Sel Kanker Radikalisme?


Saya kadang bingung juga ya tentang pengemisnya seseorang dg kekuasaan. Kolot malah bagi saya menawarkan idealisme yg dibeli. Harusnya dia sadar, bahwa kematangan itu sebuah proses hidup. Dan hati-hati pada satu hal, tentang seni menggambar tanpa sebuah penghapus. Yes, seni menggambar tanpa sebuah penghapus. Ya, cukup kita2 saja yg paham 'bahasa2' seperti itu.

Saya melihat, sudah waktunya berhenti bersikap kekanak-kanakan, kalau berani ya gentle saja. Head to head ketemu, silahkan muncul didepan muka lempar-lemparan pisau, dialog bermusyawarah. Bukannya malah main belakang, beretorika dalam logika pribadi ttg rasa was-was serta curiga tak matang dan terkesan seperti anak kecil. Hati-hati lho, kebanyakan nyinyir tanpa data tak pelaknya kamu sendiri ternyata Sengkuninya.

Kita tidak bisa semena2 menyebut orang yang tidak setuju dengan pendapat kita sebagai ekstrimisme/ radikalisme. Kecuali untuk kasus JAD 10 Oktober 2019 yang menimpa Wiranto, Menkopolhukam, di Pandeglang, Banten. Bagi saya (dalam pandangan keagamaan), kejadian ekstrimisme ini ranah amaliyah non-mahdhoh yang kadang konyol penanganannya kalau tidak tepat. Contoh, “babi itu Haram”. Dengan haramnya babi, bukan berarti babi tidak boleh dan tidak punya “Hak Hidup”. Tetap punya no ya. Itu harus dijadikan catatan. Sama mirip seperti contoh “Sholat Subuh itu Wajib”, iya betul sholat subuh itu wajib. Namun wajibnya sholat subuh hanya terjadi di waktu-waktu sholat subuh, yakni jam 4 pagi waktu subuh hingga habis/ bergesernya fajar/ muncul sinar matahari. Kalau jam 12 siang? Ya sholat subuhnya haram. Gak boleh dilakukan. Yaa ini mirip2 cara penangannya dengan kasus2 ekstrimisme yang membawa2kan agama sebagai basis kebolehan, justifikasi, dan penidak-bolehan atas tindakan suatu hal.

Tuhan sendiri “radikal”, makanya dibuat Surga dan Neraka. Tapi Tuhan itu maha rohman rokhim, sehingga dosa2 umat yang banyak diampuni bila ia mau taubatan nasyuha. Jadi, kalau digaris bawahi. Ini semuanya ini tentang mindset dan bagaimana kita bijak membangun dosis tepat dalam bersosialisasi serta bermasyarakat.

Saya masuk ke ranah taktis, keamanan, militer, dan kepolisian ya. Memang benar, bahwa ibarat tubuh/jasmani. Radikalisme atau ekstrimisme itu ibarat sel kanker yang ada di sebuah tubuh atau lingkungan. Sewaktu-waktu (bahkan mungkin bisa lebih cepat) bisa berimbas dan beresiko sangat mematikan. Dan ini jelas harus ada kesadaran warga atau antar warga untuk saling mengenali anggota warga di RT/RW tempat mereka tinggal. Sifat tertutup warga harus diambil solusinya oleh pak RT/RW atau lurah. Ini menunjukkan tanggung jawab pengayom warga sekaligus ‘tokoh bapak’ bagi seluruh warga-warganya. Kasus penusukan Wiranto (Menkopolhukam lama) 10 Oktober 2019 di Pandeglang, Banten. Jangan sampai terjadi kembali.

Kadang julid memang penting, dan ada banyak pentingnya juga. Walaupun julid berlebihan tidaklah bisa dibenarkan. Apalagi bahan baku julidnya didasarkan dari gosip2 dan pendapat2 orang yang cenderung tendensius dan tidak ada unsur objektivitas dengan cek dan ricek. Karena langkah ampuh meredam ekstrimisme/ radikalisme adalah hadir di lingkungan itu, dan memastikan kita selalu berinteraksi aktif secara sosial dengan warga2 kita. Sekali lagi ya, hadir di lingkungan itu.

Saya berikan catatan2 bahaya yang harus kita waspadai terkait ekstrimisme dan radikalisme. Bahwa:

(1) cara gerilya efektif para radikalist yang dilakukan agar punya dampak signifikan adalah (a) komunikasi yg intens di pesan instan; (b) lalu berlanjut ke rapat umum yg dilakukan secara offline maupun online; (c) memberikan wawasan radikalisme/ekstrimisme dengan mengacaukan pemahaman agama; (d) pemimpin kelompok atau agama menginisiasi pertemuan intensif (kopi darat), terkhusus kepada orang2 yg terindikasi sudah tertular radikalisme/ ekstrimisme ; (e) setelah mau, mereka melakukan training pra-militer dg dalih persiapan antisipasi aksi-teror; (f) umumnya, pemimpin kelompok sudah pintar. Mereka biasanya mengubah ‘cara bersosialisasi’, dan memilih lokasi2 yang diinginkan; (g) eksekusi lapangan sesuai keinginan (semau2) pemimpin kelompok tsb.

(2) ada beberapa ciri indikasi-indikasi keberadaan radikalisme (ekstrimis) berkedok agama, yaitu: (a) punya sifat tertutup dan enggan bersosialsasi dg warga sekitarnya; (b) tidak mau terbuka dengan berapa sebenarnya jumlah pemukim yang ada di rumah mereka; (c) terkesan aktivitas mbulet saja didalam rumah atau terkesan tidak punya aktivitas di luar rumah. Kalaupun ada aktivitas di luar rumah, tidak dilakukan secara rutin; (d) memiliki aktivitas dalam rumah yang tertutup, dan memungkinkan warga sekitar tidak bisa/sulit mengaksesnya.

(3) hasil riset Hussein Tahiri dan Michel Grossman tahun 2013 dalam bukunya Community and Radicalisation: An Examination of Perceptions, Ideas, Beliefs and Solutions Throughout Australia menyebutkan bahwa ada 4 faktor seseorang terpapar ekstrimisme/ radikalisme yaitu (a) bisa disebabkan indikator personal individual; (b) budaya sosial; (c) pemimpin agama dan komunitas; (d) dan bisa disebabkan indikator politik.

Memang benar, bahwa harus hati2 dengan radikalisme daring atau radikalisme lewat jalur online. Karena strategi penyebarannya ada 2, yaitu (a) bisa melalui corong/pipa paham agama yang lemah; (b) dan yang paling sering adalah melalui “pengacauan” pemahaman agama dengan cara mengacaukan pemahaman umat dengan ayat2 yang mendukung aksi ekstrim mereka.

Kalau kita melihat, ekstrimisme atau radikalisme sebenarnya bukanlah barang baru. Cuma saja, cara berkomunikasi dengan pola online virtual mereka inilah yang jadi catatan fenomena baru.

Itulah yang harus kita hati-hati dan menjadi catatan penting. Karena ektrimisme zaman sekarang juga sudah berkembang sesuai industri 4,0.

Cara menyerang mereka secara online bisa juga kita sebut mereka sudah memasuki zaman ektrimist 4,0.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?