People Power Yang Sumbang Yang Tak Ayal Seperti Suara Bebek Ngoceh


Jelas sebenarnya, bahwa demokrasi itu ya people power. Lalu apa hubungannya yang dibicarakan oleh Amien Rais? Hubungannya hanya di asal njeplak (ngomong) dan ngolak-ngalik kata saja. Tujuannya satu. Bikin gaduh!

Dislokasi people power menjadi bergeser sehingga mengisyaratkan masyarakat untuk bergerak dan melakukan perlawanan. Jelas sebuah kesalahan vatal yang besar. Kenapa? Karena seharusnya terminologi people power itu sama dengan popular control, yakni kontrol publik yang mengacu pada seluruh siklus pemerintahan yang taat administratif. Sehingga ini menjadi linier (berkorelasi positif) seperti yang dimaksut oleh Abraham Lincoln, yakni "dari, oleh dan untuk rakyat!".

Demokrasi itu artikulasi kedaulatan rakyat. Jangan didislokasikan. Kita harus kritis menanggapi konteks2 sensitif yang bikin gaduh seperti ini. Pesta yang seharusnya mencari kesejatian pemimpin Indonesia malah dicoreng langsung dengan kegaduhan. Ini menjadi serius, karena yang ngomong bukan lagi kapasitas pengamat atau komentator. Dia yang seharusnya menjadi bapak bagi semua orang. Seharusnya...Walaupun memang politik praktis di luaran sana, cara perangnya ya dengan ADU GERBONG, adu elit..tapi, aaASUdahlah.

Menggertak dengan cara people power ya sah2 saja, cuma tidak elok. Strategi ya strategi, tapi ya caranya bukan seperti itu; people power sebagai ultimatum ancaman. Saya fikir inilah yang harus digaris bawahi sebagai pekerjaan rumah.

Pemilu atau voting dengan kesepakatan prosedural jelas salah satu makna dari people power. Mekanismenya, siapa yang paling banyak didukung dan pendukungnya, dialah pemenangnya. Semua orang harus legowo, menunjukkan sikap ksatrianya, dan menunjukkan sikap persahabatannya. Deklarasi menang ya deklarasi menang, tapi kok semua wajahnya sedih tidak ada yang happy, "..ucapan tidak bisa membohongi ekspresi hati Bro". Sekali lagi, jangan tunjukkan sikap brutal dengan membawa2 people power. Entah dikatakan atau tidak, nyatanya kapasitas people power untuk aksi brutal itu ada.

Ini memang menjadi PR, dan tugas kedepannya. Bahwa pemilu masih dihantui ketakutan praktik curang. Sekarang dan kedepan, jelas ini menjadi tugas penting bagi Pemerintah, DPR MPR, lembaga independen, dan seluruh rakyat Indonesia ini. Jangan belokkan semua ini sebagai bentuk demokrasi elektoral jalur jalanan.

Lesson learn atau pelajaran penting yang bisa diambil apa? Kegagalan demokrasi elektoral seakan-akan diartikan sebagai pembenaran demokrasi jalanan, demokrasi yang selalu gaduh, selalu ribut. Kenapa mereka mau melakukan itu? Karena mereka punya kepentingan kekuasaan, bahkan deal kekuasaan kalau perlu. Membuat "we" yang harusnya berarti "the people" menyempit dan berubah maknanya menjadi kontestan "i/ me". Sebuah transaksi yang ironi, sebuah keniscayaan dalam bernegara.

Jujur saya melihat, bahwa demokrasi kita memang masih sumbang. SARA dijadikan alat kekuasaan dan ajang rivalitas. Pemilu memang membuka ruang untuk adu kuat, adu dukungan, adu hebat, adu argumen, tapi bukan berarti adu hoax, adu SARA, adu perpecahan dengan sarang agama.

Jangan membuat semua pesta ini menjadi ajang rivalitas kelompok religius. Ingat, kalian berdua itu berasal dari kelompok sekuler-nasionalis, tapi kenapa terperangkap dengan perangkap rivalitas agama?!

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?