Pilkada Dan Tahayyul Kesantunan Politik


Tidak ada politik yang fair, yang ada hanya baku hantam. Cuma yang membedakan disini, baku hamtam tsb dilakukan dengan melanggar hukum atau tidak.

Dalam politik dan pilkada, peperangan bukan di level hukum, tapi masuk dalam tataran etika, justice, right, transaksional, benefit center, profit center, dan asas kepatutan atau tidak. Outputnya lebih ke justifikasi sosial (sanksi sosial), bukan sanksi hukum.

Tahun 2018 menjadi tahun politik. Ada pilkada serentak di 171 daerah. Polri menilai, ada lima provinsi dengan kerawanan tingkat tinggi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua. Penilaian ini mempertimbangkan populasi daerah dan dinamika politik. Adapun Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2018 yang disusun Bawaslu menunjukkan kerawanan pemilihan Gubernur di tiga provinsi yang tergolong tinggi, yaitu di Papua, Maluku, dan Kalimantan Barat. Terkait dengan pilkada di 154 kabupaten/ kota, ada enam daerah yang termasuk rawan, yaitu Kabupaten Mimika, Paniai, Jayawijaya, dan Puncak (Papua), Kabupaten Konawe (Sulawesi Tenggara), dan Timor Tengah Selatan di Nusa Tenggara Timur (Kompas, 08 Desember 2017).

Jika energi publik kita saat ini sudah ibaratnya terkuras habis secara emosional dan energi lainnya untuk Jakarta, Pilkada Jakarta 2017. Pertanyaannya. Bagaimana dengan pilkada yang ada di 171 daerah lainnya?

Definisi substantif politik praktis menurut saya adalah politik bukanlah output. Politik iitu adalah sebuah proses dan metodologi, sehingga politik selayaknya mencari kualitas regenerasi pemimpin baru, entah itu pemimpin muda atau barisan muda yang siap melanjutkan prinsip dan ideologi yang sudah dibangun saat ini dan di masa yang akan datang. Sayangnya, saat ini praktik yang ada di lapangan, politik adalah kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan. Wajar jika politisi berusaha mempengaruhi publik agar memilih mereka.

Yang menjadi strategis dan banyak retoris disini adalah bagaimana kampanye atau proses mempengaruhi publik itu dilakukan. Ada politik santun, ada politik golongan, ada politik gabungan, ada politik gabutan, ada politik kuping tipis panasan, ada politik nasi bungkus (jangan lupa lauknya ikan teri), ada politik asal eksis, ada politik tong setan, dan lain sebagainya. Yah..anggap saja itu sebutan suka2 semau saya.

Di level substantif ini, yang terpenting bagi saya adalah saya berharap ada politik yang sehat, dinamis, yang punya integritas, dan fokus pada tanggung jawab, inovasi, dan fast response yang cepat bagi warganya, biaya birokrasi yang murah, dan selalu optimalisasi realisasi yang maksimal. Bukan saja uangnya (uang rakyat/ apbdes/ apbd/ apbn) dihabis-habiskan untuk sosialisasi sosialisasi dan sosialisasi, kunjungan kerja lebay, dan orientasi pesangon. Tapi fokus ke realisasi realisasi realisasi dan fokus pembangunan sektor publik yang bisa diukur manfaatnya, bisa diraba, dan merasakan kepuasan oleh masyarakat luas lapis bawah.

Akhlaq politik itu, politik yang menjaga kebenaran, kejujuran, dan menjaga spiritualitas demi merawat hak kemanusiaan dan menghindari perbudakan.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

  1. Perlu diperhatikan dan berhati-hati, bahwa adapun Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2018 yang disusun Bawaslu menunjukkan kerawanan pemilihan Gubernur di tiga provinsi yang tergolong tinggi (bahkan bisa ke pertengkaran fisik dan adu jotos), yaitu di Papua, Maluku, dan Kalimantan Barat. Terkait dengan pilkada di 154 kabupaten/ kota, ada enam daerah yang termasuk rawan, yaitu Kabupaten Mimika, Paniai, Jayawijaya, dan Puncak (Papua), Kabupaten Konawe (Sulawesi Tenggara), dan Timor Tengah Selatan di Nusa Tenggara Timur (Kompas, 08 Desember 2017).

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?