Drama Hilangnya Rasa Malu


Hari hari ini, kita membahas tulisan-tulisan yang bersifat makro sarkastik saja ya. Tidak menunjuk ke hal spesifik, tapi tau arah tulisan ini mau kemana kritik-kritik publiknya. Kita awali dengan drama hilangnya rasa malu pemimpin-pemimpin kita yang terjerat korupsi. Yang saat ini ada di kursi pesakitan KPK dan pengadilan.

Perlu diketahui oleh teman-teman sekalian, bahwa pembohongan publik itu terjadi melalui banyak hal. Ironisnya adalah sekarang ini seseorang melakukan pembohongan publik sudah tidak punya malu dan salah. Kenapa ya?!

Seharusnya, rasa salah dan malu tsb adalah merupakan bagian dari emosi. Dan solusinya pun bisa diatasi dengan pendekatan emosi. Lalu, apakah faktanya bisa benar-benar demikian? Coba kita kupas tuntas dulu saja ya.

Kalau saya diminta harus menjawab tentang drama rasa malu dan emosi dalam sebuah pendekatan. Maka pendekatannya sebagai berikut:

Bagi saya, emosi dan rasa malu bisa dijelaskan berdasarkan 2 pendekatan. Pertama, apakah emosi dan rasa malu tsb bentukan dari masyarakat. Sehingga, seseorang tidak akan merasa malu dan salah karena masyarakat tidak menyatakan itu salah, makanya sindiran tindakan dia telah menghilangkan kehormatannya sudah gak tedas lagi, sudah tidak mujarab lagi; orang korupsi akan merasa bersalah, tetapi tidak merasa malu. Kedua, emosi dan rasa malu adalah bagian dari proses evolusi. Riset Darwin melihat perkembangan emosi perspektif evolusi sebagai proses alami. Dalam tradisi ini, membandingkan emosi manusia dengan spesies lain dan proses adaptabilitasnya, membuat emosi dan rasa malu manusia berkembang. Pertanyaannya, jika emosi dan rasa malu adalah bagian alami dari proses evolusi, bisakah seseorang disalahkan? Apakah seseorang harus bertanggung jawab untuk emosi dan rasa malu yang tidak dirasakannya?

Bagaimana cara kita mengembalikan rasa malu dan emosi?

Dalam kasus pelanggaran hukum, ketika kekuatan hukum tidak berjalan dengan baik, seseorang yang menyandarkan rasa malu pada penilaian masyarakat tidak akan merasa bersalah sebelum diputus bersalah. Ketika sistem peradilan eksisting berjalan tidak baik, membuat yang bersalah lolos dari hukuman. Kepercayaan publik (masyarakat) terhadap penanganan itu pun jadi ikut rendah/jatuh/jelek/pesimis.

Ketika seseorang sudah mencapai status terhormat di mata masyarakat. Baik karena posisi, harta, pekerjaan, keturunan, status, dll, sat ia dinyatakan bersalah oleh hukum, dia tetap dianggap terhormat di komunitasnya (di masyarakatnya), lingkaran ini akan mengantarkan/membuat seseorang pada sikap tanpa malu dan salah di level yang parah.

Lalu solusi tuntas tepat sasarannya bagaimana? Jangan mbulet2 lagi lah. Capek bacanya. Solusinya ada 2, yaitu: (a) harus ada hukum yang ditegakkan, sehingga orang yang salah ditetapkan bersalah dan harus menerima hukuman; (b) pengajaran virtue, nilai-nilai moral agama, dan kenegaraan harus dikuatkan, sehingga seorang yang harusnya salah maka ia akan malu terhadap dirinya sendiri, negara dan masyarakata sekitarnya.

Bagi saya, yang dapat mencegah seseorang itu terjatuh dalam kejelekan adalah rasa malunya (entah pada diri sendiri, kepada Tuhan Yang Maha Esa atau orang lain), sehingga saat ia kehilangan rasa malu itu, maka tabiat-tabiat buruk dan kejelekan mudah/ringan tangan sekali dilakukan.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan Dilindungi Hak Cipta!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?