Jawa Pos: Blok Masela, Cost of Recovery, dan APBN

Foto Fauzi Bahroel.


Opini Jawa Pos, Selasa, 10/5/2016 07.15 WIB.


**walaupun tulisan ini kontroversial dan efek sampingnya bikin saya jengkel juga. tapi biarlah. mari kita jadikan pelajaran kekritisan di masa yang akan datang. dan cukup mengerti untuk 'tanda kutip' lainnya..


PROGRES baru tercipta. Masalah baru pun tercipta. Sebagaimana diketahui, presiden telah memutuskan kilang LNG Masela dibangun di darat. Artinya, presiden telah menjalankan amanat konstitusi bahwa sumber daya alam Indonesia harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia, bukan asing. Ini jelas progres.


Lalu, apakah masalah baru yang muncul tersebut? Masalah baru yang muncul, pemerintah menjanjikan pemberian insentif berupa biaya pinjaman ke Inpex Masela Ltd. Pinjaman tersebut dimasukkan ke cost of recovery (CoR) yang berpotensi memberatkan APBN Indonesia pada tahun-tahun berjalan pada masa mendatang. 


Menurut saya, CoR merupakan wujud disparitas modal yang tidak seimbang dengan potensi sumber daya migas yang tersedia. CoR adalah sistem yang muncul sebagai konsekuensi logis dari model kontrak PSC alias production sharing contract (sistem MoU migas yang dianut Indonesia). 


Mau bagaimana lagi? Kita harus menerima itu dengan lapang dada. Dan mulai berpikir strategi efisiensi apa yang paling cocok (appropriate) untuk mengatasi CoR Inpex Masela agar tidak memberatkan APBN Indonesia pada tahun yang akan berjalan. 


Menurut data yang saya peroleh dari Kementerian Koordinator Maritim dan Sumber Daya, perkiraan pendapatan yang akan diperoleh bila kita menggunakan pendekatan LNG di darat adalah USD 6,50 miliar atau sekitar Rp 85,55 triliun per tahun bila kita menggunakan kurs dolar hari ini Rp 13.162/USD. 


Lalu, dari total pendapatan per tahun tersebut, berapakah total biaya yang harus ditanggung pemerintah Indonesia? Lebih dari USD 16 miliar atau sekitar Rp 210,59 triliun. 


Menurut saya, pihak operator bisnis (Inpex Masela Ltd) harus punya peran lebih dalam permodalan agar kedua pihak memiliki win-win solution. Juga, jangan kaku dalam konsep CoR.


Presiden Harus Turun Tangan 


Melihat dasar tersebut, saya menilai presiden sangat perlu mengeluarkan keputusan untuk meminimalkan kerugian negara atas terjadinya skema dan mekanisme CoR yang tidak strategis. Apalagi bila mekanisme dan skema itu berdampak memberatkan APBN pada tahun yang berjalan. Bahkan, lebih parah dari itu, ternyata negara harus membayar CoR lebih besar daripada penerimaan migas. 


Itu bakal menjadi bencana. Karena itu, harus ada sebuah pendekatan dan strategi yang cermat untuk menjawab persoalan tersebut. Menurut saya, ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk efisiensi CoR Masela agar tidak memberatkan APBN pada tahun yang berjalan. 


Pertama, semua pembebanan pengadaan alat-alat dan teknologi canggih yang mahal dari luar negeri tidak boleh masuk dalam laporan CoR. Ia harus disendirikan menjadi biaya investasi Inpex Masela Ltd. 


Kedua, bila segala biaya dimasukkan ke CoR, tagihan CoR bakal membengkak dan APBN Indonesia akan berat. Lebih baik pemerintah memberikan solusi berupa insentif efektif lainnya. Misalnya, fasilitas-fasilitas perizinan yang sepenuhnya diurus SKK Migas. Atau, memberikan kebijakan pengurangan pajak. Atau keringanan pajak impor bagi keperluan pengadaan peralatan yang dibutuhkan Blok Masela saat ini. 


Ketiga, akuntansi industri migas cenderung kompleks. Butuh pemahaman ekstra agar tidak ''terjebak'' polemik. Strategi penerapan cost of recovery yang paling aman di Indonesia adalah menggunakan batas atas. Yaitu, biaya maksimal yang dapat dikembalikan pemerintah. Rasionya 60:40. 
Keempat, terminologi PSC (production sharing contract) di Indonesia masih dinilai kurang bisa beradaptasi dengan fiskal. Karena itu, langkah-langkah strategis dan antisipatif memang sebaiknya bisa dilakukan pemerintah bersama DPR.


Butuh Pengawasan 


Untuk meminimalkan kerugian negara atas terjadinya mekanisme CoR yang tidak strategis, faktor pengawasan oleh negara memegang peranan yang sangat vital. Sebab, CoR benar-benar berdampak sistemik bagi pemerintah.


Bahkan, menurut saya, CoR benar-benar bisa menjadi wujud disparitas modal yang tidak seimbang dengan potensi sumber daya migas yang tersedia. Belum lagi bila mereka bermain di ''permainan'' goldplanting atau penggelembungan investasi. Yakni, penggelembungan total biaya investasi agar mendapat pengganti dari CoR yang lebih besar nanti. 


Benny Lubiantara dalam bukunya, Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas, memberikan penjelasan dengan ilustrasi sebagai berikut. Kita ibaratkan sebuah blok migas dikelola dengan sistem PSC dengan kesepakatan pembagian hasil produksi dengan proporsi 85 persen untuk negara dan 15 persen untuk kontraktor tersebut. 


Kemudian, terdapat goldplanting sebesar 10, kenaikan biaya itu berakibat pada penurunan bagian pemerintah sebesar 8,5 dan kontraktor sebesar 1,5 (besarnya penurunan terbagi proporsional terhadap rasio hasil bagi tersebut). 


Jika mengacu pada penjelasan tersebut, aktivitas goldplanting itu akan merugikan, baik bagi negara maupun kontraktor. Lantas, siapa yang akan diuntungkan dalam hal ini? 


Menurut Benny Lubiantara, yang diuntungkan adalah ''oknum''. Perlu dicatat, ''oknum'' itu bisa siapa saja. Bisa bagian dari perusahaan migas, kontraktor, oknum dalam perusahaan penyedia jasa (service companies), atau tidak tertutup kemungkinan ''oknum'' dari kalangan birokrat pemerintahan itu sendiri. 


Dengan memilih menggunakan PSC sebagai sistem kontrak pengelolaan sektor hulu migas, seharusnya peluang terjadinya goldplanting dapat diperkecil. Sebab, pada sistem PSC, pengawasan negara relatif lebih ketat. 


Dalam sistem itu, kontraktor benar-benar berada di bawah pengawasan negara dalam mengelola blok migas yang disepakati. Untuk Blok Masela yang bakal dimulai, memang belum akan terjadi sesuatu yang keluar dari skenario. Namun, untuk langkah antisipasi, kenapa tidak?


Salam,


Bahrul Fauzi Rosyidi,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?