Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

 


Menulis di kala santai ya kebetulan ada roti dan teh hangat bikin moody untuk klik-klik nulis. Kebetulan ini hanya tulisan level daerah untuk mengisi waktu senggang. Ini menjadi penting manakala saya menjadi obyek-nya sehingga perlu belajar pola-pola berbahaya semacam ini agar tidak terulang, tegas katakan tidak, lebih waspada, dan cermat. Pada substansi ini kembali saya belajar tentang realitas olah puter-puter kata orang-orang Jawa, yang sentral pendidikan, sentral narasi, tapi sayang duh sayang jauh dari sentral aksi. Bungkus yang digunakan sosial budaya, namun tindakannya Politis. Semoga menjadi sebuah referensi belajar kita bersama. Manner karakter etnis kedaerahan yang positif perlu diambil, negatif merugikan orang lain segera dibuang jauh-jauh. Sehingga tidak bersembunyi dari kata-kata tanpa aksi. Agar relevan dengan pembelajaran hari ini, saya buat klue pembuka sebagai berikut: "Seng jenenge alas iku ombo, opo meneh dhobos kui luweh ombo meneh, sak dulur karo jarkoni ngajar ra nglakoni".

Ini kasus subyektif semi empiris ya, karena saya dan narasumber punya data2 tertulis yang cukup komplit, dan beberapa confidence level menunjukkan peristiwanya ada di lingkaran sosial kualitatif. Saya langsung alami dan juga intensif mendapatkan progress informasi lapangan kasus rak jelas yang datang dari itu2 saja. Titik ilmunya dimana? Akhirnya terbaca menjadi satu pola dan itulah realitas mental kebenarannya. Rata-rata semua bentuk tragedinya asal-asalan dan dilakukan sporadis. Menjaga hiburan naratif, tadi saya baca salah satu koran/ majalah menyebutkan "Waton Suloyo" dijadikan nama jenis Kasino Judi sengaja diperuntukkan sarkastik bagi orang-orang yang tidak pasti, senang menjudikan kehidupannya. Mungkin lagi rame2nya isu perilaku anggota Dewan PDIP di Senayan Jakarta main Slot Judi. Tapi kembali ke substansinya, bahwa kekecewaan demi kekecewaan beruntun muncul dari segala sumber yang berucap: "Ojo ngobral janji mundak ciloko. Ojo kuminter mundak keblinger". Iyes itulah, saya ucapkan selamat datang di bumi alas Jawa Yogyakartan yang cukup populer dan intensif kasus-kasus wacana tanpa aksi semisal ini. Betul, memang idealnya berkolaborasi bekerjasama "profesionalitas" adalah kunci. Sayang praktiknya diplintir ke politis sehingga layak disebut "Permainan politik waton suloyo, politik dhobos!". Kenapa banyak orang marah? Dibuat, disengaja direncanakan, untuk dikerjakan diresikokan kepada orang lain, "diresikokan kepada orang lain" ini yang bikin geleng2. Senjatanya dhobos, namun segera ditempelkan resikonya ke orang lain. Ibaratnya, ia sebelumnya subyek lalu segera mengubah obyeknya menjadi subyek, namun si subyek memanen kepentingannya melalui jebakan dan perangkap untuk si obyek. Sakke tenan obyek korbane, pait-pait. Biar dhobosnya meyakinkan, diulak-aliklah katanya dalam rumus 5W1H berbasis kata siapa dan oleh siapa lalu gotak-gatuk peristiwanya, dia membiaskan posisinya yang "menjanjikan kepada orang lain sekan-akan dia decision maker" menjadi menempel kepada yang dibuat jengkel itu, dan mendorong si yang dibuat jengkel mencari kebenarannya sendiri hingga energinya habis. Ending-nya dengan narasi "ya beginilah cerita Yogyakarta yang orangnya begitu dan begini, pemerintahnya yang gerbong tua yang begitu dan begini". Janji busuk yang ia janjikan tiba-tiba hilang, berubah meratapi pembahasan lain. Bau khas belokan-belokan Antropologi sekali.

Akhir-akhir ini saya banyak belajar dari apa yang saya langsung alami maupun informasi-informasi kasus rak jelas yang cukup intensif masuk ke saya. Akhirnya terbaca dalam satu pola dan itulah realitas kebenarannya. Peristiwa gambaran sarkastik diatas saya betulkan. HB itu saya singkat. HB = hanya bisa. Ya, begitulah. Hanya bisa dhobos dan waton suloyo. Agak komedi mengingat ternyata ini dijadikan strategi aksi begitu lo ya. Waton Suloyo dijadikan siasat sebagai bentuk strategi baju pembeda, yang penting berlawanan, yang penting kontra, khas sangat aliran kiri dengan prinsip urusan salah benar urusan belakangan karena acuannya "santai saja ini semua itu relatif, semua kebenaran itu relatif. Jadi biarkan saja asumsi bergerak diluar yang penting kita gondelan dengan isu yang menguntungkan posisi kita saja. Karena itu juga kebenaran, lagi-lagi kebenaran relatif". Itu yang dipatri habis-habisan didalam mindset- nya. Perlu diingat bagi teman-teman yang ingin membangun karir maupun integritas, bahwa: “Integritas kita itu dibangun oleh tindakan kita, portfolio kita, karya berhasil dan jam terbang, bukan kata-kata manis, bukan wacana-wacana yang tidak relevan, bukan janji-janji dhobos" . Dhobos bagi saya itu dekat juga dengan bosok. Omdo, omong-omong doang. Sebelum saya membahas misologi, ada yang paham misologi?

Anda paham misologi? Ini bukan kebencian terhadap manusianya, melainkan kebencian terhadap perilakunya, terhadap irasionalitas pengaturan logos dalam implementasi, wawasan s/d wacana tidak masuk akal, menolak melaksanakan "usulan dirinya sendiri", tidak mau bertanggung jawab dan bermain mengorbankan orang lain dengan "memperangkap" orang untuk melakukannya, melakukan keinginannnya. Ini bukan orang baik lagi, ini jahat sekali, dan orang sangat licik. Kurang apa coba, bahkan menolak pasang badan dengan menggunakan orang lain sebagai samsak terhadap wisata kepuasan dan wacana yang ia cetuskan sendiri. Mentok situasinya bagaimana? Saat semua orang menunggu implementasi kongkretnya, elahdalah orang ini 'menghilang' cuy. Sebuah komedi putar yang baik. Komedi oh komedi. Kesimpulan apa? Kesimpulannya adalah sebuah tindakan yang tidak dapat diterima karena ia awalnya menyampaikan janji, lalu tiba-tiba berubah menjadi wawasan teori jangka panjang, pemaksaan dilakukan hari ini, tidak mau terlibat di praktik, dan tidak mau diimbangi dengan kontemplasi dan kesadaran etis. Sungguh sangat Waton Suloyo, Waton Dhobos. Retorika untuk menghindari kewajibannya sendiri, bukan kewajiban orang lain. Gokil.

Mirisnya adalah orang jenis ini pandai cuci tangan, tapi anehnya syarat kepentingan. Tiba-tiba hadir dalam acara, situasi, dan peristiwa-peristiwa oportunis. Jadi menggunakan segala hal sebagai alat, sebagai boneka yang ia kendarai untuk kepentingan agenda tersembunyinya (hidden agenda). Praktiknya yang kasihan adalah orang-orang yang dijanjeni, yang kadnag ia orang disebut senior atau junior atau punya jabatan ttt tsb yang akan jadi tameng, semacam alat samsak anti peluru agar dia tidak tertembak langsung. Itulah alat politik HB dhobos untuk mencapai keinginannya. Sebuah pemandangan miris dengan agenda misologi yang layak disebut "misologi politik dhobos waton suloyo".

Misologi politik dhobos waton suloyo sejauh ini cukup akrab saya temukan di orang-orang Jawa, khususnya Jawa Yogyakartan. Ini makanya saya sebut waton suloyo dan dhobos-nya khas wacana sekali. Motif khasnya jelas sekali terbaca njedul mblangkon di belakang, yakni tidak sama antara argumen di depan dengan apa yang ia lakukan dan katakan di belakang, selalu bercabang dan berubah-ubah kesimpulannya tidak sesuai dengan pernyataan akhir. Ini tentu jauh dari realitas Timuran ya yang apa adanya walau ter-branding keras. Titik paling cukup miris dan mengerikan dari hidden agenda ini adalah "mangku". Mangku bukan berarti memangku memuliakan menghormati kehormatan dan mendahulukan orang lain, namun "mangku" adalah kamuflase strategi dan siasat mencari peluang orang tsb sudah percaya dengan dia dan sudah pasti dia tahlukkan untuk 'membunuh' yang dia pangku demi melanggengkan keinginan kepentingannya. Ya begitulah, formula licik mungkin bagian dari barang yang halal/ halalan toyyiba. 

Penutup singkat. Janjimu iku koyo balon, warna warni gak ono isine. Alias ngomong tok.


Salam,


Bahrul Fauzi Rosyidi,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tulisan dilindungi hak cipta! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?