Politik Kompromi?


Yah, namanya saja ulah setan. Tapi kalau kita terlalu banyak tolelir, ya kejahatan ini akan terus berlangsung. Saya setuju, bahwa tidak ada yang bisa dilakukan dengan sendiri. Apa coba yang bisa? gak ada. Makanya semuanya kita butuh kompromi (bersama).

Tapi sejauh saya bersekongkol/ sepakat dengan kalimat itu didalam berpolitik, yang saya rasakan adalah kompromi demi kompromi di tengah lautan pragmatisme hanyalah akan “melelehkan idealisme” yang Anda miliki, sehingga kompromi itu tak ubahnya sebuah pengorbanan dari satu hak kepada hak dan kewajiban lainnya dengan adanya satu misi berharap mempertahankan yang lainnya. Namun, faktanya yang paling sering terjadi adalah “berakhir dengan hilangnya keduanya”.

Catatan PR nya adalah: persekongkolan jahat itu kita menemukan kenyamanan hanya kepada orang2 yang sepakat dengan kita. Nah, trus posisi yang tak sepakat dengan kita apakah salah? Silahkan dipikirkan masing-masing.

Saya masuk di catatan politik kompromi dalam pemerintahan. Memang, apa dan dimana saja politik pada dasarnya adalah kompromi. Tapi bukan berarti hal2 tabu dikompromikan. Apa yang dilakukan pemerintah sekarang terlalu politik transaksional hanya lebih memacu konflik kepentingan dan degradasi demokrasi. Saya melihat, di ruang publik politik kompromi hanya melemahkan lembaga negara. Catatan saya ada 3, yaitu: (a) Longgarnya aturan mengenai rangkap jabatan Menteri dengan Ketua Partai; (b) Presiden yang sudah tidak lagi melibatkan KPK dalam menyeleksi para-para calon Menterinya; (c) Tingginya akomodasi kekuatan politik yang dilakukan Presiden, membuat spektrum kekuatan ini jelas makin kentara didepan mata. Pada akhirnya, politik kompromi “diragukan’ bisa melesatkan pertumbuhan positif negara sebagaimana yang dipidatokan.

Saya setuju dengan ada orang yang bilang bahwa cara Presiden dalam menyusun Kabinet memiliki bias Orde Baru. Coba kita cek ya. Di kepemimpinan Soeharto itu berlangsung dibawah rezim otoriter. Yang artinya, dia “berada diatas kekuatan politik”. Sedangkan di kepemimpinan Presiden Jokowi, terlihat jelas bahwa tidak bisa terlepas dari kompromi-kompromi politik yang mesti dilakukan. Akibatnya apa? Akibatnya mekanisme check and balance malah hilang, publik tidak lagi punya kanal menyuarakan keresahannya, terkhusus keresahan pada opisisi. Dasar inilah kenapa saya melihat konflik pemerintahan di periode ini berpotensi resiko sangat tinggi.

Apalagi, ini catatan ya. Masa efektif kerja bagi Pemerintahan Jokowi ini hanya sekitar 3 tahun. Kenapa kok bisa begitu? Bau-bau anyir parpol-parpol menghadapi 2024 sudah sangat santer. Bahkan bau amisnya sudah bisa dirasakan dari sekarang. Diplomasi dan solusinya dimana? Ada di komunikasi politik terkait komitmen dan integritas.

Hasil riset Richard Belamy tahun 2001 didalam bukunya Liberalism and Pluralism: Toward a Politics of Compromise menunjukkan bahwa tujuan kompromi yang baik adalah “untuk mengintegrasikan” berbagai kepentingan dan cita-cita luhur didalam permainan politik. Substansi utamanya adalah mencapai solusi yang bisa diterima dengan wujud keperdulian serta rasa hormat sesama dan pihak-pihak yang terlibat.

Mungkin maksut Kabinet Indonesia Maju adalah bentuk kompromi politik untuk “menata keseimbangan politik”. Tapi berhati-hatilah, percikan-percikan api konflik kepentingan khususnya di Menteri2 pesanannya jelas akan mengganggu berjalan baiknya pemerintahan. Presiden diharap tegas dan gebuk Menteri yang punya visi dan misinya sendiri. Visi dan misi partai sudah harus ditanggalkan, harus patuh 100% kepada visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden.

Mohon jangan berkompromi dengan nilai-nilai (share valued), karena ini hanya akan meningkatkan “rebutan pasar dan pangsa pasar”. Kekuatan dan kelemahan seharusnya bisa saling menolong dan tambal sulam bagi yang lebih kuat menolong yang lebih lemah. Bukan arena meningkatkan gesekan kepentingan dan selalu menuntut kompromi untung rugi.

Masihkah ada harapa di pemerintahan periode kedua ini? Yah, kita tunggu saja jawabannya sekarang maupun kedepan.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembohong Jangan Diberi Ruang Publik

Quo Vadis PPN 12%

Shadow Boxing Politik Jokowi