Target Ekonomi 2018


Ada tiga pertimbangan atas konten tulisan ini (target ekonomi 2018), yaitu berkaitan dengan potensi, resiko, dan apa saja target yang perlu dicapai agar kinerja ekonomi 2018 kita (Indonesia) menjadi gemilang.

Berdasarkan data yang saya acu, IMF, Bank Dunia dan ADB telah mengeluarkan proyeksi atau ramalan ekonominya terhadap Indonesia. Hasilnya, IMF mengatakan di akhir tahun 2017 ini total pertumbuhan ekonomi kita adalah 5,1% dan di tahun 2018 adalah sebesar 5,3%. Untuk Bank Dunia, analisis tahun 2017 mengatakan bahwa 5,2% dan di tahun 2018 adalah 5,3% untuk forecast pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dan untuk ADB, mengatakan di akhir tahun 2017 ini pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5,1% dan di tahun 2018 sebesar 5,3%.

Hasil kesepakatan rapat 25 Oktober 2017 antara Pemerintah dan DPR menunjukkan hasil bahwa target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2018 adalah sebesar 5,4%, sebuah target yang lebih rendah dibandingkan proyeksi tahun yang lalu, yaitu 5,4-6,1%.

Kesimpulan rapat tersebut menghasilkan beberapa substansi target 2018 sbb: (a) target pertumbuhan ekonomi Indonesia 2018 adalah 5,4%; (b) inflasi 3,5%; (c) nilai tukar rupiah Rp 13.400/USD; (d) suku bunga surat perbendaharaan Negara 3 bulan 5,2%; (e) harga minyak USD 48/barrel; (f) lifting minyak 800.000 barrel/day; (g) lifting gas bumi 1,2 juta barrel.

Untuk hasil rapat pada target pembangunan tahun 2018 berdasarkan publikasi Kompas (26/10) sebagai berikut: (a) tingkat pengangguran terbuka 5,0-5,3%; (b) tingkat kemiskinan 9,5-10%; (c) indeks rasio gini 0,38%; dan (d) indeks pembangunan manusia 71,50.

Musuh, sekaligus tantangan bagi Indonesia saat ini adalah banyaknya potensi resiko yang datang dari resiko global (resiko eksternal indonesia).

Solusi atas hal ini bagaimana? ya tentu memperkuat target diatas dengan beberapa jalan, yaitu: (a) membenahi jumlah dan kualitas penerimaan Negara (entah itu dari retribusi dan pajak, atau penerimaan/pendapatan lainnya). Kondisi saat ini adalah target capaian pajak Rp 1.283,57 triliun dan baru bisa tercapai di 68,78%-nya atau Rp 882,8 triliun per-Oktober 2017. Catatan 'merah'nya adalah: pemerintah selayaknya meningkatkan kinerja pada manajemen hutang yang baik dan lebih efisien. Dasar ini mengingat pada saat total penerimaan dari retribusi pajak dan lainnya adalah kurang jumlahnya untuk kebutuhan APBN, maka jelaslah jawaban berikutnya kita akan berhutang (lagi) pada luar Negeri. Dan hal ini bukanlah keputusan yang baik/bagus/bijak.

(b) kebijakan moneter BI dan kebijakan fiskal pemerintah harus berada pada arah yang sama. Ini tidak boleh tidak. Tidak boleh saling berlawanan. Jangan sampai pemerintah menargetkan suku bunga satu digit, eh suku bunga acuan malah enggan turun. (c) ketiga, stimulus dalam Negeri, yaitu pemerintah harus ada upaya memproduktifkan growth ekonomi dan bisa menggenjot investasi dengan meluncurkan stimulus dalam Negeri yang berantai positif (positive inter-chain with integration). Satu contoh, Paket Kebijakan Jilid 1 tentang properti Kebijakan Sejuta Rumah yang mendorong gairah pertumbuhan ekonomi bidang properti. Program ini mendorong pembangunan khusunya untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan membuka peluang investasi yang besar. Kok bisa begitu? Karena bergairahnya sektor properti akan membangkitkan paling tidak 170 bisnis ikutan lainnya. Oh ya..investasi yang dibangun haruslah tidak hanya padat modal, tapi juga padat karya. Hal ini juga bertujuan untuk mengurangi tingkat pengangguran terbuka yang terjadi selama ini.

(d) keempat, tentang predikat layak investasi. Seharusnya keniakan peringkat utang jangka panjang Indonesia yang dari BB+ menjadi BBB- dengan hasil proyeksi stabil dari Standard & Poor's (S&P) menjadi layak adalah berkah tersendiri. Apalagi didalam kasus yang sama, Fitch Ratings dan Moody's juga mengatakan (mengeluarkan data) demikian. Laporan tsb tentu menunjukkan kepada kita bahwa peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia mengalami kenaikan signifikan dari 114 pada 2015 menjadi 109,91 dan 72, masing-masing pada 2016, 2017, dan 2018 diatas Filipina (113). Menurut saya, seharusnya ini menjadi momen yang tepat bagi kita untuk menggerakkan investasi portfolio di pasar keuangan dan investasi langsung (foreign direct investment) di sektor riel. Target investasi kita saat ini agar pertumbuhan ekonomi Indonesia makin sipp adalah Rp 840 triliun untuk 2018.

Aneka resiko, potensi, dan target diatas hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah. Target pertumbuhan ekonomi sudah seharusnya tidak terlalu rendah dan juga jangan terlalu tinggi. Ingat, bahwa anggaran yang terlalu rendah akan kurang mampu memotivasi pasar dan pelaku anggaran karena terlalu pesimistis. Sebaliknya, anggaran yang terlalu tinggi justru akan melahirkan kontraproduktif.

Bikin formula anggaran yang pas, tidak terlalu 'pait' dan tidak juga terlalu 'manis'.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?