Urun Rembuk Membangun Psikososial Di Ruang Bencana


Dari awal hari bencana gempa tsunami Palu hingga sekarang sudah terhitung berapa hari sudah terjadi? Sudah 24 hari kurang lebih. Hingga saat ini program tanggap darurat dan pencarian masih terus berlangsung walaupun banyak yang sudah harus berlapang dada mengiklaskan.

Mendadak dan masifnya bencana yang ada di Palu ini melahirkan keterkejutan, kecemasan akut, kebingungan, tertegun dan pandangan kosong bagi para korban. Walaupun reaksi2 tsb dikatakan wajar didalam sebuah bencana. Tapi saya pikir siapa pun yang dirundung didalam situasi ini, lalu banyaknya keluarga meninggal dan hilang pasti akan menimbulkan duka mendalam yang luar biasa. Bahkan kerap kali menimbulkan rasa bersalah berlebihan bagi para korban2 yang selamat “kenapa mereka tidak bisa menyelematkan keluarga mereka”. Akhirnya ini yang membuat para korban yang terlalu over waspada, sulit tidur, konsekuensi emosi yang tidak stabil, halusinasi, mimpi buruk dan kesehatan fisik psikologisnya terganggu. Akibatnya para korban saat ini sangat sensitif, gelisah, dan mudah marah.

Catatan ini kenapa penting? Catatan ini sangat penting, mengingat hasil riset dan data dari Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan daerah Sulawesi Tengah adalah salah satu provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 11,6% atau hampir 2x lipat prevalensi nasional yang hanya sebesar 6% saja. Dengan dasar inilah, menurut saya pemerintah harus sigap tanggap menyiapkan pemulihan psikososial bagi para warga korban bencana tsunami ini. Kenapa? Karena tsunami dan likuefaksi di Palu dan sekitarnya ini tidak hanya menghilangkan dan memindahkan sebuah wilayah, akan tetapi ia juga menghilankan struktur dan jejaring sosial yang sudah terbangun sebelumnya saat ini. Ini tentu perlu dipikirkan dan dipertimbangkan. Karena pasti kita akan membangun fisik dan psikis seakan-akan dari nol.

Jika sebelumnya ada warga yang menjadi lurah, pak RT, kepala rumah tangga, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat yang dituakan, tiba-tiba struktur itu hilang. Tentu hubungan tentangga dan sesama warga ini pun terkoyak. Dan ini jelas berbeda jauh dengan kondisi bencana gempa saat di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2006 dulu.

Oleh karena itu, solusi atas semua ini adalah struktur sosial yang pernah ada di masyarakat korban bencana Sulteng harus mulai direorganisasi lagi, sudah harus mulai dibangun lagi. Walaupun ini cara yang tidak mudah. Apalagi banyak bagian-bagian yang sudah hilang, lebih baik membuat struktur sosial yang benar-benar baru.

Makanya, ini harus ada pengorganisasian ulang, entah itu berbasis barak agar terjadinya privasi dan trauma healing yang tepat agar anak2 yang shock tidak berubah menjadi trauma berat.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?