Politik Transaksional


Kita tidak bisa menutup fakta bahwa demokrasi dengan cita-cita mulia dibajak oleh kekuatan ekonomi politik. Ini akan melahirkan oligarki yang menjadi penentu nasib rakyat banyak. Yang menjadi masalah disini apa? Yang menjadi masalah adalah kadang antara demokrasi dan ekonomi politik memiliki hubungan yang berkebalikan. Hubungan berkebalikan ini disebabkan oleh gap atau deviasi antara keduanya yang dijembatani oleh politik transaksional, yang artinya "jelas ada deal arah kekuasaan politik" akibat dipinjami/dimodali total operational cost-nya, dan ini jelas kedepan memiliki motivasi conflict of interest yang tinggi.

Saya memiliki pandangan bahwa politik transaksional disamping biasanya banyak masalah. Moda politik transaksional ini sejatinya adalah sangat mencederai orientasi fairness dan berkenegaraan yang baik. Ini kalau diistilahkan seperti nyanyian kata-kata tapi tanpa laku. Saya melihat politik transaksional banyak melahirkan praktik-praktik politik berbiaya mahal/tinggi. Dan pasti, ada “tumbal deal” berupa “penggadaian hadiah sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya", lewat obral izin dengan modus mencari celah melalui revisi tata ruang, undang-undang, peraturan daerah, dan lain sebagainya. Apakah itu pasti terjadi? Saya jawab: lambat laun pasti terjadi, karena pasti ada imbal jasa; ingatlah bahwa didalam politik, tidak ada makan siang yang gratis. Makanya, memang rawan dengan ongkos politik yang begitu mahal sehingga banyak kepala-kepala daerah terpaksa terjerat korupsi demi kejar target balik modal, atau minimal kejar target untuk bayar hutang terdahulu.

Kadang transaksional malah masuknya di dilema etika. “dulu saya bantu kamu jadi bla bla bla, sekarang saya minta proyek dan area bisnis bla bla bla. Kamu harus tahu diri, tanpa saya kamu tidak bisa menjadi seperti ini”. Inilah ongkos politik. Inilah gambar jelas transaksional yang jelas dan gamblang. Contohnya siapa? Contohnya adalah Gubernur Sulawesi Tenggara yang menjadi catatan buram tentang kejahatan korupsi akibat pengelolaan SDA dan sumberdaya lainnya menggunakan rezim perizinan perda dan hal-hal lainnya yang menimbulkan biaya birokrasi dan biaya politik.

Terus, kalau sudah kayak begitu, lalau bagaimana ini?! Nah. Malah tantangannya ada disitu. Politik harus melewati level tertinggi diatas substantif, elektoral dan prosedural. Kita sebagai generasi emas harus berani mendobrak kebiasaan di tengah jeleknya peran2 partai-partai politik yang berperan bukan sebagai asset penting, melainkan malah menjadi penghambat dan liabilitas bagi pergerakan memajukan bangsa. Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, dari sinilah hajat hidup orang banyak harus bisa diwujudkan.

Kedepan, kita harus mencari solusi tentang bagaimana caranya kita, pemimpin dan rakyat bisa trickle down effect, sehingga kita bukan lagi menempatkan rakyat sebagai obyek. Melainkan menempatkan rakyat sebagai subyek yang bisa mengelola kekayaan alamnya dan sumberdaya lainnya dengan kebijakan yang memberikan pengakuan dan perlindungan pada wilayah kelola rakyat.

Salam,


Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?