Kinerja BUMN 2017 Dan Saran Kritiknya


Didalam tulisan ini terhitung ada tujuh substansi yang saya rangkai, susun dan garis bawahi agar kita bisa mengambil point of view sesungguhnya tentang dimana to posisi sebenarnya dari BUMN kita saat ini, sejauh mana posisi baiknya, dan sejauh mana posisi bobroknya. 

Tujuh substansi tsb secara singkat saya tampilkan dalam pendahuluan, kendala/ masalah yang dihadapi saat ini, potensi yang dimiliki saat ini, data tentang BUMN saat ini, strategi yang seharusnya dilakukan, isu strategis yang harus menjadi catatan saat ini, dan terakhir adalah penutup kritik dari saya. 

Bermain di skenario BUMN, memang kita harus tegas didalam poin-poin tertentu. Tegas di poin-poin tertentu ini terkait fungsi BUMN yang harus membantu negara menjadi sentral perbaikan dan mesin pembangunan infrastruktur. Pemerintah secara jelas ingin fokus ke infrastruktur, makanya pemerintah sangat jelas berambisi agar bagaimana caranya BUMN bisa membantu solusi pembiayaan dan proyek pembangunan negara. Pemerintah butuh BUMN untuk mendukung percepatan infrastruktur saat ini agar kita tidak tertinggal.

Perlu diketahui bahwa target belanja infrastruktur kita (Indonesia) 2017 adalah Rp 400 triliun dan telah terserap realisasinya sebesar Rp 387,8 triliun. Penjelasannya yaitu sebesar Rp 378,3 triliun (pembangunan sektor infrastruktur ekonomi), Rp 5,5 triliun (infrastruktur sosial), dan Rp 4 triliun adalah dukungan infrastruktur. Sasaran infrastruktur ini adalah: (a) jalan 836 kilometer; (b) jembatan 10.198 meter; (c) bandara dibangun sebanyak 13 bandara; (d) pelabuhan laut 61 lokasi; (e) jalur kereta api pembangunan tahap 1 dan lanjutan 710 km'sp; dan (f) terminal penumpang ada 3 lokasi. Untuk estimasi total nilai investasi proyek infrastruktur strategis Nasional ini adalah mencapai Rp 4.417 triliun, terdiri dari 245 proyek plus 2 program yang dimasukkan ke dalam program PSN. Seluruh PSN terbagi ke dalam 15 sektor dengan jumlah proyek terbanyak adalah sektor jalan (74 proyek), sektor bendungan (54 proyek), dan sektor kawasan (30 proyek).

Secara pararel pemerintah telah menggelontorkan anggaran tak kurang dari Rp 120 triliun untuk menambah modal sekitar 40 BUMN selama kurun waktu th 2015-2017 ini. Setiap rupiah yang disuntikkan itu berasal dari utang. Iya sekali lagi, setiap rupiah yang disuntikkan itu adalah utang! Penambahan modal BUMN ini secara formal disebut penyertaan modal negara atau PMN. Pertanyaannya, mengapa PMN untuk BUMN, kenapa PMN bukan untuk ke yang lainnya? Jawaban kenapa PMN untuk BUMN adalah jika semua dana anggaran PMN itu dialokasikan bersaa dengan APBN ke Pemprov, Pemda, Kementrian, Pemdes, lembaga negara sejenis lainnya, dll, maka dana PMN tsb jelas akan habis setelah dibelanjakan. Kenapa? Karena gaya proses financing sektor public adalah serapan anggaran berdasarkan pengeluaran (total biaya) dan public services, bukan berdasarkan efektivitas dan efisiensi yang dicerminkan berdasarkan fit and quality & financial standard managerial. Singkatnya, indikator efektivitas keuangan pemerintahan berdasarkan serapan uang/ anggaran (semakin bisa menyedot uang realisasi semakin banyak, maka disebut efektif, nah urusan di lapangan tepat sasaran atau tidak urusan belakang, yang penting uangnya disedot dulu, diterima dulu).

Tapi, jika dana PMN diglontorkan ke BUMN, maka uang anggaran dari pinjaman tsb akan lebih irit, menjadi modal kerja yang efektif, tidak akan habis, dan berubah menjadi uang investasi yang harus ada return of investment-nya. Artinya, PMN menjadi modal yang dititipkan Negara untuk kembalikan dan dikembangkan. Kacamata inilah membuat PMN feasible sebagai modal investasi dan modal kerja yang oke, dan bisa menghasilkan return yang harus sesuai dg janji (diatas range WACC struktur modal perusahaan BUMN). Bahkan, setelah PMN masuk dan ternyata struktur modal berkembang dan modal kerja bisa bertambah, diharapkan BUMN bisa menggunakan aset BUMN-nya untuk ngutang lagi di perbankan atau sumber utangan lainnya hingga 3-4 kali lipat nilai dari modal awal agar proyek yang dibangun saat ini, sehingga punya petty cash yang mencukupi dan meyakinkan proyek ini pasti berhasil dan sukses. Dengan kata lain, pemerintah melalui skema PMN (penyertaan modal negara) ingin mengembangkan kapasitas pembangunan Negara. Dan BUMN menjadi agennya (agen perbaikan dan sentral mesin pembangunan bagi Negara).

Dari kesimpulan pendahuluan yang saya amat-amati ini, kiranya sudah banyak jumlah dukungan yang telah diberikan oleh negara kita pada BUMN agar bisa bangkit dan membantu pembangunan negara (membantu biaya infrastruktur demi Nawacita). Kalau saya mangambil ucapan dari Pak Menteri PU dikombinasikan dengan “Ibu Menteri BUMN yang strateginya katanya suka ngutang itu (aset BUMN dijadikan agunan)”, bahwa BUMN harus bisa menjadi sentral perbaikan dan mesin pembangunan bagi Negara. Caranya bagaimana? Untuk langkah awal, aset BUMN harus direvaluasi terlebih dahulu agar Kementrian bisa melakukan skenario keuangan (financial engineering) untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan operasional bisnis-bisnis BUMN dengan pemerintah saat ini. 

Masalah yang saya tangkap dan menjadi kendala yang dihadapi saat ini. Saya melihat, masalah-masalah yang dihadapi BUMN saat ini adalah: (a) saat ini, secara pararel pemerintah telah menggelontorkan anggaran tak kurang dari Rp 120 triliun untuk menambah modal sekitar 43 BUMN dan 19 anak perusahaannya selama kurun waktu th 2015-2017 ini. Setiap rupiah yang disuntikkan itu berasal dari utang. Iya sekali lagi, setiap rupiah yang disuntikkan itu adalah utang! Penambahan modal BUMN ini secara formal disebut penyertaan modal negara atau PMN. Pertanyaannya, mengapa PMN untuk BUMN, kenapa PMN bukan untuk ke yang lainnya? (b) dari data di masalah pertama, jelas telah banyak jumlah dukungan yang diberikan secara uang dan lainnya kepada BUMN. Pertanyaannya, kenapa hanya 2-3 BUMN dari 43 BUMN dan 19 anak perusahaannya yang bisa berkontribusi maksimal, sisanya dari total BUMN dan anak perusahaannya kok stuck tidak ada kontribusi dan pertumbuhan? 

(c) masalahnya, banyk BUMN yang kinerjanya belum baik didalam pengelolaan PMN, dan ini bisa menggagalkan visi awal tentang BUMN selayaknya menjadi sentral perbaikan dan mesin pembangunan infrastruktur Negara. Karena, efektivitas yang diharapkan malah bisa berubah menjadi improduktivitas (improductivity) karena sebagian besar BUMN belum siap; (d) Masalah terbesarnya adalah penggunaan anggaran tidak tepat sasaran, tidak sesuai peruntukannya, melakukan penyimpangan pada peraturan bidang ttt, penggunaan PMN untuk kegiatan bisnis diluar bisnis utama sedangkan target utamanya saja belum tercapai, dan lalu realisasi kegiatan/ program yang terhambat dn terlmbat sehingga implikasinya jelas pada trget output capaian yang tidak mungkin bisa tercapai; 

(e) jika menilik lebih dalam, persoalan klasik BUMN pada umumnya masih sama saja, yaitu ttg seputaran tata kelola dan manajemen yang buruk di setiap BUMN itu sendiri; (f) persoalan lainnya adalah ternyata banyak BUMN yang menyimpan dana PMN dalam rekening untuk penyimpanan dana lainnya. Padahal, seharusnya setiap BUMN menempatkan dana PMN di rekening khusus, bukan dioper-oper seperti itu. Jika menurut Kementrian Keuangan, jika sampai dana2 PMN tsb belum juga dipakai, maka harus ada (semestinya) bunga atau opportunity cost yang harus ditanggung oleh perusahaan tsb. Kenapa seperti itu? Ingat bahwa setiap rupiah PMN ini adalah utang, jangan sampai uang yg diperoleh susah payah ini tidak berkembang; 

(g) untuk sejumlah BUMN lainnya, persoalan manajemen dn pengelolaan PMN bahkan sudah terjadi dari awal, yaitu saat perencanaan (penyusunan planning dan budgeting awal). Makanya, tidak sedikit BUMN penerima PMN yang tidak siap didalam mnajeen dan perencanaan bisnisnya, hal ini jelas tercermin didalam/ dari lambatnya serapan PMN. Sampai dengan Juli 2017 saja, penyerapan PMN 2015 masih kurang dari 60%.

Potensi yang dimiliki saat ini. Saya melihat, untuk potensi yang bisa dikembangkan dan yang dimiliki BUMN saat ini yaitu: (a) untuk tahun 2015 saja, ada 43 BUMN dan 19 anak perusahaannya melakukan revaluasi aset sehingga total nilai asetnya meningkat, yaitu dari Rp 1.047 triliun menjadi Rp 1.355 triliun. Sumbangan pajaknya adalah Rp 10,61 triliun. Ini belum dilakukan semua BUMN, dan katanya secepatnya akan menyusul. Nah, jelas ini potensi yang bagus untuk diolah. (b) dari angka2 makro, kapasitas BUMN sudah menunjukkan peningkatan. Kegiatan BUMN secara riel juga sudah meningkat, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur. Secara kasat mata, pembangunan infrastruktur sudah tampak di sejumlah daerah.

Data tentang BUMN saat ini. Yaitu: (a) mengacu pada Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II-2016 oleh BPK atau Badan Pemeriksa Keuangan RI, bahwa menunjukkan telah ditemukan berbagai persoalan didalam kelolaan dan pengelolaan PMN. Masalah terbesarnya adalah penggunaan anggaran tidak tepat sasaran, tidak sesuai peruntukannya, melakukan penyimpangan pada peraturan bidang ttt, penggunaan PMN untuk kegiatan bisnis diluar bisnis utama sedangkan target utamanya saja belum tercapai, dan lalu realisasi kegiatan/ program yang terhambat dn terlmbat sehingga implikasinya jelas pada trget output capaian yang tidak mungkin bisa tercapai; (b) tahun 2014, total aset BUMN sebesar Rp 4.577 triliun. Laporan Kinerja BUMN semester I-2017 menyebutkan bahwa total aset BUMN telah mencapai Rp 6.694 triliun. Ini berasal dari 118 BUMN di 13 sektor. Nilai ekuitas adalah Rp 2.297 triliun. Adapun laba rugi pendapatan di semester I-2017 adalah Rp 936 triliun. Untuk rasio aset BUMN terhadap produk domestik bruto meningkat dari 38% di 2015 menjadi 52% di tahun 2016. 

Strategi yang seharusnya dilakukan sekaligus isu strategis yang seharusnya menjadi catatan saat ini.
Strategi yang seharusnya dilakukan adalah: (a) dukungan strategis yang perlu dilakukan pemerintah agar sinkron antara upaya revaluasi aset dengan realisasi dan feedback adalah harus memberikan diskon pajak atau insentif pada PPh atas revaluasi aktiva tetap diberikan tsb dengan dikenai tarif PPh sebesar 3%. Sementara untuk revaluasi aset tujuan perpajakan untuk pengajuan semester II-2016, adalah masing2 dikenai tarif 4% dan 6%. Kalau tarif PPh normalnya yaitu 10%; (b) namun isu tata kelola dan manajemen ini juga tertuju kepada pemerintah. Setiap penugasan kepada BUMN hendaknya melalui prosedur baku. Jika tidk, sebagaimna yang terjadi di beberapa kasus, akan muncul rentetan persoalan yang tidk hnya membebani BUMN, tapi juga tata kelola dn manajemen pemerintaham secara umum; 

(c) kritiknya, peran BUMN yang meningkat dalam tiga tahun terakhir juatru mminggirkan swasta, sebagaimana yang pernah saya infokan di tulisan saya sebelumnya, bahwa Pemerintah seharusnya banyak share dan membuka kesempatan bagi swasta (pengusaha lokal, tidak selalu hanya investor luar negeri, untung2 UKM kalau bisa entah gak tahu gimana skemanya). Data yang saya amati dari Kementrian PU menunjukkan bahwa saat ini masih kecil sekali keterlibatan pengusaha swasta lokal Indonesia, yaitu tidak lebih 15% dari total 100% total kebutuhan dana operasional infrasruktur (Rp 4.350 milyar). Belum lagi adanya fakta miris ternyata sumbangan pengusaha swasta lokal Indonesia + digabung dengan BUMN hanya menyumbang 8-10% proyek infrastruktur Nasional, sisanya 90% dikuasai oleh pengembang asing, ini miris sekali. Ya tolong dibuat lah skenario bagaimana caranya pengusaha lokal Indonesia pun bisa berdaulat di Negaranya sendiri. Jika swasta mau dan bisa melakukan investasi, maka prioritaskanlah yang swasta dahulu, jika swasta bisa pemerintah haruslah welcome dan segera menyambut baik. 

(d) oleh sebab itu, dalam segala dukungan yang telah diberikan, jalan masih berliku bagi BUMN untuk mampu menjadi agen pembangunan yang kredibel dn andal. Cita2 menjadi katalisator dan akselerator pertumbuhn ekonomi bukan tdk mungkin terjadi pada waktu yang lebih cepat, asal BUMN mau dn berani profesional. (e) saran agar kerja cepat dan tdk lelet ini juga berlaku di sektor birokrasi dan pejabat.

Penutup dan kritik dari saya. Kritik dari saya yaitu (a) harus ada revaluasi aset terlebih dahulu untuk memetakan keadaan keuangan dan pemetaan posisi strategis agar kedepannya BUMN-BUMN tsb bisa fit dan sesuai dengan tujuan dan dasar yang diinginkan oleh pemerintah (disamping harus memenuhi fungsi dan kewajiban profit oriented). 

(b) pemerintah seharusnya tegas (jangan memble), seharusnya pemerintah tidak asal bilang iya kepada investor asing yang datang ke Indonesia, minta lah proporsi yang besar untuk ruang berkembang bagi pengusaha2 lokal Indonesia kita. Caranya bisa dengan meminta Menteri PU atau Kementrian PU untuk menaikkan ambang batas paket konstruksi bagi kontraktor besar dari yang hanya sebelumnya Rp 50 milyar, naikkan menjadi Rp 100 milyar, ini misalnya ya. Dengan skenario ini, harapannya ada porsi kontraktor lokal Indonesia untuk berperan dan berpartisipasi. 

(c) walaupun di satu sisi memang menggerakkan tubuh pengusaha swasta Indonesia apalagi UKM tidaklah semudah yang dibayangkan (apalagi di perizinan dan requirement kelayakan properti dan alat-alat penunjang), belum lagi kita membahas topik modal yang besar, resiko bisnis dan kemampuan para pengusaha lokalan swasta Indonesia yang kembang kempis tidak seragam, berbeda antar satu dengan yang lainnya. Tapi dengan fakta seperti itu, bukan berarti mereka kita tinggalkan dan tidak dibukakan ‘pintu’ nya kan?!

#Jangan bersaing di harga, bersainglah di layanan dan inovasi.
#Ingatlah prinsip, penerimaan BUMN itu tergantung strategi, bukan strategi tergantung penerimaannya.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?