Membangun Budaya Politik Baru


Yang membuat marah kita sendiri adalah rusaknya moral manusia, bukan hilangnya harta benda kita. Ingat, janji/sumpah untuk tidak melakukan tindakan korupsi adalah perjuangan akhlaq kita, itu adalah perjuangan integritas kita. Kalau katanya teman2 di sebelah (dan saya mengimaninya juga), bahwa kalaupun kita mati harus mati dengan membela dan memperjuangkan kepentingan orang banyak, anda tidak akan bisa membeli cara mati kami. Mari pilih mati secara bersih.

Kalau saya melihat, kendala/masalah mendasar didalam budaya politik kita saat ini adalah: (a) seringnya partai politik dipakai sebagai “bungker” bagi orang-orang bermasalah (korup, punya catatan track record yang buruk, kepentingan bisnis, dll) yang menurut saya kebiasaan ini dibongkar, ditegasi dan harus segera disudahi; (b) kalau ttg masalah baru-baru ini terkait pengundurdirian Idrus Marham karena terindikasi korupsi. Ini menarik. Kita coba gali-gali. Inti mendasar Idrus Marham adalah membuatnya ia ttg biaya komitmen (commitment fee) yang dilakukan dengan Johannes Kotjo. Entah siapa yang mengajak dan mengawali, saya tidak tahu. Namun yang pasti commitment fee tsb adalah sebesar 2,5% dari nilai proyek listrik pemerintah yang merupakan bagian dari program 35.000 megawatt dengan nilai proyek sebesar 900 juta dollar Amerika Serikat atau setara dengan Rp4,8 triliun. Untuk angka sebuah projek bisnis ya menurut saya ini kecil sih ya. Tapi saya menyayangkan kenapa Anda mencari-cari proyek biaya komitment (commitment fee) di uang rakyat/sawah rakyat (pemerintahan). Bagi saya, Idrus Marham memang nyalah (cari masalah2 sendiri). Cari commitment fee ya jangan di pemerintahan, ya jelas korupsi dong. Kalau memang mau cari commitment fee mendingan di bisnis non-pemerintahan. Agar steril dan tidak ada pergolakan kepentingan uang rakyat dan transaksional subyektif disitu. Uangnya pun juga ikutan halal kalau dicari diluar proyek dan/atau program pemerintah. Memang harus ada pemetaan manajemen yang jelas antara politik sebagai bagian dari pengabdian masyarakat dengan bisnis yang purely ttg kepentingan pribadi dan pemenuhan cashflow agar tidak tergantung dengan orang lain.

Sesuai dengan judul “Membangun Budaya Politik Baru”, lalu dimana cara membangun budaya baru politiknya?! Membangun budaya baru politiknya adalah tepat janji, bersih dan berani tidak abu-abu didalam sikap dan keputusan-keputusannya (didepan maupun di belakang). Bagi saya, siapapun oranya itu akan dihargai rakyat2nya/ anak2 buahnya/ santri2nya/ karyawan2nya/ keluarga2nya karena seseorang tsb menepati dan menghargai janjinya. Kalau katanya Harold Seymour, seseorang apalagi pemimpin itu adalah mereka yang menjaga keyakinan dengan masa lalu, menyelaraskan langkah dengan masa kini, dan memegang janji pada generasi mendatang.

Kembali ke Idrus Marham. Idrus Marham tetap salah, namun tentu langkah langsung mundur Idrus Marham patut diapresiasi. Pun KPK harus tetap tegas ya, bagi para terduga kasus-kasus korupsi KPK harus segera menerbitkan surat larangan ke luar negeri. Saya kadang suka berhayal, itu si Idrus Marham mungkin kalau tidak tidak ketahuan. Mungkin tetap lempeng saja aksi commitment fee ia lakukan disana-dimari. Lalu solusinya bagaimana? Solusinya adalah: (a) saat ini, sudah waktunya habitus politik baru harus diciptakan (saya meminjam bahasanya teman2 wartawan Kompas). Dimana harus ada ketegasan yang nyata tegas mengatakan tidak ada tempat bagi tersangka kasus korupsi di wilayah Indonesia; (b) tidak ada pungli (komitmen serius menghapus pungli dimanapun dan kondisi apapun). Presiden juga harus mengingatkan para pembantunya untuk tidak bermain-main didalam kasus korupsi. Harus diberikan sinyal bahwa tidak ada lagi lindung dan saling melindungi dalam kejelekan, siapapun itu, entah pembantu presiden dan lain-lain sebagainya; (c) namun walau demikian, kita harus juga mengapresiasi langkah cepat Presiden yang segera melantik Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai Mensos baru. Posisi Mensos sangat penting karena Indonesia sedang menghadapi masalah kemanusiaan di Lombok akibat gempa. Mensos yang baru pun diharapkan langsung bisa bekerja, bukan lagi hanya di ruang kerja untuk belajar karena pekerjaan kemanusiaan membutuhkan gerak dan tanggap cepat di depan mata.

Penutup. Hal yang paling kotor dan haram dilakukan adalah tindakan tidak segan-segan menghalalkan segala cara, memainkan trik adu domba untuk menyalip, menikung, di tikungan-tikungan terakhir. Kita harus membuat pola baru terkait cara mempercepat konsolidasi demokrasi. Selama ini agenda ini berjalan tersendat karena prosesnya hanya berjalan di permukaan, “didalamnya” tidak berjalan. Indikator paling jelas adalah pada proses-proses politik yang bersifat transaksional dan syarat kepentingan pragmatis, sehingga membuat politik kehilangan idealism karena politik dikendalikan para petualang yang hanya cari uang, jabatan dan kekuasaan.

Ingat, yang mampu menggerogoti diri kita bukanlah kekuatan, namun ketakutan. Ketakutan kehilangan kekuasaan akan menggerogoti pemimpin yang berkuasa dan ketakutan atas penyebab jatuhnya kekuasaan akan menggerogoti mereka-mereka yang berkuasa. Oleh karena itu, bagi saya, pemimpin yang bijaksana bukan lagi yang kehilangan kekuasaannya akan tetapi mereka2 yang bisa lagi bersih dan menepati janjinya saat berkuasa.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?