Sorotan Terang Politik Para Milenial


Menurut saya, terlalu dangkal jika orang perorangan hanya melihat kami para generasi milenial dalam konteks kontestasi kepentingan Pilpres 2019. Terlihat semua itu hanya lips service dan sesuatu yang dipatut-patutkan. Seharusnya hal yang menjadi substansi paling outentik adalah: “Bagaimana membuat, menyusun dan membangun Indonesia apa yang telah dan yang akan diwariskan para elite politik saat ini kepada para kaum-kaum milenial kedepan, sebagai pemilik sah masa depan Indonesia?”

Sah-sah saja jika substansi yang dikejar para elite politik saat ini dari kami hanya faktor elektabilitas. Setelah kita melakukan eleksi, ya sudah, ditinggalkan. Karena faktanya hanya tindakan dukungan itu yang ingin dikejar. Kenapa seperti itu? Data yang saya buka dari Litbang Kompas menunjukkan bahwa terdapat 80juta jiwa atau sebesar 40% suara milenial dari 100% lumbung suara untuk 2019 besok.

Saya fikir kita harus menyiapkan kandidat2 muda, pemenangan2 muda, kalangan2 eksekutif muda yang dianggap dekat dengan zaman milenial saat ini dan digital technology. 

Selain menampilkan figure. Yang secara simbolis merepresentasikan kaum dan generasi muda, konsepnya harus dibangun muda. Artinya adalah roadmap pembangunan bangsa dan infrastruktur lainnya harus dekat dengan anak muda dan didalam hal itu mulai melibatkan anak2 muda potensial, berprestasi, dan menginspirasi. Disamping ini akan merebut hati dan pikiran mereka, ini akan menjadi benih2 legacy, benih2 warisan generasi tua ke generasi muda masa depan. Saya fikir, jika dilakukan dengan cara ini kalangan milenial tidak akan melabuhkan election/ pilihan mereka ke orang/ pihak lain, ia akan memilih kita bahkan ia akan ikut berjuang memastikan kemenangan dari kubu yang didukungnya. Namun, jika yang kita lakukan sebaliknya bahkan melupakan pesan penting tsb, maka tidak usah kaget jika tiba2 mereka menolak, berbalik dan bahkan menjadi semacam badai besar yang harus dihadapi jika akhirnya harus head to head dengan konsep milenial dan masa depan.

Jika kita belajar dari karya Simon Sinek, dalam Start with Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action (2009), disitu dijelaskan bahwa kunci perubahan sosial itu berada pada kemampuan kita menjawab pertanyaan yang paling mendasar, yaitu: “Mengapa sebuah tindakan itu harus dilakukan?”

Didalam tulisan itu, Sinek menjelaskan dalam sebuah studi kasus tentang keberhasilan seorang Pendeta Kristen yang progresif, yaitu Martin Luther King Jr yang menghimpun 200ribu orang Amerika Serikat di Lincoln Memorial untuk melakukan “Penyuaraan kesetaraan sosial dan hak-hak dasar warga negara Amerika Serikat pada tahun 1963”. Keberhasilan Martin Luther pasti tidaklah jauh dari jawaban kongkret dari sebuah pertanyaan atau penyuaraan: “I have a dream, yakni saya memiliki sebuah mimpi besar”. Mimpi Martin yaitu tentang generasi masa depan yang menempatkan seluruh warga negara dengan apapaun jenis warna kulitnya, keyakinannya, dan latar belakangnya punya posisi yang setara, tidak ada diskriminasi. Dan niat baik ini akhirnya gayungnya bersambut, bahwa mimpi2 Martin tentang masa depan keluarga, anak, dan masyarakat tentang kesetaraan dihargai dan dinilai sebagai kontribusi yang sangat berharga dan punya dampak di masa depan.

Memang apa harapan dan mimpi para milenial? Menurut saya, kalau ini tidak diungkap atau diumbulke/ diangkat ke permukaan, maka akan terus paradoks. Karena faktaya generasi milenial Indonesia tidak berminat leadership dalam konteks politik. Mereka hanya tertarik leadership dalam konteks entrepreneurship, socioprenuership dan digital technology karena dianggapnya mengandung kecerdasan, inovasi, kolaborasi, kepercayaan diri, dan kecerdasan sosial yang tinggi.

Kenapa seperti itu? Hasil riset CSIS 2017 menyebutkan bahwa hanya 2,3% generasi milenial yag tertarik di politik, dan dianggapnya politik tidak cerdas, mengajarkan pecah belah, adu domba, intrik kelicikan, dan pengajaran untuk tidak mudah trust each other. Disamping itu memang jelas sebenarnya, faktor moderasi dan pemicu utama juga adalah lebih pada situasi poitik kita yang hanya menampilkan tontotan2 tidak patut. Faktor inilah yang membuat kita selalu tidak bisa menjawab pertanyaan: “Mengapa kaum milenial harus berjuang bersama para elit politik di panggung politik sana?!”

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?