Inflasi Semu


Kalau katanya Ernest Hemingway, penulis dan peraih Nobel Sastra tahun 1954 mengatakan bahwa: "...obat yang pertama untuk sebuah negara yang berantakan adalah inflasi mata uang; yang kedua adalah perang. Keduanya membawa kesejahteraan yang sementara; keduanya memberikan kehancuran selamanya. Tetapi, keduanya adalah perlindungan dari opportunis politik dan ekonomi."

Memang kenapa harus/dengan inflasi? Karena inflasi inilah yang mengakibatkan kemerosotan nilai uang (rupiah menjadi turun nilai berharganya); sehingga membuat harga barang-barang pokok menjadi naik. Inflasi inilah sang biang kerok penyebab ketidaksejahteraan rakyat-rakyat kecil.

Lalu kenapa dengan inflasi semu. Memang ada inflasi semu? Kok saya gak pernah dengar. Yes! Saya sendiri hanya mengandai-andai saja.

Namun ada sebuah fenomena yang harus kita perhatikan sehingga tiba2 sebutan ‘inflasi semu’ menjadi realistik. Apa saja itu? Yaitu sbb: (1) Adanya fakta anomali pasar saat ini yang ditunjukkan dengan “rendahnya daya beli masyarakat” namun kok “nilai inflasi kok ikut kecil/rendah”; kan harusnya inflasi kecil/rendah dan tingkat daya beli tinggi/naik. Tapi faktanya tidak?! (2) Ada datanya? Ada. Per April-Mei 2018 terjadi deflasi akibat tingginya jumlah impor komoditas pangan (beras, bawang putih, bawang merah) yang dilakukan oleh pemerintah; (3) sepertinya, kesalahan kebijakan proporsi/volume impor ini yang mengakibatkan tingkat harga gabah/beras petani kita kocar-kacir (harga jatuh/murah/ bahkan terlalu murah; kalah jauh dengan desakan harga beras imporan); (4) Nah. Disinyalir. Karena pendapatan petani dan rakyat kecil yang jatuh akibat terlalu banyaknya volume impor pangan inilah yang merusak daya beli masyarakat (daya beli masyarakat turun/jatuh, tidak naik). Artinya apa? Artinya saat ini terdapat “kesejahteraan sentralistik” (yang pasti bukan petani/rakyat kecil) terhadap beberapa orang saja, terhadap para cukong-cukong besar saja, bukan rakyat/petani kecil. Dan jelas ini masalah bagi kita. Masalah serius malah.

Memang apa resikonya? Resiko yaitu: (1) jelas ini akan memunculkan “stagnasi pertumbuhan ekonomi”. Saya melihat sudah jelas terjadi itu; (2) kalau kondisi ini dibiar2kan, maka jelas akan “menggerogoti” pertumbuhan/ progresivitas sektor riel kita; (3) ini akan bisa “memberangus” lapangan kerja kita; (4) jelas ini akan “memerosotkan/ menjatuhkan” kesejahteraan petani2 kita; (5) jelas ini akan “membuat defisit” neraca perdagangan negara kita; (6) polemic penurunan angka kemiskinan yang rendah/lambat. Artinya apa? Artinya hampir dipastikan tidak ada perbaikan kualitas hidup, nilai tawar, dan daya beli masyarakt; (7) kita berharap, melalui neraca komoditas setiap daerah bisa mempetakan klaster pangan sehingga bisa mengantisipasi potensi surplus atau defisit komoditas. Dan ini nyatanya tidak bisa.

Makanya, bahaya jika memang “inflasi semu” ini terjadi. Lalu solusinya bagaimana? Solusinya menurut amatan saya yaitu seharusnya inflasi tetap dijaga dilevel angka yang stabil dengan terus menerus melakukan perbaikan pada pembinaan kompetensi ekonomi, pada pembangunan pendidikan yang berkualitas, pada arahan belanja bijak, lalu role of investment dan perencanaan investasi yang bagus, distribusi subsidi yang tepat (potong subsidi yang tidak perlu), solusi lapangan kerja dan ketenagakerjaan yang tepat, dan lain sejenisnya.

Pembangunan berbasis petani sangat penting posisinya disini. Pun juga pada penjagaan nilai rupiah dan inflasi di level stabil. Kenapa ini penting? karena inflasi yang rendah akan berkorelasi positif terhadap penurunan suku bunga kredit, makanya pembiayaan (financing) akan efisien untuk menurunkan biaya ekonomi sehingga ini bisa memacu lahirnya produktivitas. Sedangkan inflasi yang tinggi akan berkorelasi positif terhadap penggerusan daya beli dan menurunkan kesejahteraan masyarakat.

Bagi kita, menghindari inflasi semu tidak bisa hanya dengan harapan dan harapan. Ini harus dibangun dengan pondasi policy yang benar dan adanya sistem check and balance yang baik di Kementrian Perdagangan dan Pertanian. Kenapa? karena saat harapan tidak dibarengi dengan pembangunan sistem, ya selamanya harapan tsb tinggallah harapan saja.

Sama halnya dengan impian, impianpun juga akan menjadi impian jika tidak selaras dengan kemampuan. Wake up! mari kita bangun bersama negeri ini.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?