan dalam perumusan naskah asli UUD 45, yang dalam Pasal 6 ayat 1 mengatur "Presiden adalah orang Indonesia asli". Makna historis yuridis dari "Indonesia Asli" adalah pada norma "pribumi". Artinya, keturunan Indonesia dari golongan Timur Asing dan Eropa tidak bisa menjadi Presiden Indonesia. Bahkan, sebelum akhirnya dicoret, rumusan awal pasal itu ada mensyaratkan presiden harus "beragama Islam". Frase itu dihilangkan bersama-sama dengan penggantian kata "Muqoddimah" yang bernuansa Islam dan tujuh kata Piagam Jakarta, terkait penerapan syariat Islam.
Di pidato pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki, 14 Maret 1963, Soekarno secara lantang dan jelas mengatakan: "saya sendiri menanya diri saya kadang-kadang. He Soekarno, opo kowe iki bener-bener asli? Ya, engkau itu dianggap asli Indonesia. Tetapi apakah saya betul-betul asli itu? Mboten sumerep. Saya sendiri tidak tahu, saudara-saudara sekalian. Cobalah, siapa yang bisa menunjukkan asli atau tidak asli dari darahnya itu. Saya ini tidak tahu, dianggap asli atau tidak asli. Tetapi mungkin saya itu juga 10%, 5%, 2% ada darah Tionghoa didalam badan saya".
Di tahun 2000, yang dilakukan oleh Gus Dur atau Alm Presiden KH. Abdurrahman Wahid sungguh berani. Iya benar. Ia menerbitkan Keppres No 6 Tahun 2000 yang mencabut Keppres No 14 Tahun 1967 terkait larangan pelaksanaan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat China. Lebih lanjut, pada perubahan UUD 1945, kata "Indonesia asli" tidak lagi ada dalam syarat presiden ataupun kewarganegaraan. Oleh karena itu, seseorang yang sejak lahir adalah WNI seperti halnya Anies Baswedan yang keturunan Arab ataupun Basuki Tjahaya Purnama yang berdarah Tionghoa, keduanya mempunyai hak dan kesempatan yang sama. Entah menjadi Gubernur, menjadi Wakil Presiden, ataupun bila ingin menjadi Presiden Republik Indonesia.
Pmerintahan SBY pun ikut-ikutan melakukan hal yang sama, ia menghapus UU Diskriminasi Ras dan Etnis dengan menerbitkan Kepress No 12 Tahun 2014.
Demikianlah, makna kata pribumi awalnya karena mengacu sebutan "inlander" oleh VOC atau Belanda. Inlander seharusnya tidak lagi dimaknai sebagai WNI Non-keturunan, namun seharusnya WNI sejak lahir dan kelahirannya.
Allohu a'lam bissowab.
Salam,
Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!
Komentar
Posting Komentar