Sikap Dan Treatment Untuk Gempa Tsunami Dan Mitigasi


Bagi saya, kreativitas berpikir dan perencanaan orang barat harus kita tiru, tapi ekses dari kebudayaan teknologis yang terlalu memanjakan kebinatangan sebaiknya kita cegah sejak dini mulai dari sekarang, setiap badan perencanaan pembangunan harus melibatkan para pakar keilmuwan, pakar sosial, kesejarahan, agamawan, budayawan dan orang-orang awam agar terjadi kesinambungan dan ketertataan yang bagus. Mulai sekarang negara kita harus berdaulat harus yang memimpin tender-tender, jangan mau dipimpin oleh tender-tender.

Dalam 1 tahun terakhir tercatat sudah ada 6 kejadian gempa signifikan lebih dari 6,5 SR yang mengguncang wilayah Indonesia. Kalau berdasarkan catatan data dari BMKG, sebenarnya dalam setiap bulannya (1 bulan) kita sudah ada lebih dari 500 kejadian gempa setiap bulan. Waduh banyak juga ya. Perbulan lho itu.

Lalu dimana titik-titik gempa tsb? Hampir semua lokasi di Indonesia adalah titik-titik gempa, terkecuali adalah pulau Kalimantan dan daerah selatan Papua. Hal ini sebenarnya tidak mengagetkan mengingat kita memang Ring of Fire dan termasuk dalam perbatasan lempeng benua yang secara alami adalah tempat pelepasan energy tektonik yang selalu terjadi secara periodik dalam wujud gempa bumi dan erupsi gunung api. Ttg waktu sudah barang pasti tidak mungkin bisa diprediksi presisi kapan terjadinya, namun hal yang pasti adalah kita harus secara bersama-sama mempersiapkan diri sendiri dan membekali wawasan kepada masyarakat secara dini.

Jika kita mengintip Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sebetulanya dari situ kita sudah bisa melakukan semacam SOP (standard operating procedure) yang nantinya harus dijadikan sistem paten gerak cepat bencana jika terjadi bencana sewaktu-waktu. Pun juga seharusnya, teknologi apapun yang mensupport dan mendukung hal tsb haruslah juga dipatenkan dipersiapkan, agar kita tidak kecolongan banyak lagi para korban-korban jiwa yang terlambat menyelamatkan diri.

Kembali ke UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disitu disebutkan bahwa ada 3 komponen yang saling mengisi dan harus bersinergi satu dengan lainnya, yaitu: (a) professional atau para tenaga ahli; (b) pemerintah; (c) dan masyarakat.

Paling disini yang menjadi PR besar adalah kesadaran pemerintah dan masyarakat. Kenapa? Karena saat professional atau para tenaga ahli merekomendasikan sebuah sistem atau teknologi bencana, selalu yang diributkan adalah tentang nilai ekonomis dan total biaya pengadaan yang selalu dieret-eret, diperlambat dan terkesan digagalkan prosesnya, karena merasa rekomendasi tim ahli bencana dalam teknologi tidak akan menghasilkan balik modal dan manfaat ekonomi kepada negara atau pemerintah. Pun juga kepada masyarakat, kesadaran masyarakat dalam hal kebencanaan ini sangat rendah. Khususnya di mematuhi peraturan dan ketaatan mau membuat bangunan rumah atau sejenisnya sesuai standar yang ditetapkan. Masyarakat nusantara harus disadarkan bahwa kita hidup di wilayah rawan bencana, sehingga harus ada penyesuaian agar korban jiwa kelak tidak semakin banyak, namun minimal bahkan kalau bisa tidak ada.

Pemerintah mulai sekarang juga harus tegas didalam kelola tata ruang dan wilayah. Artinya apa? Artinya adalah harus ada tindakan tegas melakukan relokasi wilayah pemukiman bagi yang emmang berada di jalur-jalur merah bahaya gempa. Kedepan, harus ada zona merah gempa, zona merah tsunami, dan zona merah erupsi gunung api.

Kalau kita belajar dari Eropa. Di negara-negara Eropa disana ada 4 musim yang selalu terjadi secara periodic, yang akhirnya mengharuskan mereka memutar otak mencari solusi bagaimana mereka bisa bertahan hidup disana. Nah, hasil solusi ini akhirnya menjadi semacam SOP dan mekanisme wajib, dan akhirnya dari tahun ke tahun setiap ada periodisasi musim, mereka selalu dapat melewati musim-musim tsb dengan lancar dan tidak mengakibatkan banyak korban jiwa. Harapannya, kedepan kita Indonesia juga harus memaksa diri untuk memacu dan memutar otak untuk mencari solusi terkait gempa bumi, tsunami dan gunung api, agar kedepan solusi bagaimana kita bisa bertahan hidup disini dengan jumlah korban minimal dapat terlaksana dan terwujud dengan baik.

Inilah pentingnya perencanaan dan komitmen serta respon serius terhadap realisasinya.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?