Dana Desa Yang Mengendap Di Kas Pemda Ada Triliunan Jumlahnya
Bagi saya, masalah adalah kesenjangan antara kenyataan dengan harapan yang diinginkan. Solusinya bagaimana? solusinya adalah kendala didalam harapan-harapan tsb harus diselesaikan dan akhirnya realisasi menjadi lebih maksimal, bukan lagi optimal.
Jarak antara masalah dengan solusinya adalah sama dengan jarak kepala ke tempat sujud #eh salah kamar ya, yasudah, statemen saya yang terakhir ini lupakan.
Kembali ke laptop. Anda amati ya, pasti ada masalah kenapa penyerapan dana desa tidak bisa seoptimal yang diinginkan. Hingga 31 Desember 2017 saja, dari pagu yang sebesar Rp 60 triliun, dana desa yang benar-benar sudah tersalurkan baru Rp 48,3 triliun atau sebesar 80,5% dari 100%. Ada sekitar 19,5% dana desa yang nganggur tidak diserap digunakan.
Saya melihat, dengan
kasus jumlah uang sebesar 19,5% atau sekitar Rp 11,7 triliun, ini tentu bisa
sangat bermanfaat untuk agenda pembangunan desa apapun itu. Contoh, Rp 11,7
triliun ini bisa digunakan untuk pembangunan 42.000 meter jembatan, atau bisa
juga digunakan untuk pembangunan 72.000 ruang kelas sekolah dasar, atau bisa
juga untuk dijadikan subsidi beras untuk 8,75 juta keluarga miskin, atau bisa
juga untuk beasiswa yang bila divaluasi kurang lebih bisa/mampu digunakan untuk
pembiayaan 12 juta siswa sekolah menengah atas.
Kenapa harus dana
desa? Dana desa adalah dana khusus yang dialokasikan dari APBN khusus untuk
desa. Dasar hukum dana desa adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa. Artinya apa? Artinya adalah dana ini khusus sebagai dana percepatan
pembangunan desa. Apalagi pada tahun 2017, dana desa diprioritaskan untuk
pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Jelas ini sebuah kesempatan
bagi desa untuk maju secara cepat. Apalagi saat ini di Indonesia ada sebesar
74.910 desa di 434 daerah.
Agar logika kita
tersusun terstruktur dengan baik. Secara administratif, penyaluran dana desa
dilakukan secara bertingkat, yakni Kemenkeu menyalurkan dana desa dari Rekening
Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) yang dimiliki oleh
pemerintah daerah. Dari Pemda ini, lalu diteruskan ke Rekening Kas Desa atau
RKD yang dimiliki oleh Pemdes atau pemerintah desa. Jadi dasar logika dan berpikirnya sudah clear
ya..
Data eksisting saat
ini menyebutkan arus flow –nya sebagai berikut: realisasi penyaluran dana desa
tahap I dan II dari RKUN ke RKUD hingga 31 Desember 2017 yang telah menjangkau
74.910 desa di 434 daerah adalah Rp 59,77 triliun atau sekitar 99,6% dari pagu
yang seharusnya. Sedangkan penyaluran dana desa tahap I dan II dari RKUD ke RKD
Desa saat ini baru terealisasi sebesar Rp 48,3 triliun atau 80,84%, dan sisanya
yaitu Rp 11,7 triliun masih mengendap di kas pemerintah daerah tsb.
Kenapa ini bisa
terjadi? Karena ini terjadi karena desa belum seluruhnya memenuhi syarat
didalam administrasi pencaiaran tsb, yakni ada syarat bahwa jumlah realisasi
dalam penyerapan anggaran kas sudah paling sedikit ada sebesar 75% realisasi
dan ada output minimal dari 75% tsb sebesar 50% yang signifikan di desa yang
bisa diawasi dan dirasakan.
Dan faktanya memang,
hampir seluruh desa pada 74.910 desa di 434 daerah di Indonesia belum bisa
memenuhi paling sedikit sebesar 75% realisasi dan ada output minimal dari 75%
tsb sebesar 50%. Lalu kalau tidak tersalurkan sisa dana desa tsb bagaimana? Sisa
dana desa tsb akan dijadikan sisa anggaran lebih atau SAL di RKUN, dan adapaun
dana desa yang tidak tersalurkan dari RKUN ke RKD akan menjadi sisa di RKUD
yang akan diperhitungkan pada penyaluran dana desa di tahun penyaluran yang
berikutnya.
Evaluasinya apa? Evaluasinya
adalah karena ini masuk di level administratif dan realisasi, maka (a)
kapasitas manajemen aparat desa harus ditingkatkan, karena saat ini faktanya
masih sangat lemah; (b) didampingi secara serius agar tidak terjadi
administrative trup, karena faktanya banyak sekali yang terjebak di jebakan
batman di lajur administrasi ini; (c) kita butuh pendidikan, sosialisasi, dan
monitoring terus menerus agar antara rencana awal, realisasi menengah dan hasil
akhir sesuai sebagaimana yang telah direncanakan dari awal. Bukan malah terjadi
mark-up dimana-mana dan korupsi dimana-mana.
Salam,
Bahrul Fauzi
Rosyidi,
Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi
hak cipta!
Komentar
Posting Komentar