Politik Bikin Mumet


Langkah pertama untuk melakukan reformasi dan perbaikan adalah dengan mengakui adanya penyakit pada birokrasi ("bureaupathologies") dan menganggap itu sebagai sesuatu yang serius. Tanpa itu, salah kelola pemerintahan akan terus berlangsung dan membuat kerusakan.

Politik bikin mumet? Ya. Bikin mumet, bagi kaum muda seperti kami kepusingan ini outentik menuju 79%. Tapi yes dominan persentase-nya bila dibandingkan yang tidak bingung tentang politik. Kenapa seperti itu? Karena didalam perjalanannya politik dan pelaku politik punya banyak wajah dan tidak konsisten dari wajah satu kepada wajah lainnya. Bahkan melanggar janji pun hal yang lumrah, ya..namanya saja politik. Lucunya, saat rakyat kecil yang berbohong eh..bisa dipermasalahkan, bisa panjang buntutnya. Pas mereka yang bohong, elahdalah dianggapnya itu sebuah dinamisasi dan kewajaran.

Ada cuitan yang berbunyi sebagai berikut: "Kalau kita berbohong kepada penguasa itu disebut tindak kejahatan besar, tetapi saat mereka yang berbohong kepada kita itu disebut politik". Statemen ini kalau dikritisi secara kreativitas dan kontribusi secara sosial kemasyarakatan jelas (politik) minus kontribusi, karena sulit diukur. Lebih mending kita berbisnis, bikin buku, riset, melakukan pertunjukan seni, karya sastra, lukis, murral, literasi, dan lain sebagainya. Linier tentang politik dan kreativitas, kalau menurut Victory Pinchuk, yaitu: "Seni, kebebasan, kreativitas menurut saya akan lebih bisa mengubah masyarakat kita lebih cepat dibandingkan politik". *Victory Pinchuk adalah pengusaha sekaligus birokrat terkaya Ukraina nomor lima.

Didalam kolom komunitas, banyak berpendapat bahwa politik itu punya banyak wajah, ya setidaknya ada yang menyebutkan politik punya tiga wajah. Wajah pertama, politik itu wajah tampak penuh senyum dan ketulusan karena politik adalah instrumen untuk pengabdian kepada masyarakat dan rakyat kecil, tampak demokratis, aspiratif, dan dialogis. Wajah kedua, politik itu wajah penuh culas karena seolah-olah politik sebagai sarana kepentingan rakyat tapi haqiqatnya adalah tempat pemuas nafsu kuasa pribadi dan kelompok, penuh dengan kepalsuan, kepura-puraan, manipulatif, dan munafik. Dan wajah ketiga, politik itu wajah tampak sangar karena politik dijadikan alat untuk menindas masyarakat dan rakyat lapis bawah, ia jelas sekali tampak bengis, kejam, tiranik dan otoriter.

Sekedar mencocokkan dengan kolom riset Kompas, bahwa lebih banyak anak muda tidak bahagia (68,8%) saat mendengar kabar tentang politik di media sosial, berikut formula dan komponen komposisinya = 50,9% (khawatir), +  9,5% (marah), +  8,4% (miris dan takut) = 68,8%. Sisanya, anak-anak yang menganggap politik itu biasa-biasa saja sebesar 22,5%, sementara yang menilai tenang dan damai hanya segelintir, yaitu sebesar 1,1% saja.

Bagi para anak muda yang menganggap politik hanya untuk ajang rebutan kekuasaan adalah 35,3%, lalu 15,6% (korupsi), dan 13,8% (kebohongan), sedangkan dari sisi demokrasi hanya (18,9%), dan persepsi politik memberikan kesejahteraan adalah lebih kecil lagi (yaitu 2,9%).

Persepsi anak muda itu adalah alarm nyaring. Kalau persepsi anak-anak muda itu tidak dijadian bahan refleksi bagi mereka-mereka yang bergerak di gelanggang politik, ini namanya kebangetan, ini namanya keterlaluan. Kenapa? Karena sekarang ini persoalan politik sudah menjadi area terbuka di ruang publik. Apalagi, setiap hari menu politik sudah tidak bisa ditolak lagi. Kalau katanya George Orwell (1949) bahwa: "Di zaman ini sudah tidak ada itu yang bisa menjauhkan diri kita dari politik, semua isu adalah isu politik, dan politik itu sendiri adalah penuh lukisan keindahan namun berisi kebohongan, pengelakan, kebodohan, kebencian, dan skizofrenia".

Catatan penutup saya, yaitu perilaku politikus zaman ini semakin aneh dan mengagetkan (bukan benar bangga, tapi salah malah bangga), politikus dan pejabat-pejabat yang terjerat korupsi bukanlah hal yang mengagetkan lagi, justru yang bikin kaget itu adalah mengapa politikus dan pejabat-pejabat yang terjerat korupsi dan kroni-kroninya tsb tak sadar-sadar juga. Apakah ambisi yang penting menguasai dan mencuri uang rakyat sudah menjadi tabiat dasar mereka?

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?