Head To Head Indonesia Untuk Menantang Daya Tawar Dan Posisi Tawar Dagang Internasional


Jabat tangan adalah bukan hanya untuk ucapan selamat karena kita melakukan sesuatu. Tetapi, jabat tangan adalah ekspektasi sederhana bahwa kita sekarang punya harapan, kita sekarang agar bisa bersama-sama, berjalan kerja sama, kerja kerja dan kerja.

Sebagaimana sebuah bisnis pada umunya, saat ini pemerintah pun sedang menghadapi masalah dalam iklim kebisnisannya. Apa itu? Tentang CPO dan kebijakan luar negeri (khususnya Uni Eropa) yang mendesak meninggalkan CPO Indonesia dan Malaysia karena dianggap lebih beresiko merusak lingkungan dibandingkan alternatif minyak pengganti/substitusi yang ditawarkan (minyak dari biji bunga matahari, minyak kedelai, minyak jagung, dan minyak kanola).

Memang substansi masalahnya apa saja? Yaitu sebagai berikut: (a) kawasan ekonomi, saat ini menghambat ekspor CPO kita (Indonesia) dengan cara rencana penghapusan penggunaan produk CPO pada tahun 2021; (b) ada 4 pelaku negara yang melakukan penghambatan ekspor terhadap Indonesia. Siapa saja itu? Yaitu Amerika Serikat, Norwegia, India, dan Uni Eropa. Jelas sekali, motif penghambatan ekspor CPO kita ini adalah faktor “persaingan dagang”. Dasarnya apa? Dasarnya beberapa negara mereka saat ini sedang getol-getolnya mempromosikan penjualan minyak dari biji bunga matahari, minyak kedelai, minyak jagung, dan minyak kanola sebagai pengganti CPO; (c) deforesasi menjadi latar belakang terbitnya resolusi sawit oleh Parlemen Uni Eropa tentang CPO dari bahan bakar nabati.

Memang potensi kita ada dimana? Potensi kita adalah sbb: (a) kalau kita bicara data, hasil riset kita (Kementrian) menunjukkan bahwa lahan tanaman minyak nabati dunia saat ini mencapai 277 jt hektar (ha) dengan total produksi 199jt ton. Luas lahan kedelai tercatat ada 122 jt ha, lalu kanola 36jt ha, bunga matahari 25jt ha, dan sawit hanya 1 jt ha; (b) artinya apa? Artinya adalah kita punya fakta yaitu produksi CPO 65jt ton dengan produktivitas 4 ton per ha. Sementara produksi minyak kedelai 45,8 jt ton dengan produktivitas 0,4 ton per-ha, lalu bunga matahari 15,9 jt ton, dan 0,6 ton per-ha, serta kanoa 25,8 jt ton dan 0,7 ton per-ha; (c) Indonesia saat ini menunggu Uni Eropa membuat keputusan resmi sebelum mengajukan gugatan ke WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Gugatan ke WTO dilakukan jika kebijakan sudah jadi (produk hukum) resmi; (d) Indonesia beberapa kali mengggugat ke WTO dan menang karena bisa membuktikan ada kebijakan yang menghambat dan tidak sesuai dengan prinsip perdagangan bebas.

Lalu solusinya bagaimana? Solusinya adalah sebagai berikut: (a) petani perlu dilibatkan menjadi ujung tombak diplomasi kelapa sawit ketika menghadapi perang dagang; pertani punya porsi 45% dari 14 jt ha lahan sawit; (b) didalam kasus posisi tawar dagang internasional, kita (Indonesia) haruslah membela diri. Kita harus mengutus tim Kementrian untuk menyiapkan strategi memperbaiki citra CPO dan turunannya dan win, agar tidak terkena kampanye negatif (kita/ Indonesia harus mulai berpikir untuk memperbaiki pola diplomasi); kita harus tunjukkan perdagangan internasional yang adil, bukan diskriminiatif; (c) secara head to head pun, selain CPO kita juga punya pesawat dan sejumlah produk strategis yang kita sebara di beberapa negara di Uni Eropa. Dan itu kuat untuk gertakan dalam meja rapat dan negosiasi; (d) kalau mereka mengancam akan stop impor CPO dari kita, kita bisa lakukan hal yang sama, yaitu kita lakukan stop impor bahan-bahan hasil produksi dari kawasan Eropa. Fair kan?! You hit me, i hit you back! (e) strategi kongsi dengan negara senasib seperti kita boleh juga, seperti Malaysia. Kita bisa bekerjsama dengan Malaysia yang juga merupakan negara pengekspor CPO terbanyak di dunia (Indonesia dan Malaysia berkontribusi sebesar 70% bahkan lebih ekspor CPO di dunia); (f) dan terakhir, kita tunjukkan bahwa kelolaan sawit itu bisa berkelanjutan dibandingkan minyak dari biji bunga matahari, minyak kedelai, minyak jagung, dan minyak kanola. Dunia ingin beralih ke minyak altenatif karena pertimbangan dampak lingkungan sawit minyak nabati lain dan ternak sapi. Ini harus ditunjukkan secara fakta agar dunia kembali berubah tentang wajah CPO Indonesia.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan Dilindungi Hak Cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?