Proses Menyudahi Drama Freeport, Jilid 2


Sesuai tulisan saya yang lalu tentang Freeport, saya melihat drama Panjang Freeport ini sudah waktunya disudahi. Kemarin disaksikan 3 Menteri (Keuangan, ESDM dan BUMN), pada 12 Juli 2018 Freeport McMoran dan Rio Tinto telah menandatangani heads of agreement (HOA) dengan Inalum. Harga yang disepakati sebesar 3,85 miliar dolar AS. Dana itu berasal dari pinjaman 11 bank di luar negeri. Dan itu (untuk menjaga likuiditas dalam negeri) tidak masalah. 

Dan semalam saya melihat ILC di TVOne, sungguh menarik membahas retorika dan kebohongan2 publik yang dimainkan oleh PT.FI, sehingga perdebatan mengerucut kepada beberapa substansi yang bikin penasaran, (a) kenapa level negara tidak bisa mengambil alih 100% Freeport? (b) kenapa level negara tetap faktanya business is business, artinya bahkan untuk kelas intervensi negara pun harus diselesaikan dengan cara bisnis, (c) kontrak karya Freeport setara dengan UU, (d) biaya kerusakan alam 200 triliun, (e) participating interest vs saham, (f) kenapa ketakutan negara hanya di level prinsip logika orang dagang, kenapa tidak ditingkatkan pada ranah konstitusi, atau bahkan menjawil daftar kejahatan Freeport terhadap kejahatan lingkungan, Amdal dan ketenagakerjaan bahkan tentang pengemplangan pajak? (g) kalau bahasanya Fuad Bawazir, jika FP International berani melepas FP Indonesia, pasti harganya akan jatuh seperti harga selembar ‘tisu toilet’, (h) kita tidak ada pesaing lain, makanya FP pasti mau dengan divestasi kita, (i) kalau katanya pak Fahmy, banyak data empiric yang menunjukkan bahwa penggerak utama harga saham Freeport International di Wallstreet adalah Freeport Indonesia, artinya didalam nalar apapun Freeport International tidak akan berani melepas Freeport Indonesia, kita tidak perlu takut di Pengadian Arbitrase Internasional, nyali FP International akan kecil karena pelepasan FP Indonesia akan menjatuhkan harga sahamnya di Wallstreet. 

Saya meng-iyakan bahwa kalau memang katanya kasus Freeport itu mudah, kan seharusnya kasus-kasus ini sudah bisa diselesaikan oleh pemerintahan2 yang terdahulu? Nyatanya tidak ada yang bisa to?! Ini letak progress. Namun kita harus melihat, bahwa kasus FP adalah masalah, artinya ini harus diselesaikan. Fokus disitu. Kalaupun bertahap, kita bisa menerima. Asalkan realisasi tsb benar-benar terealisasikan. Jangan hanya akhirnya menjadi wacana dan harapan2 saja. 

Saya ingin menekankan logika yang perlu kita luruskan terkait HOA, bahwa heads of agreement (HOA) bukanlah perjanjian jual beli saham. Dengan ditandatanganinya HOA tidak serta merta menjadikan Indonesia/Inalum menjadi pemilik 51% saham PT. Freeport Indonesia. Fakta ini penting diinformasikan agar saat ini tidak ada hoax dan euphoria berlebihan di tengah2 masyarakat kita. Makanya di langkah awal ini, kita jangan senang dulu. Karena probabilitas Indonesia “dikadali dan dikibuli” oleh Freeport masih sangat tinggi. 

Kita harus menyadari bahwa FP sedang bermain di level devil is in the detail, dia setan yang bermain di level detail. Makanya penguasaan substansi, tahap dan target didalam level ini sangat penting. Yang perlu Anda ketahui, bahwa HOA pada intinya mengatur struktur transaksi divestasi dan nilai divestasi. Langkah lanjutan dari HOA adalah penjanjian rinci terkait participating interest atau jual-beli saham lalu perjanjian para pemegang saham (shareholder agreement) dan exchange agreement. Semua pakar hukum dan ekonomika bisnis harus memahami ini, harus piawai dan cerdas di level ini. Karena saya yakin, Freeport McMoran dan Rio Tinto sendiri pun akan membayar mahal siapapun pakar hukum internasional nasional terbaik untuk memenangkan posisi tawar mereka. Untuk diketahui, kemunculan Rio Tinto disebabkan adanya perjanjian pada 11 Oktober 1996 dengan FP dalam perjanjian yang disebut participation agreement. Bunyi agreement tsb apa? Bunyinya adala Rio Tinto memasukkan dana ke FP dan sebagai imbalannya, dia akan mendapatkan 40% jumlah produksi level tertentu hingga tahun 2022. Setelah tahun 2022, jumlah yang didapat adalah 40% dari keseluruhan produksi dari Freeport Indonesia. 

Jadi jelas ya, kapan perjanjian ini akan berakhir pun. Kita juga tidak tahu. Makanya, diawal tadi saya menyinggung probabilitas Indonesia “dikadali dan dikibuli” oleh Freeport masih sangat tinggi. HOA sangat mungkin hanya berguna sebagai “basa-basi” dan “pelamis buatan”. 

Lalu tentang pertanyaan apakah ada kemungkinan penjanjian Freeport Indonesia dengan Rio Tinto terkait participating interest dapat dikonversi menajdi saham di FP? Nah, ini. kita sama2 tidak ada yang tahu kan? Tapi yang pasti, proses metodologi inilah yang sedang dilakukan Indonesia melalui Inalum dengan cara membeli participating interest Rio Tinto yang esok pada gilirannya Indonesia mendapatkan saham PT. Freeport Indonesia. Sehingga skenarionya adalah 48,78% akan dimiliki FP, 5,616% jadi milik Inalum, dan 45,616% akan dimiliki ole Pemda Papua. Sehingga maksud afiliasi 51,232% adalah gabungan dari saham milik Inalum dan Pemda Papua. Apakah berhasil? Fifty2 lah, kita sama-sama lihat saja kedepan. Tidak tahu mengapa, saya memandang masih banyak probabilitas kita “dikadali dan dikibuli” oleh Freeport masih sangat tinggi. 

Dasarnya apa? Yaitu sbb: (a) terkait tentang kekuatan keputusan kita (Indonesia/Inalum) didalam RUPS FP kalau umpamanya kita benar2 sudah memiliki 51% saham FP, pertanyaannya: apakah kepemilikan mayoritas saham berarti ( = ) memiliki pengendalian keputusan terhadap perusahaan? Bisa jadi tidak. Alasannya? Jika kita tidak jeli, ternyata ada klausul di Anggaran Dasar yang berbunyi keputusan perusahaan ditentukan oleh pemegang saham, dewan komisaris, dan direksi yang harus dihadiri semua pihak. Dan/atau bisa juga di Anggaran Dasar diatur agar jumlah minoritas bisa membuat keputusan, “sepanjang” FM ada didalamnya. Kenapa saya sebutkan demikian? Karena agenda dan info2 seperti ini sering sekali dulu2 muncul oleh FP. Terkhusus saat adanya desakan “Papa Minta Saham” oleh Sudirman Said, (b) yang kedua, terkait dengan pernyataan FM dan Rio Tinto ke Otoritas Pasar Modal yang menyatakan bahwa HOA bukanlah perjanjian yang mengikat (non-bidding agreement). Sementara Menteri BUMN Rini mengatakan perjanjian telah mengikat antara perjanjian bidding dan non-bidding yang jelas ini akan mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Sehingga lebih baik jika HOA tidak dianggap sebagai perjanjian yang mengikat. Dasarnya? Karena harga kesepakatan USD3,85 milliar itu bukanlah harga fixed. Ini harga indikasi yang dinegosiasikan. 

Salam, 

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?