Mempertanyakan Daya Tahan Demokrasi Diawali Dari Elektoral Level Lokal Desa


Kata bijak banyol yang saya ingat dari seorang Sujiwo Tedjo namun membikin mikir adalah:”…kenapa orang Indonesia selalu mempromosikan batik, reog? Kok korupsi gak dipromosikan? Padahal korupsilah budaya kita yang paling mahal.”

Saya fikir kita sepakat ya, bahwa antusiasme warga yang datang di tempat pemilihan menjadi indikator bahwa partisipasi politik di level lokal sudah berjalan dengan baik. Tapi kadang menggelitik juga cuitan para 'dewa-dewa politik' di Jakarta sana, yang mengatakan bahwa “kemenangan itu bukan ditentukan banyak hal, namun kemenangan itu ditentukan di TPS, makanya kita harus melakukan pemastian didalam hal tsb.”

Kontestasi kepala desa serentak di sejumlah wilayah dan daerah, menurut saya tidak hanya menambah kemeriahan perayaan demokrasi, melainkan juga ini pesta rakyat yang harus dibangun terus menerus interaksi politiknya. Tujuannya satu, apa itu? Menguatkan demokrasi kita.

Nah, kalau umpama kondisi demokrasi malah semakin lemah, lantas bagaimana itu solusinya? Itulah kenapa saya tergelitik menulis fenomena tulisan ini yang semoga kedepan kita ada semacam peta mempetakan kendala-kendala lapangan dan teknis kunci operasionalnya bagaimana. Yang paling penting untuk diketahui adaah desa sebagai struktur yang paling bawah dalam organ negara harus bisa menjadi basis penentu untuk perkembangan model demokrasi yang baik. Karena mau tidak mau, percaya tidak percaya, desa atau pemilihan kepala desa tetaplah sebuah dinamika kejadian sebagai cermin dari mikrodemokrasi yang ada di Indonesia dan dunia.

Tentang kendala yang saya tangkap, yaitu sbb: (a) Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang lemah. Ini bisa kita lihat dari proses perekrutan kepemimpinan dari tingkat paling bawah desa, hingga nasional. Mereka selalu bergerak lambat dalam transparansi, akuntabilitas, dan meritokrasi; (b) Banyaknya fenomena pembusukan demokrasi (democratic decay) dari level paling bawah desa-nasional, yang ditunjukkan dari: (1) suap politik; (2) politik keluarga; (3) dan ‘ritual’ politik. Buktinya apa? ini (suap politik) ditunjukkan dari pemilihan kepala desa yang sudah menjadi jamak memberikan insentif ke warga, dari bentuk pemberian uang, paket bahan pokok, makan gratis, sampai penyediaan kendaraan (mobilisasi) pada hari pemilihan. Bahkan ada kepala desa yang sampai membuka tenda di depan rumah mereka dengan makanan yang siap hidang dan santap untuk warga yang datang. Bahkan tidak kurang saat hari pemilihan, 'serangan fajar' berupa penjemputan dan uang saku pasti diberikan oleh calon. Tentang politik keluarga, ini dibuktikan dengan banyaknya belasan pasangan suami istri yang bersaing. Salah satu faktor utamanya jelas munculnya politik keluarga berbasis Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) Nomor 112 tahun 2014. Di Permendagri tsb diungkapkan bahwa pemilihn kepala desa minimal 2 orang berdasarkan pasal 23. Jelas peraturan ini mendorong beberapa desa yang hanya memiliki calon tunggal memasangkan keluarganya istri atau suaminya. Artinya, pelarangan adanya kotak kosong dalam pemilihan kepala desa berkorelasi memicu munculnya kontestan yang nepotis. Ini kedepan tolong diperhatikan; (c) Adanya ritual politik dan politik keluarga yang menjadi wabah hulu hingga hilir demokrasi. Mekanisme demokrasi hanya dipandang sisi prosedur semata, seakan-akan ini hanya dilihat sekedar menggugurkan kewajiban. Inilah yang disebut ritual demokrasi yang bisa membusukkan demokrasi (democratic decay).

Untuk bahasan ritual politik. Hal-hal yang mendukung demokrasi makin busuk (democratic decay) apa saja? Yakni antara lain: (1) gejala suap dan politik keluarga; (2) matinya meritokrasi; (3) toleransi terhadap deviasi yang rendah; (4) lemahnya efikasi politik; (5) lingkaran yang distorsif.

Lalu tentang potensi yang kita ada yang kita punya di peta demokrasi desa kita cara mengetahuinya bagaimana itu? Caranya yaitu dengan perspektif monografi politik berbasis desa. Objek tembaknya siapa? Objek tembaknya adalah gejala suap politik dan politik keluarga yang menjadi akar berkembangnya gejala deviasi menjadi lebih luas.

Saya melihat, bahwa penguatan desa kedepan harus didasarkan pada pemetaan sosial politik desa (monografi demokrasi desa) yang benar. Jadi bukan hanya sekedar memotret demografis dan infrastrukturnya saja, melainkan juga pada peta orientasi futurist kedepan dan kecenderungan sikap (rasa percaya) masyarakat desa terhadap 3 komponen penting dalam civic culture, yaitu: (1) individu; (2) institusi; (3) dan prinsip-prinsip umum yang mengatur kehidupan yang bersifat kolektif.

Secara strategi, hal yang harus diperhatikan adalah terkait gejala arus balik. Maksutnya bagaimana itu? Maksutnya adalah seharusnya demokrasi desa sebagai bagian reformasi desa harus bisa menjawab pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dari yang paling bawah.

Saya percaya, track record kepercayaan publik masyarakat desa terhadap seseorang/ individu selalu bisa menjadi pijakan kepemimpinan outentik yang baik kedepan. Disitulah letak masyarakat/ publik desa meletakkan trust-nya, meletakkan kepercayaannya kepada kita.

Penutup. Dalam kondisi darurat korupsi, pejabat negara akan tetap mencuri secara silih berganti. Sebanyak koruptor masuk penjara, sebanyak itu pula regenerasinya yang menggarong negara kita. Tolong mulai pikirkan mitigasi resiko dan pemberantasan dini terkait hal ini.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogykarta
Tulisan Dilindungi Hak Cipta!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?