Memicu Semangat Pikiran Dan Dialog Simposium Dengan Diri Sendiri
Semangat berpikir bagi saya harus memihak kepada kebenaran. Itu mutlak sudah.
Saat berhadapan dengan kebenaran, kita harus berhati-hati. Karena, kadang kebenaran masih bersifat subyektif, kebenaran masih bersifat tidak benar bagi beberapa orang lainnya. Sehingga kebenaran universal (kebenaran haqiqi) bagi saya ada 3 tingkatannya, yaitu apakah kebenaran saat ini kebenaran bagi diri kita sendiri (kebenaran bagi individu tsb), ataukah kebenaran bagi orang banyak, dan apakah itu kebenaran yang memang benar-benar sejati. Benarnya sendiri, kebenaran subyektif masing-masing orang atau kelompok. Benarnya orang banyak, ini kita elaborasi, kita cari, sampai akhirnya menemukan konsensus, kesepakatan, aliansi, nasionalisme, demokrasi, dan lain sebagainya. Tapi ingat ya, benarnya orang banyak tidak sama dengan benar yang sejati (benar orang banyak ≠ benar haqiqi). Benar yang haqiqi/ yang sejati ini sesuatu yang bersifat komprehensif, memiliki jangkauan cakrawalistik yang harus ditempuh berjalan ke sana terus-menerus (istiqomah/sustain) yang jelas hubungannya ini kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah swt).
Karena saya yakin, kebenaran itu datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa, manusia hanya dapat cipratannya dan menafsirkannya.
Orang yang hanya mendengar suaranya sendiri (kebenarannya sendiri), apa bedanya dengan orang tuli? sikap kolot dan individualis jelas merugikan diri sendiri, bahkan cenderung minus manfaat sosial.
Didalam hal ini, memang kita harus banyak menenggelamkan retorika berpikir dan ego pribadi. Kebenaran perlu sangat dasyat, menimbulkan keterikatan dan saling menyayangi, menyejukkan, dan mampu menenggelamkan semua retorika yang bersifat permainan pikiran saja. Kebenaran harus mengayomi, tidak perduli kamu adalah kaum Bumi Datar, Bumi Ambyar, Bani Daster, Bani Taplak, ataupun Bani-bani lainnya. Peristiwa menyesatkan orang lain secara kebijakan kenegaraan, tulisan, dan apapun itu harus dihindari, jangan sampai peristiwa penyesatan Anda kepada pikiran dan nasib orang lain bertingkat menjadi sebuah karakter.
Kita berharap pada masa depan, yaitu masa depan dengan penuh orang dengan kejernihan pikirannya, baik cara berpikirnya, dan bersih hati dan integritasnya.
Karena sesatnya cara berpikir dan berusaha saat ini, membuat kita sulit nyambung atau connect ke lingkaran yang lebih tinggi dari manusia. Saat ini kita sulit sekali mengkases kebenaran sejati (haqiqi) dari Tuhan Yang Maha Esa yang mampu menyejukkan, menyelamatkan, dan melahiran kesejahteraan.
Saat ini kita sangat lemah secara software dan hardware untuk menerima kebenaran dari Tuhan Yang Maha Esa (Allah swt). Akibatnya, manusia mengalami kelelahan karena ketidakmampuannya mengakses kebenaran itu, yang selanjutnya berakibat pada mereka-mereka yang mulai mengarang kebenaran-kebenaran yang mereka anggap kebenaran haqiqi, sementara mereka pada tahap berikutnya malah saling berbenturan dan membenturkan diri satu sama lainnya karena mempertahankan kebenaran yang mereka karang-karang sendiri.
Banyak orang yang begitu mengidolakan tokoh-tokoh/manusia-manusia seperti Ahok, Anies Baswedan, Joko Widodo, Sudirman Said, Jusuf Kalla, dan lain sebagainya. Sayangnya, banyak sekali yang terjadi malah benturan-benturan membuat kita dan masing-masing Ahok, Anies Baswedan, Joko Widodo, Sudirman Said, Jusuf Kalla, dan lain sebagainya tersebut yakin dirinya benar, dan makin membuat diferensiasi benturan-benturan ini semakin dahsyat. Benturannya dahsyat, ujung kebenaran haqiqi-nya malah blawur/ilang. Pesan ini untuk melepaskan dulu label kita Ahoker, Anies Baswedaner, Joko Widodoer, Sudirman Saider, Jusuf Kallaer, Prabowoer, dan lain sebagainya, karena kita semua saudara sebangsa.
Benar, untuk mengolah forum bangsa dan kebangsaan, kita memang harus piawai dalam mengolah mainstream berpikir, semua orang bereaksi positif dengan semangat berpikir. Oleh karena itu, kita harus punya presisi yang tepat untuk mengkonstelasikan kebenaran agar tidak gampang ikut-ikutan spaneng dengan perdebatan-perdebatan tentang kebenaran akhir-akhir ini.
Anda jangan terjebak kebenaran oleh kebenaran, Anda harus berpijak diatas kebenaran, tapi bukan kebenaranlah yang kita bangun, apalagi kebenaran menurut sangkaan materiel (terlihat mata) keduniaan duniawi saat ini.
Terhadap tafsir kebenaran, kita harus benar-benar berhati-hati. Oleh karena itu, parameter saya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Kenapa? karena saya menafsirkan kebenaran tentu beda dengan Anda, kecuali didalam tataran ushul fiqh yang kita bersepakat disitu (itu saja kalau pas tidak ada khilafiyah antar imam madzab), namun bila kita berdebat berdiskusi terhadap akar ilmu pengetahuan dan haqiqat kehidupan, perdamaian dan kemaslahatan, ini harus berhati-hati cara menyisir dan mengolah mengutak-atiknya. Saya tidak akan mempertentangkan tafsir saya dengan tafsir Anda. Yang harus keluar dari diri saya kepada Anda adalah mencoba berusaha menggembirakan Anda, membuat Anda merasa nyaman dan aman. Saya tidak mencuri barang Anda, tidak saya menista Anda, tidak juga saya membunuh nyawa Anda. Sepertinya kita harus menyudahi mencari, menuding, membenci dan/bahkan ingin memusnahkan siapa yang salah, karena bagi yang kita tuduh siapa yang salah, itu bagi mereka kitalah yang salah. Jadi ya podo wae.
Baiklah, agar tidak terkesan menggantung, menjawab kata-kata saya bahwa jangan kita terjebak kebenaran oleh kebenaran, kita harus berpijak diatas kebenaran. Caranya? caranya dengan bukan dengan kalah/menang, benar/salah, dan sejenisnya, karena kalah menang itu hanya berlaku didalam kompetisi, sepak bolam tinju, gobak slodor, lampat karet dan lain sebagainya. Kita jangan hidup di tataran kalah menang, kita harus hidup di tataran "berlomba-lomba untuk saling mengamankan satu sama lainnya, berlomba-lomba saling menyamankan satu sama lainnya, berlomba-lomba saling menyumbang kearifan dan kebijaksanaan".
Karena yang kita alami bersama saat ini di Indonesia adalah ketidakseimbangan.
Kita harus punya kematangan, kita harus punya keluasan berpikir.
Salam,
Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!
Komentar
Posting Komentar