Menggunakan Strategi Lobi dan Diplomasi Untuk Strategi Negosiasi Bisnis Yang Efektif


Cerdas didalam berkomunikasi, artinya adalah kita sudah membuka peluang, dan mulai pintar menimbang-nimbang antara ekspektasi dengan resiko. Didalam peran kesuksesan, kita tidak bisa menafikan bahwa peran komunikasi, style komunikasi, kejelasan komunikasi, dan gaya komunikasi adalah sangat menentukan. Disamping itu juga sebagai diferensiator antar satu orang dengan orang lainnya. Semakin berkualitas lobi, diplomasi, dan negosiasi yang kita ajukan, maka semakin berkualitas respon/dampak/ hasil akhir yang akan mereka berikan kepada kita. Otomatis, itu juga menunjukkan kelas diskusi/negosiasi, leadership, dan gaya komunikasi Anda didepan semua orang.

Saya melihat strategi diplomasi harus berlapis. Strategi tidak hanya negosiasi, tapi kita harus bisa meyakinkan memastikan negosiasi ini memunculkan link and match, win-win solution, benefit, dan hubungan jangka panjang. Sebagai pemertegas dari diplomasi yang baik, eksekusi setelah itu harus ada deal legal hitam diatas putih yang jelas dan partnership kemitraan industri yang saling menguntungkan.

Kalau didalam politik internal, gerakan diplomasi Indonesia terhadap UE/Uni Eropa dalam kasus antidumping adalah contoh strategi diplomasi yang tepat. Pembelaan Indonesia atas pengenaan bea masuk antidumping UE itu menyasar pada inti pokok persoalan, yaitu diskriminasi perdagangan. Artinya, Indonesia menunjukkan pembelaan dan serangan balik dengan komunikasi (diplomasi) yang tepat, menyudutkan pihak diskriminator, namun tanpa menimbulkan konflik yang baru.

Diplomasi dibandingkan lobi dan negoasiasi, saat ini telah memberikan konteks dan konstruk yang lebih luas. Memastikan di setiap hal, selalu ada dampak. Dan bisa menjadi dasar argumen yang kuat.

Jika penerapan negosasi bisnis tidak tepat dan halus (tanpa diplomasi), maka negosiasi bisnis malah terkesan “sedang perang”.

Diplomasi berbeda dengan penjilat. Gaya penjilat itu lebih ke munafik, yaitu tidak sama antara ucapan dengan tindakan, tidak sama ucapan saat dengan perusahaan si A dan berbeda saat bertemu perusahaan si B. Diplomasi tetap tegas di benar salah. Diplomasi tetap menggunakan parameter kebenaran sebagai bahan utama bisnis, meeting dan deal. Namun, diplomasi menggunakan baik buruk tidak hanya benar salah didalam menghadapi bisnis, deal, dan meeting, hal inilah yang membuat diplomasi terkesan/terlihat soft, lebih halus dilaksanakan, dan lebih mudah diterima semua orang.

Didalam spirit ini, adanya linieritas antara diplomasi dan bisnis ditunjukkan juga oleh hasil riset Daniel Kahneman, peraih Nobel bidang Ekonomi Psikologi tahun 2001, yang mengatakan bahwa: “...terbukti, pebisnis-pebisnis sukses di dunia, lebih senang berkumpul, bermitra, dan berparthnership dengan orang-orang yang cocok/sesuai dengan mereka saja. Yang gak cocok dan gak sesuai dengan mereka, rata-rata di-reject, disingkirkan. Entah ini cocok secara nilai-nilai luhur atau lainnya. Apakah artinya, pebisnis2 sukses ini menafikan kecerdasan untuk nasib solusi perusahaan mereka? Tidak. Tentu tidak. Mereka tetap fokus kepada itu, namun menseleksi kepada mereka-mereka yang cerdas dan memang bisa cocok dengan value yang pebisnis2 sukses ini miliki”.

Dimana letak diplomasinya? Mencocok-kan komunikasi yang cocok namun win-win solution inilah jagoannya strategi diplomasi, dibandingkan negosiasi kaku dan lobi yang kadang ‘bermuka dua’.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?