Nalar Politik Yang Tidak Teruji
Saya setuju bahwa ambisi politik itu hal yang wajar, selama
sadar etika dan tidak hoax. Walaupun benar katanya Soe Hok Gie bahwa politik itu
kadang adalah barang yang kotor, dan bahkan yang paling kotor malah. Lumpur-lumpur
kebangsatan yang luar biasa, juga lumpur kekotoran yang luar biasa. Makanya,
bahkan di level nalar politik yang teruji sudah menjadi keharusan yang tidak
boleh salah. Karena suatu saat ada dimana kita memang tidak bisa lagi
menghindari diri lagi, kita harus terjun menjadi pembeda diantara
mereka-mereka itu semuanya.
Kalau berbicara per-hari ini, hari ini saat ini kontestasi
perkembangan politik kita kian dekat dengan pencoblosan 17 April 2019 Pilpres besok.
Lantas apa? Lantas banyaknya orang yang tidak
nyaman dengan penyesatan nalar sehat pada publik akhir-akhir inilah yang harus diperhatikan. Saya sebenarnya khawatir
mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, saya takut kata-kata yang tidak baik
itu diamini oleh para Malaikat. Oleh karena itu, bagi saya orang yang nyaman
adalah orang yang bisa mengikuti kebenaran Alloh Swt tanpa berbuat keji kepada orang lain.
Saya khawatir, integritas elektoral dan legitimasi
terganggu. Karena faktanya sekarang ini kebenaran dibolak-balik, ditubrukkan
dengan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) sehingga semua blawur tidak jelas. Dan kayaknya memang
ketidakjelasan ini yang diinginkan oknum pihak tertentu, sehingga masyarakat
keos, dan memilih isu sebagai lambang kebenaran saat ini. akhirnya, hoax pun
jadi dasar nalar dan konsumsi publik. Jelas ini proses penyesatan nalar sehat publik.
Contohnya apa? Yakni kasus hoax tujuh kontainer yang berisi 70 juta kartu suara
yang dicoblos pasangan capres 01. Syukurlah, langkah cepat KPU mengecek
lapangan di Pelabuhan Tanjung Priok membuat publik melek. Bahwa ini semacam
konspirasi kebohongan yang nyata dan sengaja dibuat untuk mematikan nalar
kebenaran masyarakat. Apa? Yes, jelas
ini adalah upaya delegitimasi Pilpres 2019.
Yaa bisa kita bayangkan saja, kegaduhan politik yang terjadi
jika hoax model kebodohan kebohongan Tanjung Priok tentang 7 kontainer berisi
70 juta kartu suara tidak segera diungkap, dan itu diklaim kebenaran. Sudahlah,
jelas keos. Menangpun 01, juga pasti dianggap bohong dan pembohongan. Sedangkan kita
sudah tahu, 01 difitnah berulang-ulang kali dan dia terus bekerja, eh giliran sebelah
dikritik sekali, langsung gebrak meja. Makin bingung mana yang amanah, mana
yang amarah?! Sebuah strategi, tapi kejahatan fitnahnya luar biasa.
Mengingat kemungkinan ini tidak boleh diulangi kedua
kalinya. Harus dibangun defense dan firewall anti hoax dan tim gercep (siap
tanggap) di lapangan mengejar kebohongan informasi dan harus memulai membangun dengan kebenaran-kebenaran informasi. Kenapa ini harus dilakukan?
Karena fenomena ini tidak menguntungkan dan pasti bakal berlanjut. Bisa-bisa
intensitasnya malah bertambah. Jangan sampai Pemilu 2019 kehilangan
legitimasinya.
Firewall yang dibangun
harus menyegarkan kembali nalar publik dan politik, makanya harus punya public reasoning dan politic reasoning untuk menumbuhkan logika
politik dan cara pandang publik yang sehat. Kenapa? Karena dengan hanya
menggunakan nalar politik sehat, proses politik dan proses publik ini dapat
berjalan dan menghasilkan kepemimpinan yang
legitimate. Politik yang tidak menggunakan nalar sehat akan menjadi ajang
pamer praktik kalangan kekuatan politik. Tujuannya jelas, menang kalah, bukan
lagi baik atau buruk.
Tentang politik yang tidak menggunakan nalar sehat ini dulu
pernah ada riset terkait itu, yaitu riset milik Filsuf Niccolo Machiavelli (1469-1527)
dengan judul The Price, yang
mengatakan bahwa cara-cara suatu rezim mempertahankan kekuasaannya dengan cara
mementingkan diri sendiri, membuat manipulasi data, menipu bahkan tidak kurang
melakukan eksploitasi. Dan jelas, praktiknya tentu tidak akan menggunakan nalar
sehat. Nalar keruh, nalar kebohongan kebodohan.
Katanya riset tsb, biasanya ada 3 yang bisa memicu nalar
tidak sehat. Yaitu: (1) tingginya adopsi demokrasi; (2) kebangkitan politik
identitas pada krisis ekonomi dan sosial budaya; (3) peningkatan teknologi
informasi dengan media instan yang menyebarkan konten tidak benar/hoax. Katanya,
ketiga faktor ini bisa mendorong tumbuh kembangnya politik tanpa nalar atau
bisa juga disebut dengan post truth
politics. Maksutnya apa? Maksutnya adalah: “Fakta sudah tidak lagi
dipandang penting, sebaliknya emosi dan kepercayaan personal lah yang sering
dipengaruhi hoax yang menjadi ujung tombak sikap politik dan sikap publik warga
negara." Ini saya melihat sangat berbahaya, harus segera ditindak-lanjuti, dan harus segera diluruskan.
Kenapa saya menyebutkan seperti itu? Karena gejala politics of unreason dan posy truth politics sudah menguat
menjelang pemilu ini.
Para elit politik, saya meminta untuk melakukan pencegahan
agar Indonesia tidak terjerumus dalam politik tanpa nalar.
Salam,
Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan Dilindungi Hak Cipta!
Komentar
Posting Komentar