Ukuran Kewajaran Utang


Sedikit berbicara data dan ceramah teori yang tepat terkait pembahasan kewajaran utang Negara ya. Anggap saja ini sebagai selingan bahwa antara idealitas, dibutuhkan sebuah landasan berpikir yang tepat. Apalagi ini menyangkut angka pasti (kuantitatif), yang artinya, salah perhitungan ya salah semuanya yang kita lakukan sekarang.

Kita ketahui bahwa kinerja utang Negara kita sampai Juli 2018 saat ini adalah Rp 4.200 triliun atau ekuivalen dengan 29,57% dari produk domestik bruto (PDB). PDB dijadikan rujukan lantaran ada hubungan yang linier langsung diantara keduanya.

Kondisinya adalah kinerja volume PDB itu menunjukkan kinerja perekonomian suatu Negara. Semakin tinggi level PDB makan semakin tinggi prestasi ekonominya sehingga kemampuan finansial untuk menutup utang kita juga semakin kian membesar/menguat. Sedangkan rasio utang terhadap PDB yang semakin kecil ini bisa dibaca sebagai bentuk peningkatan efisiensi pemanfaatan utang Negara kita. Lalu apa kelemahannya? Kelemahannya adalah “saat rasio hutang dijadikan indikator kewajaran”, maka akan bias/membingungkan. Kenapa? Karena itu kan masih sebatas probabilitas kan, itu masih sebatas potensi saja “bisa membayar kembali utang”, yaa bisa juga dikatakan itu sebatas “kecenderungan/trend kalau yang terjadi rasio hutang sekian maka kita bisa bayar hutang Negara sekian” saja. Alih-alih kemampuan efektifnya.

DSR atau debt service ratio ini biasanya sering dijadikan sebagai indikator tambahan dan analisis. Kenapa? Karena DSR mempertimbangkan antara perolehan nilai ekspor dibandingkan beban biaya atas bunga hutang Negara tsb. Sayangnya, DSR biasanya lebih merepresentasikan kemampuan membayar bunga utang negaranya dibandingkan melunasi pokok utang negaranya. Kenapa? Karena perolehan ekspor itu tidak seluruhnya masuk sebagai penerimaan (pendapatan) Negara. Masalah pemulangan devisa hasil ekspor untuk mengurangi gejolak pergerakan nilai tukar belakangan ini seolah-olah menjadi justifikasinya.

Seharusnya, kemampuan membayar utang Negara bisa dicari indikatornya dari kesimbangan primernya, yaitu selisih antara belanja diluar pembayaran bunga utang Negara dengan total penerimaan (pendapatan) Negara. Jumlah deficit keseimbangan primer artinya, pemerintah kita membayar bunga utang Negara dari hasil utangan baru. Artinya, perilaku ini bisa disebut dengan “gali lobang tutup lobang”. Data menunjukkan, jumlah defisit keseimbangan primer jumlahnya semakin menurun di tahun-tahun terakhir. Secara kalkulasi, keseimbangan primer bisa mendekati surplus jika jumlah defisit APBN berada di posisi 1% dari PDB. Artinya, upaya menekan jumlah deficit APBN itu memerlukan ekstra penerimaan (pendapatan) pemerintah, apapun caranya.

Penerimaan atau pendapatan Negara yang paling produktif ya memang dari pajak. Makanya pencarian alternatif pendapatan dari pajak, bea cukai dan pendapatan Negara bukan pajak sebagai pendapatan primer Negara harus terus dicari. Kalau jumlah penerimaan/pendapatan Negara kita cukup, saya yakin rasio dan pembayaran utang kita akan terpenuhi dengan baik.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?