Bukan Tidak Enak, Tapi Kopi Kita Tidak Konsisten


Saya memperhatikan bahwasannya Kopi Indonesia itu katanya orang luar negeri tidak enak. Salah, saya tidak setuju dengan itu. Yang benar adalah kopi kita tidak konsisten.

Saya melihat, jika dikaitkan dengan ekspor, konsistensi kualitas masih menjadi barrier atau masalah utama didalam dunia perkopian di Indonesia. Inilah kenapa kopi Indonesia sulit go international. Saya fikir, kita harus memperbaiki dan bisa mengubah sudut pandang tsb. Kita harus bisa membawa dan mengantarkan kopi Indonesia menembus global atau pasar international.

Saya memandang bahwa adanya kerjasama sign MOU, semisal dengan Green Beans dari Amerika Serikat untuk event Specialty Coffe Expo 2018 di Washinton State Convention Center, Seattle, Amerika Serikat dan Nusa Coffe di Kanada yang kemarin dilakukan oleh Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) adalah hal yang sangat penting. Namun jujur, saya masih melihat hal yang berlaku ini subyektif untuk satu dua pengusaha kopi yang track record-nya bukan karena kualitas, akan tetapi karena dekat saja dengan birokrasi/pemerintahan. Jadi kunjungan kemarin di Seattle, Amerika Serikat terkesan seperti agenda liburan, agenda plesiran gratisan semata. Inti link and match dan pembangunan akses pasarnya malah lepas. Artinya apa? Artinya adalah jika agenda tsb disikapi lebih serius dan tepat sasaran bukan hanya liburan tentu kedepan hasil link and match dan pembangunan akses pasar, bisa kita ukur hasilnya, bisa kita ukur hasil produktivitasnya. Even akhirnya mereka (pengusaha kopi dan petani kopi berkualitas) melakukan strategi akumulasi panen kopi itu secara berjejaring. Bagaimana memperkuat posisi tawar kopi Nusantara? Kita butuh memperkuat branding. Iya betul, untuk memperkuat kopi Nusantara kita butuh memperkuat branding. Sehingga kopi Nusantara yang terkenal di dunia tidak itu-itu saja. Toraja Coffe, Sumatera Coffe, Bali Coffe, Aceh Coffe, dll. Tetapi kopi-kopi lainnya seperti kopi Ijen Banyuwangi juga penting untuk diangkat. Oleh karena itu saya merasakan perlunya sebuah tindakan tepat (“tindakan strategis”) yang tidak hanya inovasi terkait bagaimana mengemas kopi-kopi Nusantara (ex: kopi Ijen Banyuwangi), akan tetapi bagaimana mengantarnya bisa go international secara mulus dan sukses.

PR kita apa? PR kita adalah siapa target pasar kopi kita? Target pasar kopi kita salah satunya adalah roaster-roaster kecil di luar negeri. Memang benar, jika dilihat dari sudut pandang ini pasarnya pun jumlahnya masih sangat kecil, sehingga permintaanpun selektif sehingga memprioritaskan kualitas. Bagi sebagian orang mungkin ucapan saya ini disebut kecil dan tidak penting, namun saya melihat ini masukan, ini akan menjadi semacam insight. Oh ya, persoalan tentang izin ini harus dibenahi agar kopi Nusantara sebagai biji berkualitas bisa masuk ke pasar global. Kenapa seperti itu? Karena faktanya, di luar negeri pun juga masih banyak roaster-roaster kecil yang tidak mampu membeli biji kopi didalam jumlah kontainer.

Saya berangggapan, penting juga kita tidak hanya berbicara untuk judul kepentingan bisnis, akan tetapi juga bagaimana mengangkat nama kopi Indonesia dan kopi asal daerah potensi-potensi tsb. Missal, Kopi Ijen Banyuwangi, kopi Bowongso gunung Sumbing, dan jenis-jenis kopi lainnya yang ada di Jawa Sumatera Kalimantan NTT NTB, dll.

Hal ini harus dipandang penting, bahkan kalau perlu ada tindak lanjut kopi Nusantara, salah satunya kopi Ijen Banyuwangi bisa disupport pemerintah (entah dengan segala sponsor manapun) untuk mengadakan roadshow di Amerika Serikat, Kanada, London, German, Singapura, Australia, Malaysia dan lain sebagainya atau minimal sosialisasi antar kota di Indonesia. Atau kalau tidak seperti itu, bisa juga dengan cara pendekatan yang lain berupa melakukan perancangan atau rancangan pertemuan five parted terpenting yaitu antara para (1) pengusaha kafe, (2) petani atau pimpinan asosiasi petani kopi, (3) pengusaha, (4) investor, dan (5) kementrian yang mengurusi kerjasama nasional international yang tertarik didalam pengembangan kopi.

Tentu, semua harus ada campur tangan pemerintah, tidak hanya privat. Kenapa? Jelas ini akan menjadi berat kalau hanya berbasis inisiatif privat perorangan. Disamping proses pembangunan ini butuh range waktu yang panjang. Jelas dananya terlalu besar.

Kita harus sadar, bahwa visi kedepan itu harus penambahan dan pembenahan. Kenapa? Karena kualitas masih teng blentong disana dimari, entah terkait produksi dan ketimpangan kualitas kopi di satu tempat dengan tempat lainnya. Kedepan, harus ada pembenahan ekosistem. Saya melihat, memperjuangkan kopi sebagai pilot project tidak ada salahnya, suatu hal yang layak dilakukan sebagai bagian dari dedikasi dan pengabdian.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?