Shadow Boxing Politik Jokowi
Saya setuju dengan ungkapan Gusdur: “Tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian”.
Hal yang perlu dicatat untuk kasus politik akhir-akhir ini. Seyogyanya sebuah perjuangan politik tidak semata berpijak pada perebutan kekuasaan. Tetapi harus lebih kuat dipengaruhi oleh keadilan, pola pikir, kaidah-kaidah, dan keberpihakan pemerataan konkret kepada rakyat. Semua ada batasnya, karena kekuasaan yang langgeng adalah kekuasaan rakyat, dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Baron de Montesquieu mengatakan bahwa “It is necessary from the very nature of things that power should be a check to power”.
Situasi panas dan akhirnya jadi bola liar ini dipercaya publik bermula dari ucapan Megawati mengatakan tanpa dukungan partainya, Jokowi tidak akan mencapai posisinya saat ini “…Pak Jokowi kalau enggak ada PDIP juga, aduh, kasihan dah…”.
Beberapa pengamat mengatakan bahwa sikap tegas PDIP saat ini terhitung sudah terlambat. Popularitas Jokowi dilihat dari approval rating-nya masih tetap tinggi di akhir masa kekuasaannya. Fakta ini jelas dapat mengganggu elektabilitas PDIP dan calon-calon yang didukungnya. Akhirnya ini semacam menjadi “shadow boxing” politik Jokowi (jurus bergerak mengikuti bayangan, bahkan memberi arahan tanda pilihan politiknya) yang semacam menantang balik kesan opini yang ingin dibangun Megawati bahwa Jokowi adalah Presiden Boneka, Jokowi adalah Petugas Partai. Dan betul, periode kedua menjabat bahkan setelah turun dari jabatan presiden, popularitas Jokowi malah melampaui jauh PDIP.
Shadow boxing bukanlah pertarungan sesungguhnya bagi para petinju tsb. Hal ini hanya sebagai awalan pertarungan mental untuk melakukan pertarungan lapangan. Kematangan dalam melatih Gerakan tanpa bayangan (shadow boxing) inilah yang menjadi taktik memukul jatuh lawannya dan memenangkannya. Relasi batin menjaga kemenangan dengan ketenangan perlu dijaga.
Sebagaimana dijelaskan dalam teori sistem politik David Easton (1953) bahwa taktik memperkuat posisi sebelum pertarungan terjadi semacam ini dapat memunculkan diffuse support, memperkuat legitimasi, dan stabilitas kekuasaannya. Kemampuan politik Jokowi membentuk populisme politik yang oleh Marcus Mriztner (2015) disebut sebagai “populisme teknokratis”. Argumentasi ilmiah ini mendukung buku yang ditulis Ben Bland, jurnalis analis politik Australia dengan judul “Jokowi, Man of Contradiction (2020)”. Walaupun dulu terkesan diadu dengan Prabowo sebagai seteru abadinya dalam politik, Jokowi pada akhirnya malah bersama Prabowo mampu memenangkan kompetisi kontestasi bersama-sama.
Politik Jokowi menarik ditelaah, awalnya merendahkan dirinya dalam tanpa kapasitas mumpuni dalam politik, tiba-tiba dengan cepat posisi tsb berbalik mampu dirubah. Jokowi mampu membalik semua prediksi yang merendahkannya. Gempuran meme medsos tiap harinya tidak melemahkan posisinya. Pencapaian politik semacam Jokowi itu mencengangkan, tapi belum pada titik mengagumkan. Pertanyaannya: Pisah jalan, Jokowi tanpa partai (tanpa kendaraan kekuasaan) sebagai tekanan next pembuktian Jokowi apakah dia masih bisa bermanfaat bagi kepentingan rakyat?
Penutup. Jika stres politik PDIP ini hanya kemrugsung; tidak ditanggapi dengan strategi yang tepat serta bijak. Maka saya membaca inilah clue tim percaturan Jokowi yang akan menjadi buah simalakama bagi PDIP di kemudian hari "Jika sekiranya diam itu bijak, lakukanlah. Tapi ketika bijak itu diinjak, lawan agar mereka diam".
Salam,
Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!
-
Komentar
Posting Komentar