Kampus Asing, Ancaman Atau Sebuah Keuntungan?


Kita sepakat, bahwa pendidikan adalah hak segala bangsa, pendidikan adalah pilar utama kemajuan bangsa, dan pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Dan satu hal yang paling perlu diingat, yakni pendidikan memang tidak menjamin sukses, tapi tanpa pendidikan kehidupan ini akan semakin sulit. Sekarang kita coba keluar dari konteks pendidikan yang bersifat makro dulu tsb. Kita coba masuk dalam bahasan kalau kampus asing itu masuk (legal) ke Indonesia demi "kalimat daya saing", apakah itu makin bagus ataukah makin runyam (buruk) bagi kita kita. Check it out!

Yang paling terancam dengan kedatangan kampus asing adalah kampus lokal tentunya (PTN dan PTS jenis pertama). Disini jelas, masyarakat akan rela membayar jasa pendidikan dengan uang mahal asal bisa mendapatkan kompetensi dan daya saing yang dibutuhkan untuk anaknya atau untuk dirinya sendiri. Dan dinamika ini tentu akan dimenangkan oleh kampus-kampus yang mampu mengusahakan mutu yang bisa paling bertengger diatas. 'Totoan dalam meja kompetisi' ini kalau saya menyimbolkan adalah: (a) kualitas; (b) standard kompetensi; (c) jaringan kerja dan lainnya; (d) layanan; (e) sertifikasi; (f) dan lain sejenisnya.

Jika kampus asing itu datang dengan gaya manajerial dan service yang efisien dan penuh dengan satisfaction, yaa sudah terbayang jelas di mata kita, semua orang akan berdesak-desakan masuk ke situ. Belum lagi, proses belajar, kualitas materi, dan dosen-dosen andalnya teruji jam terbang dan kehebatannya, itu pasti akan sangat diminati oleh mahasiswa kita. Kampus lokal (PTN/PTS) pun harus siap menghadapi ini. Jika dirasa kampus lokal tidak bisa bersaing dengan kampus asing, ya minimal kita harus bisa "berkolaborasi" dengan mereka sebagaimana yang diisyaratkan oleh Kemenristek Dikti bahwa kampus asing harus punya partner kampus lokal. Hal ini demi melindungi daya saing kampus lokal. Dengan model kolaborasi ini, jelas benefit dan keuntungan lainnya entah yang bersifat financial dan non-financial dapat dipanen bersama.

Kenapa saya bilang "benefit dan keuntungan lainnya entah yang bersifat financial dan non-financial dapat dipanen bersama"? Karena jelas sekali dalam sidang WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia, yaitu Indonesia sepakat bahwa pendidikan adalah bagian dari GATS yang menyatakan bahwa pendidikan adalah bagian dari "jasa pendidikan". Ini sudah disampaikan pada 2005 dalam Conditional Initial Offer Indonesia untuk Subsektor Pendidikan Tinggi pada GATS. Pun jug Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal, dimana pendidikan tinggi khususnya jasa pendidikan tinggi program gelar swasta dan jasa pendidikan tinggi program non-gelar swasta, dimasukkan ke dalam daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. Jadi, ini (jasa pendidikan yang dimasukkan ke GATS di WTO) bukanlah kebijakan mendadak yang diambil pemerintah Jokowi saat ini.

Bagaimana to sebenere sejarah tentang ini? Sebenarnya ini bisa jadi keuntungan ataukah malah lebih banyak ancamannnya? Allahu a'lam bissowab, sama-sama coba kita lihat kedepannya itu bagaimana. Namun kampus yang paling saya amati bisa bertahan lama dibandingkan lainnya adalah yang menawarkan atau menetapkan kurikulum sertifikasi keahlian yang selalu di-update dan distandardkan dengan standard nasional internasional. Sebab dunia industri sangat adaptif dan welcome sekali dengan orang2 atau mantan mahasiswa yang telah tersertifikasi keahliannya dibandingkan kepada mereka2 yang 'katanya pintar', tapi mung teori tok.

Kembali ke laptop. Tentang sejarah. Awalnya adalah keikut sertaan Indonesia dalam organisasi WTO. Di salah satu aspek yang dicakup WTO adalah GATS, yaitu perdagangan jasa yang diatur didalam General Agreement on Trade in Service. GATS sebagai salah satu lampiran dari Perjanjian Pembentukan WTO tsb, yang disitu (sadar tidak sadar) diletakkan aturan-aturan dasar bagi perdagangan internasional di bidang jasa. Selain itu, ada Schedule of Specific Commitments yang berisi daftar komitmen dan jadwal Indonesia. Disitu sifatnya spesifik dan menjelaskan sektor dan transaksi apa saja yang bakal dimasukkan dalam bidang jasa yang terbuka bagi pihak asing untuk bisa dimasuki dan juga menjelaskan kondisi-kondisi apa saja yang tidak dapat dihindari dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, "termasuk perdagangan dalam jasa pendidikan".

Jelas yaa sejarahnya semua ini. Makanya, sebagai konsekuensi telah ikut dalam MOU tsb, Indonesia mau tidak mau tidak boleh mundur. Beberapa negara, terutama Australia sudah sangat "bernafsu/ berhasyrat/ berkonak" membuka perguruan tinggi di Indonesia.

Apakah Indonesia atas hal ini diam pasrah saja? Saya pikir harusnya tidak. Walaupun kita kena "skakmat" di forum internasional. Indonesia haruslah tetap memikirkan skenario exit entry strategy-nya, agar kita tidak selalu jadi 'kambing congek'. Yang saya tahu, ada beberapa skenario dan role playing yang dilakukan Indonesia dalam hal ini, yaitu: Pertama, pendidikan yang boleh masuk ke Indonesia haruslah di bidang sains, teknologi, rekayasa, dan matematika; Kedua, dibatasinya lokasi yang diizinkan untuk membuka universitas asing, harus ada partner lokal (kampus lokal yang digaet disitu); Ketiga, investasi modal maksimum asing tidak boleh lebih dari 67% dan kampus lokal yang jadi partnership haruslah mereka-mereka (kampus) yang sudah terakreditasi dan tidak boleh lebih buruk mutunya dibandingkan kampus domestik.

Yaah, saya fikir skenario exit entry strategy-nya lumayan banyak memberikan angin segar dan rasa aman. Tinggal kita lihat besok, realisasinya apakah bener kayak gitu ataukah tidak sama sekali?!


Catatan kaki bagi kita semua, bahwa saat ini sudah diketahui bersama kualitas kampus lokal (PTN/PTS) Indonesia masih minim, dan akan masuknya kampus asing ke "jasa" pendidikan Indonesia adalah sebuah realitas pahit dan tantangan berat. Jika alasannya kampus lokal belum siap, maka kampus lokal tsb saya yakin tidak akan pernah siap, sedangkan PT Asing tidak mungkin mundur lagi. Sikap kita yang harus dimunculkan saat yaa harus realisitis. Harus mulai menyadari fakta realitas saat ini, dan mulai menyusun langkah real (action plan yang jelas) bagaimana (entah itu berupa inovasi akademik berupa macam2 hal, terserah Anda) yang terpenting bagaimana caranya kita bisa win, lebih unggul dibandingkan kampus asing.

Winner never quit, and quitters never win!

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?