Pentingnya Data Literacy Dan Bahaya Data Blindness


Kalau kita berbicara data. Ada satu hal yang harus digaris bawahi. Apa itu? Mengandung kebenaran haqiqi atau tidak. Bagi saya membangun data mudah, membangun kebenaran yang sulit. Karena setiap kebenaran punya dua sisi penting, dan penting untuk melihat keduanya itu tsb. Hal ini linier dengan data literacy dan data blindness. Faktanya, saat ini apapun keadaaanya kita butuh sebuah keterukuran dan fact-based.

Makanya posisi data, perencanaan, evaluasi, dan kontrol untuk mengkritisi masa kini dan depan sangat penting disini. Oleh karena itu, melek data atau data literacy sudah menjadi kewajiban syarat didalam semua hal, didalam semua kondisi.

Kondisi eksisting yang ada di Indonesia saat ini dan sebagian besar negara2 wilayah Asia kondisinya masih kebalikannya: kita masih buta data (data blindness) dan pemahaman akan data literacy masih rendah, ditambah lagi hanyutnya budaya komunikasi kita yang senang mengkonsumsi hoax, gossip, rumpi, dll yang tanpa filter dan secara sudut pandang, argument, pendapat, fenomena dan lain sejenisnya tsb tidak jelas dan tidak teruji kebenarannya; seharusnya semua hal tsb harus valid, harus reliable. Intinya adalah, kita butuh komunikasi yang terukur dan ukurannya bisa kita pahami. Say no to komunikasi yang ukurannya tidak bisa dipahami.

Negara maju semakin kuat dengan data literacy, apalagi kondisi data literacy ini diperdalam kepada skop kebijakan pembangunan yang evidence based. Anda bisa bayangkan, jika sebelumnya fokus kita hanya ilmu dan keterujian kebenarannya; ini sudah masuk dilevel ukuran berapa % kontribusi data tsb bermanfaat kepada masyarakat luas. Sehingga bisa kita pahami ya, bagaimana keampuhan data literacy yang berbasis evidence based membangun sebuah peradaban masyarakat. Hasilnya pun efektif. Oleh karena itu, kita harus belajar dan sistem kenegaraan ini harus menguati data literacy ini, agar buta data tidak menggerogoti efektivitas kebijakan dan pembangunan2 negara dan keekonomian yang sedang kita laksanakan. Gap antar buta data dengan melek data (data literacy), harus diperkecil.

Kenapa melek data (data literacy) penting dan buta data bahaya? Karena buta data itu adalah sebuah keterasingan dan ketidakpahaman seseorang atau perusahaan atau instansi (organisasi) atau jangan2 malah sebuah negara “didalam membaca makna yang terkandung dibalik data statistik” yang disajikan. Kalau bahasa sehari2 saya menyebut ini, kita harus paham “story behind the data”, kita harus paham cerita2 dan apa saja kisah2 yang ada dibalik angka2 yang saat ini muncul dihadapan kita sekalian. Jangan hanya baca data akan tetapi buta akan makna dibalik data tsb (alias gak paham sama sekali). Akhirnya pun, lawong paham saja tidak, tentu seluruh kebijakan dan instruksi yang diberikan kepada anak2 buahnya atau organisasinya akan berantakan. Di negara kita, kecenderungan ini sudah menjangkiti sebagian besar masyarakat sipil, kalangan yang katanya intelektual, eksekutif dan legislatif. Bahkan sudah sampai di level taqlid buta penggerogotan pada upaya ketidaksehatan dengan dirusaknya debat publik yang sehat/ produktif dan pembangunan bangsa.

Di kalangan Pemerintahan (bahkan Universitas), baik di DIY, Ibukota dan terutama di Daerah, data yang digunakan terkadang tidak lebih hanya sekedar aksesoris saja. Contoh, didalam naskah dokumen perencanaan, memang terkesan sudah menggunakan data, tapi antara makna dikandung, angka yang disajikan, dan kebijakan yang diambil “tidak nyambung” bahkan “salah kaprah dan salah arah”. Itu contoh pertama saja. Contoh berikutnya, ttg Bupati di suatu Daerah. Ada seorang Bupati yang bangga dengan angka pengangguran rendah di Kabupatennya. Ia pidatokan, bahwa Bupati tsb berhasil menekan angka pengangguran hingga sekian % (2%). Artinya, hanya 2% angka pengangguran di Kabupaten tsb padahal di tingkat Nasional pengangguran diatas 5%. Apakah ada yang salah? Yes! ‘cara melihat gelasnya’ yang salah. Bupati tsb harusnya memahami karakteristik dan pola sebaran pengangguran antara daerah, wilayah, provinsi itu bagaimana. Di pusat, justru disanalah angka pengangguran yang tinggi. Kenapa? Karena berlaku hokum migrasi dimana pencari kerja akan keluar dari daerahnya yang terbelakang menuju pusat2 kesempatan kerja yang lebih besar. Ya mirip2 dengan kata bijak “ada gula maka datanglah para semut2 itu”. Contoh berikutnya para Pengamat (bisa disebut juga periset), mereka2 yang pakar ekonomi itu sering menyimbolkan bahwa pengangguran rendah itu adalah pertanda ekonomi sedang baik, dan begitu sebaliknya. Mereka selalu lupa bahwa menterjemahkan angka pengangguran di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, kota dan desa sangatlah berbeda karena adanya factor mobilitas penduduk yang tinggi dan berbeda. Contoh lainnya ttg IPM (Indeks Pembangunan Manusia), biasanya disitu disebutkan IPM kita akan meningkat mengatasi ketertinggalan dari negara tetangga dan disparitas antara wilayah akan bisa menyempit jika perencanaan di pusat dan daerah melakukan perencanaan yang benar. IPM di komponen harapan hidup biasanya tidak mencakup harapan hidup secara umum, akan tetapi dibatasi harapan hidup waktu lahir dengan besaran yang ditentukan oleh besaran angka kematian bayi. Indikator kecilnya besaran kematian bayi memang refleksi dari keberhasilan pembangunan yang menyeluruh, tapi ini tidak mempercepat angka IPM. Kenapa kita tidak fokus saja ke determinan2 pokok yang langsung terkait dengan angka kematian bayi? Akibatnya, variasi program dengan dana besar untuk menaikkan IPM hasilnya jauh dari harapan. Artinya, target mengejar peningkatan angka IPM salah arah, peningkatan ini menjadi salah jalur.

Ini saya lihat membahayakan bangsa dan harus ada solusinya. Ketidaksenangan kita terhadap kultur data, kultur angka janganlah diteruskan. Kita harus membiasakan diri kesitu. Secara historis memang itu bukan budaya kita. Karena nyatanya kita sering terbiasa dengan kultur verbal; kualitatif, normatif dan kadang subyektif. Karena budaya kita seperti itu, wajar saat pembahasan naik di level evidence based, wes langsung ‘kocar-kacir’ orangnya. Oleh karena itu, pemahaman kita di level perencanaan, evaluasi dan kontrol kebijakan haruslah saat ini diperkuat dengan tradisi baru. Tradisi apa itu? Yakni tradisi kultur data, kultur numerikal, yang melengkapi kultur verbal kita. Mengapa? Karena saat ini waktunya buta data diberantas dan kita harus menguasai level detail. Karena “Satan maybe is in your fault. But devil is always in the detail.”

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?