DPR Harus Memperbaiki Diri


Malas harus dihajar dengan waras, jadi melangkahlah dengan real.

Kalau berbicara ttg DPR, sulit sudah saya berkomentar. Menurut saya, kritik masyarakat sangat penting karena kinerja mereka harus disorot, karena memang fungsi legislasi DPR output-nya tidak jelas.

Kalau secara ingatan, apa memang UU yang sudah dibuat DPR selama 5 tahun terakhir?! ada yang ingat apa saja UU yang sudah dibuat oleh DPR? Yang saya ingat hanya 1 UU, yaitu UU terorisme saja. Sisanya tidak. Saya tidak tahu 5 tahun terakhir, apa yang mereka kerjakan di gedung wakil rakyat tsb. Saya percaya, DPR sudah urgent harus berbenah diri.

Data yang saya amati dari Litbang Kompas menunjukkan bahwa UU yang DPR hasilkan dari tahun 2015-2018 masih sangat jauh dari target Prolegnas (Program Legislasi Nasional) yang telah ditetapkan. Dari total 50 RUU di Polegnas 2018, hanya 4 saja yang bisa terealisasikan. Artinya apa? Artinya adalah masih ada sebanyak 46 RUU yang harus selesai hingga tahun penutupan kinerja 2019 besok. Saya fikir, itu 46 RUU sebuah angka yang sangat besar.

Dari sumber data yang sama, kinera DPR secara jelas tidak menunjukkan adanya perbaikan. Tahun 2015 ada total 40 RUU yang menjadi prioritas Prolegnas, dan yang disahkan hanya 3 UU. Tahun berikutnya malah DPR hanya mampu mengesahkan 10 UU dari 51 RUU yang ditargetkan. Di tahun 2017, hasil capaian hasil kembali turun yakni hanya 5 UU yang berhasil disahkan, dari 53 RUU yang sudah ditargetkan.

Artinya apa?! Artinya memang tidak ada i’tikad baik dan kerja yang serius dari para anggota dewan di gedung wakil rakyat. Ketidakseriusan kerja dewan mengusulkan pembuatan UU ke pemerintah sudah pasti punya dampak besar disini. Kalau usul pembuatan UU saja sedikit, apalagi pembuatan UU-nya. Tentu akan lebih sedikit jumlah dan realisasinya. Faktor kedua lainnya yang saya lihat adalah: sepertinya yang paling jelas2 adalah “lamban”. Kerja mereka memang sangat lamban. Apalagi senangnya mengulur2 waktu identik sekali dengan istilah “kalau bisa lambat kenapa harus dipercepat, kalau bisa cepat baiknya diperlambat saja”, ini sebuah bukti yang semakin nyata.

Lalu solusinya bagaimana?! Yaa solusi satu2nya adalah fokus perbaikan diri dan produktivitas dong. DPR harus konsekuen dengan komitmen yang telah dibuat. Dewan harus menepati janji menyelesaikan ‘pekerjaan rumahnya’ sesuai target yang sudah ditetapkan. Karena jujur, hingga masa jabatan berakhir 2019, kami berkeyakinan sepertinya target 50 RUU dalam Prolegnas 2018 kayaknya tidak akan bisa dicapai deh. Upaya meluncurkan aplikasi “DPR Now” pun yang katanya diklaim bisa mengakses kegiatan DPR saya pikir tidak ada dampaknya, selama fungsi kerja legislasi DPR tidak membaik.

Kalau harus berbicara solusi. Kedepan, harus ada peningkatan kualitas rekruitmen. Artinya apa? Artinya adalah masalah rendahnya tingkat pendidikan, pengalaman dan kapabilitas para anggota dewan saya melihat sepertinya sangat berpengaruh disini, khususnya saat perekrutan. Karena resiko salah rekruit, akibatnya mereka para dewan ini sangat buruk sekali didalam memahami substansi UU mana saja yang tidak optimal bekerja. Jika pemahaman substansi saja rendah, apalagi kita berbicara di capaian UU. Yang ada malah UU tak berkualitas malahan.

Oh ya, ttg produktivitas capaian UU. Saya pikir, kedepan harus ada sosialisasi yang tepat kepada masyarakat apa saja kinerja UU yang dibuat oleh DPR selama 5 tahun terakhir. Karena bagi ingatan saya (khususnya), UU yang dibuat DPR hanya UU terorisme saja. Oleh karena itu, pemberitaan ttg sejumlah UU yang dibuat sekaligus kontribusinya harus disosialisasikan.

Setelah searching2 barusan, memang akhirnya ditemukan beberapa UU yang lain yang dibuat, seperti UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD), UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, dan UU Tabungan Rakyat tidak pernah kita dengar. Jujur, bagi saya informasi2 tsb diatas tidak sesanter yang kita dengar (kecuali UU Terorisme saja).

Sebenarnya suksesnya DPR itu sederhana (mau serius, tidak lamban, dan hasil sesuai target), hanya saja mereka-nya saja yang membuatnya tidak sederhana. Karena visi tanpa aksi yaa sama saja. Nol putul, kosong.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?