Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?

 


Dalam ranah NU, kita jangan sampai terjebak situasi karena kebanyakan menyesali peluang yang tidak kita ambil. Keinginan untuk kokoh secara kualitas sumber daya manusia, pendidikan, dan sosial ekonomi perlu dilandasi dengan tekad bulat, karya nyata, dan keberanian. 

Saya melihat, bonus demografi hari ini perlu dimanfaatkan optimal dengan pembangunan kualitas SDM NU sebagai prioritas. Kolaborasi pemimpin antar bidang, lembaga, banom, bahkan sinergi lembaga internal eksternal perlu dibangun menyambut Target NU dan Santri Emas 2030 dan 2045. 

Nama Partai

Jumlah Populasi Nahdliyin

Populasi Non-Nahdliyin

Jumlah Populasi Pemilih Partai

PKB

90,60%

9,40%

100%

PDIP

59,20%

40,80%

100%

NASDEM

55,80%

44,20%

100%

PPP

79,50%

20,50%

100%

GOLKAR

37,40%

62,60%

100%

DEMOKRAT

52,00%

48,00%

100%

PKS

11,70%

88,30%

100%

PAN

5,10%

94,90%

100%

GERINDRA

52,00%

48,00%

100%

Panasnya aura 2024 dan terpecahnya tidak terkristalisasinya suara pemilih NU pada satu Parpol besutan NU, membuat saya tertarik pada investasi kader yang lebih jangka panjang dibandingan hanya hajatan per-5 tahunan sekali. Harapannya tentu kedepan, dengan investasi pendidikan, kepemimpinan, tata kelola manajemen aset ekonomi strategis ini bisa terwujud maka dimungkinkan melakukan kristalisasi suara demi kepentingan NU secara maslahat. Tidak hanya suara dititipkan kepada partai politik lainnya, tapi kita NU dan jam'iyah NU sendiri yang melaksanakannya. 

Setidaknya kita punya banyak masalah yang saya tangkap dalam hal ini ya, antara lain: (1) Pertama, puncak bonus demografi Indonesia akan terjadi puncaknya pada 2030. Setelah itu penduduk Indonesia akan menuju kondisi tua. Artinya, tahun 2045 NU dan Indonesia tidak punya surplus kader-kader muda; Indonesia tidak akan bonus demografi lagi; (2) Kedua, kunci leading di bonus demografi adalah meningkatkan kompetensi dan pemberian lapangan pekerjaan kepada masyarakat. Artinya sistem pembelajaran terapan harus relavan dengan dunia kerja nyata mereka di lapangan, (3) Ketiga, di tingkat pengkaderan NU menengah, kita melihat sistem pendidikan kita belu optimal mencetak kader kompeten yang siap masuk dunia kerja. SMK-NU dan Pesantren NU kita 3 tahun dan tidak punya kesiapan menjadi angkatan kerja kompeten apalagi kemampuan wirausaha (entepreneurship). Misal, siswa SMK Pesantren Otomotif sudah pintar oprek. Tetapi tidak punya berpikir untuk bekerja ataupun punya usaha sendiri. Satu sisi jelas mereka bingung cara agar tidak bangkrut bagaimana, cara berjalannya bagaimana, siapa yang mengarahkan/ mentoring, dan modal usahanya dari mana? (4) Keempat, jumlah tamatan SMA/K NU dan Pesantren setiap tahun yang makin bertambah. Minimal ada 3jt pertahun tamatan, tetapi yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi hanya 1,3jt orang. Artinya dari sebesar 1,7jt orang lainnya membutuhkan lapangan pekerjaan. Ini belum yang dihitung yang menganggur sebesar 7jt orang. 

Lalu dimana potensi dan peluang kita? Saya melihat setidaknya ada banyak hal, yaitu NU perlu memaksimalkan situasi bonus demografi ini. Siapkan generasi muda, generasi muda Nu harus ditarget menjadi penggerak utama kemajuan bangsa, pesantren dan organisasi atau perusahaan masing-masing. Catatan saya, pada tahun 2022 populasi usia 16-30 tahun sudah sebanyak 65,8 jt jiwa atau setara 24% dari penduduk Indonesia. Jumlah besar ini perlu dikelola dengan baik agar dapat bermanfaat optimal menyongsong NU Emas 2030 dan 2045. Kalau jumlah kita mayoritas di seluruh Indonesia, artinya total demografi tsb lebih banyak beridentitas NU dibandingkan tidak. 

Kalau perlu, penekanan bonus demografi ini mlai dikelola NU dimulai sejak ibu hamil, anak bertumbuh kembang, pendidikan usia dini hingga di masa pembekalan pendidikan dan vokasi. Tujuannya apa? Tujuannya adalah sejak hari ini ke 2030 atau 2045 posisi NU sudah bisa leading di kualitas sumber daya manusia. NU harus menekankan jangan sampai gagal menciptakan generasi muda yang produktif. Terkait itu, perhatian kita harus menakan angka stanting. NU harus menekankan jangan sampai gagal menciptakan generasi muda yang produktif. Terkait itu, perhatian adalah menekan angka stunting (tengkes). Target tengkes 14% pada tahun 2024 dan terus turun kebawah 10% pada tahun 2030. Tengkes dan kemiskinan ekstrim posisinya berimpitan. Jumlah keluarga miskin hasil Litbang Kompas menunjukkan 5jt. Sebanyak 60%-nya berimpitan dengan tengkes/ stanting. Target berbagai capaian harus diraih. Kita harus punya kontribusi pembangunan pendidikan, sosial ekonomi, dan kontribusi bisnis ekologis sustainabilitas strategis yang bervisi tidak menghancurkan bumi/ lingkungan.

Lalu startegi secara ke-SDM-an NU bagaimana? Saya melihat perlu seperti ini. Di level pendidikan berkualitas terintegrasi yang sustainable, NU harus bersepakat bahwa pembangunan manusia Nahdiyin harus dimulai sejak 1.000 hari (3 tahun) pertama kehidupan. Jadi ada sistem pendidikan terintegrasi teruji terukur. Misal, ada pendidikan khusus umur 3-7 tahun lancar Al-Qur’an bahkan hafal dengan kualitas makhorijul khuruf dan tartil bagus. Umur 8-12 tahun paham Tafsir Al-Qur’an berbagai versi di dunia. Umur 13-16 tahun paham Fiqih dan ilmu syiasah, ilmu strategis ekonomi sosial terapan, sehingga santri atau generasi NU umur 17 tahun keatas siap kerja kompeten (kader cendekiawan muslim) tapi juga sudah kompeten menjadi calon kader alim ulama unggulan Nahdlotul Ulama. Tolong genjot pembangunan di sektor pendidikan terintegrasi yang terukur teruji sehingga modal ini membuat kita yakin Indonesia Emas tahun 2030 dan 2045 akan banyak dipenuhi oleh kader-kader NU. 

Penutup. Tujuan dari sebuah sumber daya manusia dan pendidikan adalah mengubah cermin menjadi cendela dunia. Kita harus mendorong pendidikan manusia bisa mewujudkan impiannya, bisa bermanfaat maksimal dan berkontribusi untuk NU dan bisa makin mengokohkan keimanan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.


Salam,


Bahrul Fauzi Rosyidi,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tulisan dilindungi hak cipta!








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan