Ini Dua Fase Yang Kita Hadapi
Saya setuju dengan kalimat ini “competition makes us faster, but collaboration makes us better”. Bahwa kompetisi mungkin bisa membuat kita bergerak lebih cepat, tapi kolaborasi membuat kita bisa berjalan lebih baik.
Ini pilihan sih ya, namun sebenarnya dua hal ini bisa digunakan bersamaan. Semua kembali ke kemauan masing-masing tim atau orang-orangnya saja. Mau apa enggak?!
Yes. Kita saat ini dihadapkan dalam kondisi ekonomi global yang saling mendesak. Walaupun ternyata efek volatilitas tinggi ini tidak begitu2 berdampak signifikan terhadap ekonomi nasional Indonesia kita saat ini. Tapi bukan berarti kita tidak antisipasi kan ya?! Harus tetap waspada pada segala hal.
Indonesia, kalau saya memisalkan itu masuk dalam 2 fase pilihan yang punya dampak masing2. Apa saja itu? (a) fase fluktuasi, dan (b) fase konsolidasi. Fase fluktuasi ini sudah terjadi pada Semester I-2019 kemaren, yaitu Januari-Juni 2019 yang mana hal yang harus dilakukan pemerintah Indonesia adalah “pengetatan kebijakan moneter dan fiskal”. Sedangkan fase konsolidasi ini akan terjadi pada Semester II-2019, yaitu bulan ini Juli-Desember 2019 yang mana hal yang harus dilakukan pemerintah Indonesia adalah “pelonggaran kebijakan moneter dan fiskal”.
Nah. Apakah fase ini nantinya akan naik turun? Yes. Nantinya akan naik turun. Apa variabel penggerak yang membuat fase ini gerak naik turun? Yaitu “tensi politik”. Betul, naik turunnya perekonomian kedepan (semester II) ditentukan oleh tensi politik eksisting yang berlakuk saat ini. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh lengah. Harus ada skala prioritas! Apa itu? Yaa utamakan “menjaga stabilitas ekonomi politik” saja, dibandingkan “mengejar pertumbuhan ekonomi”. Cari aman lah bahasa kasarnya, sambil melihat2 kondisi tensi politik yg serba memancing perpecahan ini makin bisa dikendalikan atau perlu tindakan preventif.
Saya punya confidence, bahwa volatilitas ekonomi global jelas akan masih berlanjut. Dasarnya? Dasarnya adalah Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, diperkirakan “masih mau menaikkan” suku bunga acuannya di tahun ini. Artinya, bakal ada banyak masalah bahwa “kenaikan suku bunga” acuan The Fed “tetap akan” memperlambat penguatan rupiah dan “akan memicu” langkah2 investor asing untuk “keluar dari negara-negara berkembang” seperti Indonesia dan negara2 sejenis lainnya. Yaa memang tinggal di kitanya, kalau Indonesia nyatanya bisa menunjukkan keyakinan itu salah dan kepercayaan global tinggi ke Indonesia, yaa aman. Maka di stage ini, ekonomi kita akan aman dari pengaruh makro ekonomi global yg menyeruak. Yaa memang semuanya harus “kejar langkah cari aman masing2” dulu. Lha gimana lagi kalau gak kayak gitu. Perang dagang AS-China yang terjadi juga menyebabkan volatilitas tinggi. Dampaknya apa? Dampaknya adalah di volume perdagangan dunia “yang hanya bisa tumbuh melambat” di tahun 2019. Inilah yang membuat kemungkinan2 hayalan malah keluar. Apa itu? “keluarnya kebijakan2 mengejutkan” dari Presiden Trump atas perang dagang ini.
Oleh karena itu, sementara di 2019 ini sebaiknya Indonesia banyak tindakan “menjaga stabilitas rupiah kita” sehingga return usaha dari obligasi pemerintah bisa menarik minat investor asing ke Indonesia. Dan juga “perlunya tindakan penguatan cadangan devisa” ini juga tidak kalah penting. Caranya? Yaitu dengan meningkatkan penggunaan mata uang lokal masing2 negara dalam transaksi dagang, khususnya China.
Saat ini, suku bunga acuan Bank Indonesia adalah 6%. Mungkin pertumbuhan ekonomi indonesia tahun 2019 ini tidak akan sekuat tahun2 lalu walaupun tekanan eksternal pada indonesia melemah.
Prediksinya, ekonomi indonesia akan tumbuh 5,1% lebih rendah daripada pertumbuhan 2018 sebesar 5,2%.
Salam,
Bahrul Fauzi Rosyidi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan Dilindungi Hak Cipta!
Komentar
Posting Komentar