Pemimpin Masa Depan

 


Saya setuju, usia terlalu ringkas dilewatkan tanpa melakukan perubahan. Seorang pemimpin itu menumbuhkan diri, memberikan contoh konkret, berkapasitas mensejahterakan umat, tidak takut dengan kompetisi, paham the art of war book of strategy, tetap jernih dengan berpihak kepada yang kecil, dan tidak mudah menyerah dengan kemunafikan. Membangun keadilan harus obyektif, jangan mempertemukan hukum dengan transaksi sehingga hukum hanya tegak kepada yang bayar (industri hukum). Itulah penting tegasnya keberpihakan. 

Ada pepatah China yang mengatakan bahwa "segala sesuatu akan menuju ke kebalikannya jika telah mencapai titik ekstrim, segala sesuatu yang berkembang sampai puncaknya pasti berbalik ke arah lawannya". Masyarakat kita sangat heterogen dengan negara kepulauan yang sangatlah luas. Kita membutuhkan pemimpin masa depan dengan jangkauan pikir, pengetahuan, keilmuan, aspek keagamaan, tradisi, budaya, kebangsaan dan aspek karya internasional lainnya yang komprehensif. Apakah masih mungkin kriteria seperti itu bisa ditemukan hari ini? Itu PR.

Pemimpin besar tidak cukup hanya mengandalkan bakat dan trah keturunan. Ia harus original, independen, out of the box dalam melahirkan pemikiran dan gagasan, serta memiliki keputusan cepat, tepat, dan tanpa mudah terombang-ambing dengan situasi yang mengendalikannya.

Dalam sejarah kepemimpinan, Indonesia pernah punya pemimpin hebat. Herbert Faith dalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia pernah menyebut Indonesia pernah punya 2 sosok pemimpin besar, Soekarno dan Moh Hatta. Namun jangan juga mental block, sehingga kita terkurung dengan masa lalu. Haruslah jeli mencari siapa para kader pemimpin bangsa, calon pemimpin masa depan yang bisa diandalkan di daerah kita, di negara kita, di organisasi kita, atau di perusahaan kita?! 

Ada pemimpin yang tergolong dalam solidarity leader/ maker, ada juga pemimpin yang tergolong visionary leader/ maker, atau bahkan participative leader/ maker. Semua jenis pemimpin sah-sah saja, selama itu baik. Kalau nyatanya kader memungkinkan muncul, bagaimana 'rumah tapaknya' sudah siap menampung? Ataukah tampungan kader hanya berdasarkan subyektivitas kelompok ttt saja. Nah disinilah titik masalahnya, kita harus jeli, kita harus obyektif, kita harus memberikan solusinya.

Visioner dan administratif apakah harus ditabrakkan? Satu sama lain jangan nggandoli. Organisasi butuh future agar punya masa depan. Ada istilah dari Ahmad Wahib yang menyebutkan bahwa seorang pemikir baru haruslah punya wawasan administratif detil, ulung, dan paham lapangan yang membuatnya relevan dengan keadaan dan masuk akal ditengah masyarakatnya. Pemimpin narasi hanyalah tawaran pemikiran namun tidak realized, tidak bisa dilaksanakan di lapangan karena tidak relevan dan tidak ada pertanggung jawaban pasti apakah itu betul-betul bisa terwujud ataukah halu. Ia hanya tawaran pemikiran, bukan betul-betul solusi pemikiran. 

Bagaimanakah dengan Pemimpin Indonesia masa depan? Adakah dari sekian kandidat ada yang bisa mletik mletik mletik

Terus terang, seharusnya Indonesia tidak pernah kurang dengan pemimpin hebat. Hanya cara menemukannya saja. Bakat kita menemukannya kurang. Terlepas dari itu semuanya, lingkungan dan bangsa kita lebih senang dengan kegaduhan sih, lebih senang menjadi populer, menjadi terlihat sibuk tapi tidak ada hasilnya. Indikator suksesnya bias paradoks penuh anomali. Suksesnya dengan terlihat sibuk di publik, ini tidak relevan. Perilakunya not impact based, melainkan terkurung pada activity based dengan mental pengerjaan money follow the program, bukan money follow the impact. Miris, menggelisahkan, sayang sekali. Semoga prinsip kepemimpinan kedepan kohesif tangguh. Krisis-krisis hari ini mulai terkikis. 

Penutup. Miris, sudah tau jelek tetap saja dilakukan. Semua tertawa sejatinya mereka gagal menemukan kebahagiaan mereka sendiri. Hasil hari ini hanyalah jembatan sementara, mungkin itu jembatan emas tapi dilewati apakah betul-betul berstruktur kuat atau rapuh? Hati-hati, sama rata sama rasa, atau sama-sama tangis. Tidak ada kehilangan yang paling menyedihkan di dunia ini selain kemerdekaan, kejujuran, dan kemartabatan. 


Salam,


Bahrul Fauzi Rosyidi,

Universitas Gadjah mada, Yogyakarta

Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?