Bangunan NKRI Pasca-Pemilu


Bagaimana cara mengokohkan bangunan NKRI? (a) pastikan Republik kita makin 'bersih' dari KKN, (b) pastikan daya saing tinggi dibandingkan negara lain, (c) pastikan kabinet diisi orang2 yang tepat, tidak terpasung jabatan2 strategis dengan politisi2 transaksional. Karena kerja mereka hanya di momen pemilu, bukan di momen real/nyata di lapangan.

Ini memang konsekuensi demokrasi (demokrasi atau democrazzy ya?). Panggung tersedia bagi siapapun yang memenuhi administrasi untuk terlibat. Dari dinamika ke dinamika lain, generasi baru akan terlahir. Generasi 'robot bayaran' atau generasi negarawan. Orang2 kayak gini tadinya tidak dikenal luas, berkat panggung politik mereka dikenal luas. Tentu kita paham, memang mereka yang terkenal tapi kita kan gak pernah tahu siapa pengontrol mereka dibalik layar? Cukup diketahui, yang sakti itu ya orang di belakang layar itu. Bukan orang yang dibranding sebagai public figure.

Alasan orang menjatuhkan pilihan juga sebenarnya caranya subyektif. Dari rakyat rasional sampai yang emosional ngrombol jadi satu. Namun, itulah daulat rakyat lima tahun sekali. Jika pilihan rakyat adalah sosok kompeten yang berintegritas, harusnya ini yang membuat rakyat semakin sejahtera. Inilah korelasi positif dengan makin menjauhkan kita dari garis kemiskinan. Namun realitas elit tidaklah seperti itu, semua ini kesepakatan, semua ini transaksional Bung. Panggung demokrasi ya panggung transaksi. Urusan sanggup tidak terbukti dengan penguasaan masalah, itu urusan belakangan.

Terlalu banyak calon amatir tanpa rekam jejak testable dengan kekuasaan membuat daftar merah korupsi di KPK makin tinggi/ banyak. Even seseorang itu katanya sudah teruji dengan pengetahuan kekorupsian. Namun kekuasaan tetaplah kekuasaan Bung. Memang seberapa kuat dirimu? Nyatanya keputusan bukan di dirimu, tapi di orang lain. Kalian hanya perpanjangan tangan, yang kalau ditracer audit tidak akan ketemu, karena disistemkan berlapis. Tapi uang hasil transaksionalnya tidak ada lapis tebalnya, dapat bisa langsung transfer ke rekening masing2 tanpa birokrasi ribet. Atau minimal dititipkan ke orang terdekatnya.

Niat baik saja tidak cukup. Tim autokoreksi yang berbalik jadi rival, bisa jadi bara api yang tidaklah mudah dipadamkan. Disini, akan ditandingkan siapa watak transaksional dengan watak pejuang independen; apalagi dimoderasi dengan umat, untuk perjuangan dunia akhirat. Yakin, semangatnya tidak akan luntur sampai titik ajal menjemput. Dia akan terus membidik, dia akan terus menyerang. Identitas berintegritas memang penting dalam hal ini.

Lalu apa koreksi demokrasi? Sejak era reformasi dan otonomi daerah, Republik Indonesia sudah melahirkan banyak politisi lokal nasional yang naik ke pentas strategis. Kebangkitan nasional pun terbilang lambat melaju ke lantai global. Negara2 tetangga Asia kita saja sudah banyak menyalip kita entah dengan cara industrialisasi maupun pembangunan sumber daya manusia. Contohnya, India. PDB perkapita (2018) negara ini sudah 1,5 kali lebih kecil dibandingkan Indonesia. Sekarang saja India sudah menjadi bagian dari penguasa ruang angkasa bersama2 Amerika Serikat, Rusia, dan China.

Pemilu sejatinya sebuah momentum. Untuk koreksi, untuk refleksi perjalanan. Dan evaluasi kesehatan demokrasi akibat pembajakan politisi oportunis. Yang lebih menyakitkan adalah mereka datang hanya menjelang pemilu, eh saat terpilih perilaku kerja mereka malah menjauhi rakyat. Yang lebih ajur lagi, malah berkonspirasi dengan pejabat dengan membajak jatah kesejahteraan rakyat. Intinya, jiwa mereka lebih miskin dibandingkan rakyat miskin.

Pemilu sejatinya kesempatan bagi rakyat menghukum siapa yang tak berprestasi dan siapapun yang tidak mengapresiasi yang berprestasi. Saya fikir itulah hak pilih kita secara arti dasar yang paling rasional. Yang perlu selalu berhati-hati adalah akan selalu ada usaha memanipulasi suara rakyat. Politisi disruptif akan selalu memainkan emosional seseorang dibandingkan rasional seseorang.

A country deserves its leaders. Jika negara dikelola dengan profesionalitas, kebijakan politik diatur berkualitas, minim kebocoran anggaran, maka benefit terbesar akan mudah dinikmati rakyat kecil. Negara pun akan hidup untuk rakyat, bukan rakyat hidup untuk negara.

Pemilu hanya sebuah pesta demokrasi, sebuah ritual politik 5 tahun sekali. Tapi kualitas ritual ini akan me move-on sebuah negara untuk kesejahteraan bersama di masa yang akan datang. Kitalah penjaganya, kitalah pejuangnya.


Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?