Nestapa Kegoblokan Menteri Pertanian


Saya sebenarnya sedang ingin menulis tentang perilaku perbudakan, pembudakan dan slavering yang dilakukan yang katanya tokoh dari institusi yang besar, yang katanya sudah dewasa, cantik dan menyakinkan branding integritasnya. Faktanya...slavery. Ya, nanti ada edisinya sendiri.

Kembali to the point sesuai judul. Masih ingat kan dengan kasus penggerebekan beras kemaren yang rame-rame itu? Gak jelas salahnya apa, e..tahu-tahu digrebek dan dituduh ini itu bla bla bla bla. Jelas trauma ini membekas di memori seluruh pelaku usaha perberasan, lha wong saya saja yang anak seorang petani + guru dari kampung Banyuwangi yang hanya melihat, mengamati dan mendengarkan saja masih membekas dan ikut jengkel, lebih-lebih mereka yang jadi para objek kriminalisir kasus. Apalagi melihat kondisi saat ini unit penggiling, pemilah, dan pengolah beras badan usaha milik petani (BUMP) sudah tidak seramai dahulu/ biasanya. Hampir diatas 75% fungsi mesin tidak beroperasi, gudang tidak penuh, dan sudah tidak ada lagi truk-truk kontainer yang bersiap mengangkut hasil beras petani-petani kampung/ desa ke kota-kota. 

Case study BUMP (Badan Usaha Milik Petani) PT. Pengayom Tani Sejagad, Wonogiri, salah satu BUMP yang yang dulu jadi kebanggaan warga petani, dan merupakan BUMP yang sahamnya dimiliki oleh para petani, sekali lagi sahamnya dimiliki oleh para petani. Sedikit profil informasi saja, bahwa BUMP ini dimotori anak-anak muda daerah tsb yang memperkerjakan 120 orang mayoritas berusia kurang dari 30 tahun, mereka yang mengumpulkan, mengolah, memilah, mengemas, dan memasarkan beras organik hasil produksi 900-an petani padi yang tersebar di daerah tsb. Badan usaha yang sahamnya dimiliki petani ini menyuplai beras premium ke ritel-ritel modern di kota-kota besar di Indonesia. Volume produksi dan operasionalnya bisa berkisar antara 400-450 ton per-bulan dengan nilai valuasi rupiah milyaran rupiah. Saya melihat jelas ini bukanlah angka yang kecil bagi sebuah usaha berbasis BUMP yang baru saja buka Mei 2016 dan merintis.

Artinya apa? artinya cashflow dengan konsep BUMP ini bisa melahirkan desentralisasi keekonomian petani di daerah tsb. Ee mak bedunduk..datangnya kegoblokan Pak Mentri merusak sistem ekonomi desentralisasi yang susah payah petani desa ini bangun.

Didalam penggerebekan beras yang konyol itu, gudang BUMP jadi sasaran penyegelan, dan didalam perkembangan kasus tsb, alhamdulilah sesuai prediksi saya, secara jelas dan gamblang BUMP bebas dari segala tuduhan hukum dan pelanggaran. 

TAPI, apakah sandiwara goblok Mentri ini membuat kondisi BUMP kembali seperti sediakala? Jawabannya, tidak! Para pelanggan mereka pada kabur dan ikut jera, menjadi khawatir dianggap menimbun beras, kondisi operasi penggilingan, jenis beras khusus yang diperdagangkan menjadi ambigu (akibat aturan HET yg ditetapkan), volume demand dan pengiriman beras langsung anjlok drastis, perdagangan antarwilayah dan antarpulau menjadi resistancesebagian karyawan muda tua yang terpaksa diberhentikan dan ternyata mereka telah merantau lagi ke luar daerah dan ada juga ke luar Negeri untuk mencari kerja. Perwakilan Satgas Pangan, Persatuan Penggilingan Padi dan Beras Indonesia akhirnya menyepakati pemberhentian tindakan yang jelas konyol dan meresahkan pelaku pemberasan ini. Benar-benar tindakan konyol bin majnunAkibat perilaku bodo ini, hampir merata seluruh pengusaha penggilingan padi dan beras memilih mengurangi pembelian bahan baku gabah. 

Kata bijak untuk RENUNGAN penutup dari saya untuk kasus ini adalah bagaimana saat Negara menjadi musuh rakyat dan mereka lebih memilih ego jabatan untuk meneruskan tindakan konyol?!

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?