Saya Melihat, Sebagai Penghasil Kakao Terbesar Di Dunia Selayaknya Kita Pun Punya Industri Kakao Dan Cokelat Terbesar Di Dunia, Bukan Belgia Yang Malah Menguasai Industri Ini


Ada yang bilang, kerja keras dan kerja cerdas yang dipacu 2/3 kali lipat lebih besar dari orang lain, maka hasilnya akan diatas garis linier rata-rata orang kebanyakan. Prinsip inilah yang membuat usaha dan kerja keras tidak akan pernah membohongi hasil.

Bisnis kakao? hmmm masih prospek gak sih. Cekidot. Mari coba kita ulas sedikit demi sedikit.

Dari imajinasi yang saya miliki, seharusnya, Indonesia sebagai salah satu penghasil kakao terbesar di dunia haruslah juga menguasai industri ini. Bukan malah Belgia atau negara lain yang menguasai industri potensi komoditas dalam negeri ini (industri cokelat yang produknya didistribusikan hingga di pelosok dunia). Itulah mengapa, kenapa saya memilih judul "Saya Melihat, Sebagai Penghasil Kako Terbesar di Dunia Selayaknya Kita Pun Punya Industri Kakao dan Cokelat di Dunia, Bukan Belgia Yang Malah Menguasai Industri Ini".

Kenapa to harus mengembangkan industri ini? Memang, apa enaknya mengembangkan industri ini?

Kakao dari Indonesia ini ada kelemahan ada keunggulannya. Keunggulannya adalah melting point-nya tinggi, jadi tidak mudah meleleh. Kemudian free fatty acid-nya juga rendah sehingga tidak mudah tengik. Disamping itu, kenapa industri ini penting bagi peta perkembangan industri Indonesia? Karena kakao adalah tanaman rakyat. Kok bisa? Karena hampir di seluruh wilayah Indonesia tumbuh tanaman penghasil coklat tersebut. Dan 90 % kebunnya adalah milik petani. Meskipun demikian, Sulawesi tetap merupakan daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia. Dimana 60 persen dari luas kakao Indonesia terdapat di Sulawesi yang menyumbang produksi nasional hingga 500 juta ton.

Kalau berbicara tentang ranking, urutan berikutnya (kedua) adalah Sumatera. Yakni yang terpusat di Propinsi NAD, dan selebihnya tersebar di Pulau Kalimantan, Bali, Maluku, dan Papua. Dari kualitas hasil, petani kakao di Sulawesi umumnya paham tentang fermentasi. Namun petani di Sumatera, Bali dan Jawa relatif minim pengetahuannya tentang fermentasi, kecuali yang telah menjadi mitra dari perusahaan. Indonesia sendiri sekarang mengincar posisi kedua sebagai negara penghasil kakao terbesar di dunia.

Teman-teman sekalian, memang benar, saya menulis disini, kayaknya dari total keunggulan yang saya sebutkan, jumlah kelemahan industri ini totally lebih dibanyak dibandingkan kelebihannya. Apalagi solusinya. Solusinya saya cuma kasih sak emprit saja. Tapi tidak masalah. Saya fikir, saya ini penting bagi kita untuk mengurai data dan memahami dimana letak-letak point analysis disitu. Agar kedepan kalaupun solusi belum ada, bisa sedikit demi sedikit dicari dan visi yang baik tetap bisa dipertahankan dan ditingkatkan lebih tinggi lagi.

Memang apa saja kelemahan yang dihadapi industri kakao dan cokelat di Indonesia saat ini? 

Pertama, satu hal yang perlu diperhatikan. Yakni pera petanilah yang saat ini sedang merasakan pahitnya industri pengolahan kakao akibat daya competitiveness yang rendah.Data mengatakan bahwa, sekarang dari total perusahaan pengolahan kakao di Sulsel, hanya ada dua perusahaan yang berproduksi, sisanya “ibarat hidup segan matipun tak mau”. Dua perusahaan yang bertahan itu adalah Mars Symbioscience Indonesia dan Barry Callebaut Comextra Indonesia.

Produksi kako Sulsel semakin terbatas membuat persaiangan antarindustri didalam menyerap bahan baku kakao menjadi ikut kesusahan, karena jumlah sedikit sehingga rebutannya pun semakin kompetitif. Akibat rebutan bahan baku yang semakin kompetitif dan tentunya berefek pada harga kakao yang semakin mahal, maka hal tsb membuat 4 perusahaan lain yang berbasis lokal tidak bisa lagi bersaing secara sehat dengan Mars Symbioscience Indonesia dan Barry Callebaut Comextra Indonesia yang lebih siap bertahan dari segala sudut sisi dan sudut pandang.

Permasalahan pemasokan (bahan baku kakao yang langka) telah berlangsung sejak 2013. Produksi kakao di Sulawesi Selatan beberapa tahun terakhir berada dalam tren penurunan. Jika melihat data dari Dinas Perkebunan Sulsel, pada 2013 produksi kakao mencapai 148.956 ton. Padahal tahun sebelumnya, produksi komoditas andalan Sulsel yang berorientasi ekspor ini mencapai 175.813 ton. Penurunan ini terus berlanjut hingga 2017, total produksi bahan baku coklat ini hanya 136.386 ton.

Kondisi industri yang sulit ini tidak hanya terjadi di sulsel, tapi sudah jadi masalah Nasional. Penurunan produksi biji kako memaksa industri pengolahan coklat melakukan impor agar pabrik-pabriknya bisa tetap beroperasi bisnisnya. Prediksi produksi kakao tahun ini hanya sekitar 340.000 ton atau menurun 14% dibandingkan realisasi tahun 2017 yang lalu.

Banyak sekali data yang mendukung penurunan industri ini, namun satu hal yang bisa digaris bawahi, bahwa penurunan produksi kakao dalam negeri terus terjadi. Produksi kakao di indonesia saya yakin akan jatuh ke angka 200.000 ton per-tahun kalau pemerintah tidak segera mencari solusi terhadap permasalahan ini.

Faktor masalah yang paling core yang membuat produksi kakao menipis adalah: (a) penyusutan lahan perkebunan rakyat yang memang didominasi lahan kakao dalam negeri, tidak adanya peremajaan membuat kondisi ini semakin parah; (b) trend koreksi harga kakao yang membuat para petani merasa ‘dihajar’ dan menjadi semakin pesimis, di CboT harga kakao adalah US$3.069 perton; (c) alih fungsi dan lebih memilih ke sawit dan karet membuat petani meninggalkan kakao; (d) nilai ekonomis komoditas ini semakin turun, ada instruksi dari pemerintah bahwa penghapusan tanaman kakao berdasarkan instruksi pemerintah setelah melakukan pertimbangan secara matang, selain itu manfaat karet lebih banyak dibandingkan kakao sehingga menyelamatkan lahan agar mempunyai nilai ekonomis lebih tinggi; (e) saat tanaman kakao dihapuskan 5 tahun yang lalu, mereka para petani tidak ada penolakan, mereka justru senang bisa mengganti tanaman tsb dengan karet yang punya nilai ekonomis lebih tinggi;

(f) panen kakao beberap atahun terakhir terus menuai kegagalan dan mendatangkan kerugian bagi petani. Produksinya kurang dari 1 ton perhektar per-tahun. Jadi dalam 1 tahun penen itu hanya 800 kg, produksi sebesar itu secara ekonomi jelas tidak menguntungkan bagi petani. Untuk mencapai break even point (BEP), produksi yang harus dihasilkan lahan kakao kering perhektar harus mencapai 1,2 ton per-tahun. Inilah yang membuat para petani harus beralih fungsi dari kakao ke karet. Ini (produktivitas) menurun sejak tahun 2010; (g) imbas dari petani yang lesu, mengefek pada pabrikan dan para pelaku industri kakao atau coklat karena kekurangan bahan baku, dan akhirnya harus impor, walaupun impor pun tak sepenuhnya bisa jdai jawaban, impor kakao dari luar negeri pengusaha dikenakan pajak 17,5% yang terdiri dari bea cukai 5% pajak pertambahan nilai (PPN) 10% pajak penghasilan (PPh) 2,5%;

(h) saat ini AIKI mencatat ada 20 pabrik pengolahan kakao di Indonesia dengan total kapasitas produksi 800.000 ton. Tapi 9 pabrik berhenti produksi hingg abisa mendapatkan pasokan bahan baku kakao kembali. Dengan demikian, kapasitas produksi terpakai industri kakao selama 2017 hanya mencapai 450.000 ton atau 56,25% dari totak kapasitas yang ada. Oleh karena itu, kita berharap pihak pemerintah bisa mempermudah impor jika nyatanya negeri ini memang belum bisa menaikkan komoditas ini dan industri ini.

Sekarang produksi kita masih kurang dari 800 ribu ton (per tahun), bagaimana caranya kita jadi 1,5 juta ton (per tahun) padahal kita punya lahan cukup. Tentang masalah kebun, di beberapa wilayah, pekebunan kakao mulai terancam mengalami konversi. Misalnya saja di Sumatera, di beberapa kabupaten, petani mulai menganti tanaman kakao tuanya dengan sawit.

Lalu bagaimana solusinya? Sebenarnya kalau saya melihat, tidak hanya persoalan ketersediaan bahan baku kakao. Ada aspek yang membuat industri kakao dan cokelat bisa bertahan, yakni industri ini harus punya jaringan pemasaran yang kuat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Mars dan Comextra, bahwa ia terbukti bisa bertahan hingga sekarang karena mereka memang memiliki jaringan pemasaran yang kuat sekali. Saya melihat hal ini perlu sekali untuk ditiru dan dikembangkan.

Satu pertanyaan untuk Anda. Why worry? If you have done the very best you can, then worrying won’t make it any better, yang artinya kurang lebih sebagai berikut: "...memang kenapa juga kita harus cemas/khawatir? Selama kita saat ini sudah melakukan tindakan yang terbaik yang benar-benar semaksimal kita mampu lakukan, maka khawatir/was-was itu seharusnya hanya hiasan dinding saja. Hanya mitos atau tahayyul yang seharusnya tidak usah kita hiraukan."

#Ingatlah prinsip istikhoroh #Mencantolkan harapan kita hanya kepada Allah Swt.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?