Mengantisipasi Dana Saksi Agar Tidak Membengkak


Bagi saya (dan walaupun terus menerus belajar), lebih baik berbicara jujur meskipun menyakitkan seseorang daripada menutupinya hanya untuk membuatnya tersenyum (sehingga malah tiba-tiba berubah menjadi menipunya). Marilah kita menjadi hamba-hamba Allah Swt yang jujur lidahnya dan menyenangkan kebenaran yang baik bagi masa depan.

Kalau berbicara tentang politik dan antisipasinya, biasanya yang paling menjadi momok adalah di dana operasionalnya. Namun sebelum berbicara hal tsb, kita coba bahas masalah atau kendala di akar rumput. Memang apa saja to kendalanya? Daripada hanya berpikir ttg kendala, lebih baik kita campur dengan skenarionya sekalian, agar ada solusi kedepan. Oke, saya awali dari kendala dan skenario 1. Kondisinya saat ini adalah kita harus mencari cara bagaimana cara membiayai saksi di pemungutan suara agar tidak membengkak. Kenapa? Karena posisi saksi saat ini sangat penting kehadirannya untuk menjaga suara. Kondisi 2 adalah: adanya data yang menunjukkan bahwa jumlah pemungutan suara bertambah sebesar 4% dari yang sebelumnya hanya 3,5% dibandingkan Pemilu 2014. Jelas ini membuat para Parpol harus mengeluarkan biaya saksi partai politik lebih besar dibandingkan periode sebelumnya. Nah, duitnya darimana? Inilah kerumitan yang sedang kita bahas bersama. Kondisi ke 3-nya apa? Kondisi ke 3 adalah memang apa saja to biaya operasional saksi yang dibutuhkan saat ini? Setahu saya beban biaya operasional saksi saat ini ada 3, yakni biaya pelatihannya, biaya distribusinya, dan biaya saksi2nya. Nah, ttg biaya saksi yang setiap daerah ttt yang berbeda-beda ini yang menjadi tambahan masalah berikutnya.

Saya mencoba merekam (scanning overview) dalam beberapa data, yang mungkin bisa dianggap sebagai potensi kita saat ini, pun juga bisa dianggap sebagai tantangan kita saat ini. Apa saja itu? Yaitu sbb: (a) ttg data pemilihan legislatif dan pilpres. Data pemilihan legislatif 2014 menunjukkan bahwa ada 12 Parpol tingkat nasional yang mengikuti Pemilu dengan sebesar 544.494 TPS (tempat pemungutan suara). Sedangkan data untuk Pilpres 2014 menunjukkan ada data sejumlah 478.829 TPS. Saat itu jumlah pemilih tiap TPS untuk pemilu legislatif maksimal 500 orang, sedangkan untuk pilpres adalah maksimal sebesar 800 orang setiap TPS. Nah, untuk data 2019 khususnya Pemilu 2019 saat ini ada sebesar 765.463 TPS. Artinya apa? Artinya adalah terjadi lonjakan data (kuantitatif) tiap TPS sebesar 300 pemilih. Artinya adalah penambahan jumlah TPS adalah menjadi faktor utama yang mempengaruhi total pengeluaran (total operational cost) partai untuk biaya saksi, apalagi belum dihitung besar upah para saksinya yang bisa naik. At cost biasanya minimal biayanya 100rb rupiah, dan tahun depan bisa lebih mahal lagi (terutama untuk daerah2 tertentu).

Lalu antisipasi solusinya bagaimana?! Menurut saya, solusi dan strategi yang paling realistis saat ini (disamping tetap mencari alternatif cara yang lain) adalah: (a) meminta para caleg (calon legislatif) menyiapkan biaya saksi yang lebih besar (entah yang nomor kecil atau bagus). (b) lalu, lebih baik biaya saksi menjadi tanggung jawab setiap caleg di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Caleg untuk nomor urut bagus atau petahana atau caleg untuk DPR akan dikenai kontribusi lebih besar. (c). lalu transparansi pada RAB dan LPJ lapaoran pertanggung jawaban harus diperketat, agar jelas dan bisa menjadi pembelajaran kedepan yang presisi; entah pembelajaran untuk perencanaan yang lebih baik ataupun pembelajaran untuk efisiensi yang presisi kedepan. Saya kira, ini selalu harus dibutuhkan dan diperhatikan. Saya yakin KPU sendiri mendukung gerakan2 seperti hal ini/ demikian. (d) lalu ingat, agar tidak salah kalkulasi, partai harus menghitung terlebih dahulu berapa sebenarnya total biaya saksi dan didistribusinya (total operational cost). Baru setelah diketahui angkanya, maka partai memutuskan untuk membagi beban biaya2 tsb pada tiap2 caleg di daerah masing2 dengan pola penyesuaian. (e) dan terakhir intinya, kita harus mencari cara menekan biaya biaya saksi, pelatihan dan distribusinya ini, nah tentang teknisnya, bisa dibicarakan bersama.

Yaa benar. Memang dana saksi selalu menjadi momok di setiap pemilu dan yang lebih parahnya adalah perputaran uang beserta asal biaya saksi tidak pernah bisa dipertanggung jawabkan ke publik. Apakah dana saksi, pelatihan dan distribusinya termasuk total biaya operasional (total operational cost) yang diluar dari komponen dana kampanye?! Sebagaimana yang tadi didalam solusi sudah saya utarakan, kita tidak ada pilihan selain harus mendorong adanya transparansi pada RAB dan LPJ laporan pertanggung jawaban yang harus diperketat, agar jelas dan bisa menjadi pembelajaran kedepan yang presisi; entah pembelajaran untuk perencanaan yang lebih baik ataupun pembelajaran untuk efisiensi yang presisi kedepan. Saya kira, ini selalu harus dibutuhkan dan diperhatikan. Saya yakin KPU sendiri mendukung gerakan2 seperti hal ini/ demikian.

Penutup dari saya, sesakit-sakit apapun sebuah kejujuran akan lebih menyakitkan dibandingkan kebohongan yang terungkap.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?