Pemimpin Daerah Seorang Milenial, Bisa Gak Ya Itu?


Pemimpin itu harus idealis, apalagi pemimpin muda. Saat ini, jelas Indonesia membutuhkan anak2 muda yang kritis dan mampu menjadi penggerak perubahan. Idealisme anak muda perlu menjadi pelengkap (melengkapi kepemimpinan sebelumnya) dan kunci perubahan negeri ini. Meskipun saya percaya banyak sekali tekanan untuk terus berubah mengikuti sistem dan birokrasi, tetapi idealisme dan kepemimpinan kritis dan bersih harus dipertahankan. Kalau katanya Tan Malaka dari kata2nya yang saya ingat adalah “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh anak muda. Oleh karena itu, haruslah itu dilengkapi dengan janjinya, karena pemimpin dihargai rakyatnya karena pemimpin menghargai janjinya.”

Otonomi daerah menurut saya bisa melahirkan pemimpin2 daerah generasi baru yang inovatif, segar ide dan penuh dengan kecepatan bekerja. Mereka bisa bereksperimen, melakukan dan menjalankan prinsip2 kebijakan publik dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Sehingga efek sampingnya adalah transparansi, antikorupsi, partisipasi public, dan local budgeting menjadi sangat berkembang dan berjalan dengan cepat.

Selain itu, mereka juga semakin memahami bahwa kekuasaan itu harus berorientasi pada pelayanan publik, entah itu di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sektor2 penting lainnya yang mengandung kesejahteraan bagi rakyat.

Oleh karena itu, saya menyebut era otonomi daerah hingga berjalan ke sekarang mampu melahirkan pemimpin2 inovatif, muda, cerdas dan idealis. Sehingga bentuk kepemimpinan saat ini pemimpin tidak hanya selalu dipenuhi figur2 dari Jakarta atau militer (tentara2). Akan tetapi warga sipil berprestasi juga punya hak untuk bisa dipilih. Kenapa seperti itu? Karena bagi saya kepala2 daerah itu menjadi semacam alternatif kepemimpinan baru. Karena kekuasaan harus diorientasikan kepada pelayanan publik rakyat. Mutlak itu. Dan zaman2 otonomi daerah ini salah satunya melahirkan figur2 contoh berpengaruh, seperti Joko Widodo yang saat ini menjadi presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia. Presiden Jokowi menurut saya adalah sosok pemimpin sebagai ‘anak kandung pertama’ kepala daerah yang pertama kali dipilih langsung tahun 2005 sebagai Walikota Solo yang kemudian menjadi Gubernur Jakarta dan Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain Jokowi, kepala daerah generasi pertama yang dilahirkan dari otonomi daerah adalah seperti Bambang DH dan Tri Rismaharini (Risma) walikota Surabaya, lalu Ridwan Kamil dan Bima Arya sebagai walikota Bandung Bogor, lalu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur Jakarta, lalu Muhammad Azwar Anas bupati Banyuwangi, lalu Nurdin Abdullah sebagai bupati Bantaeng Sulawesi Selatan, dan Yoyok Riyosudibyo sebagai bupati Batang Jawa Tengah. Menurut saya, teladan dari kinerja beberapa kepala daerah yang inovatif ini menyebabkan para pemilih di seluruh Indonesia belajar satu hal, yaitu mereka menggunakan parameter kinerja kepala daerah ini untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah mereka. Tidak mengherankan jika para pemilih mengharapkan bupatinya walikotanya gubernurnya melakukan perbaikan dan perubahan sebagaimana tokoh2 yang sudah melakukan diatas.

Lalu bagaimana dengan pemimpin2 milenial? Saya pikir, alternatif kepemimpinan yang dilahirkan dari proses otonomi daerah berkualitas ini akan mendorong makin banyaknya para pemimpin2 muda, milenial, segar, inovatif, fresh idenya dan penuh dengan kecepatan bekerja akan terlahirkan.

Saya optimis proses itu akan melahirkan pemimpin2 berkapasitas berkapabilitas dengan requirement kualitas satu.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?