Membangun UU Sapu Jagad, Omnibus Law


Memang betul, bahwa change is painful. Few people have the courage to seek out change. Most people won’t change until the pain of where they are exceeds the pain of change. 

Omnibus Law sangat rumit. Ini saja saya perlu belajar lama untuk mengamati mana saja poin-poin yang perlu dikonstruksikan, khususnya dari tulisan Praktisi Hukum Bisnis, pak Andre Rahadian. Namun daripada itu, ini sebuah gagasan yang patut dipertimbangkan dan direalisasikan. *dengan catatan-catatan tertentu.

Memang apakah itu Omnibus Law? Apakah mudah menggantikan puluhan Undang-Undang? Hal apa saja yang harus diperhatikan pemerintah? Serta langkah apa yang harus ditempuh untuk melancarkan proses ini?

Salah satu bagian terpenting dalam program prioritas periode kerja saat ini adalah pembentukan Omnibus Law. Memang apa itu Omnibus Law? Omnibus Law adalah Undang-Undang Payung, yang menggantikan beberapa undang-undang sekaligus secara lintas sektoral. Istilahnya, UU ini adalah UU yang sedang dibesut pemerintahan saat ini sebagai UU yang bisa sakti mandraguna, ya sejenis Undang-Undang Sapu Jagad. Memang apa tujuan dibuatnya Omnibus Law? (a) untuk mengatasi tumpang tindih peraturan undang-undang yang terjadi. Dan tentu ini bukanlah tugas yang gampang. (b) untuk “standarisasi pasal-pasal bermasalah” dari 71-74 UU sektoral, dan ini diharapkan bisa menjadi solusi untuk proses kodifikasi hukum pada isu-isu besar di masa sekarang dan mendatang. Khususnya terkait perkembangan ekonomi digital dan perlindungan investor.

Konsep Omnibus Law sebenarnya bukanlah konsep baru dalam dunia hukum. Di negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon seperti Amerika Serikat, Kanada, Irlandia, dan Singapura. Konsep Omnibus Law sering digunakan untuk mengubah, mencabut dan meratifikasi beberapa UU sekaligus, dengan membentuk UU Payung.

Kalau di Amerika Serikat, biasanya mekanisme yang digunakan adalah Omnibus Bills, yakni terkait isu-isu multisektoral sekaligus. Mekanisme Omnibus Bills selalu melibatkan setiap pemangku kepentingan, badan-badan pemerintah, dan komite-komite yang berkaitan.

Kalau di Indonesia sebenarnya konsep ini pernah diimplementasikan dengan menggunakan prosedur yang sudah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum “yang secara langsung mencabut” sejumlah UU tentang pemilu dan pembentukan UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan yang sekaligus merevisi beberapa ketentuan dalam UU Perbankan, UU Bank Indonesia, dan UU Otoritas Jasa Keuangan.

Memang apa cakupannya? Cakupannya mendukung pemberdayaan usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Sayangnya, peraturan ttg UMKM saat ini tersebar di beberapa peraturan perundnag-undangan dengan sektor yang berbeda-beda. Baik dalam definisi, pengaturan, dan kepentingan masing-masing. Contohnya, kriteria UMKM saja banyak yang berbeda-beda. Ada yang mengacu pada kriteria kuantitatif, ada yang mengacu pada kualitatif. Kok bisa? Ya bisa saja, antara UU dan BPS saja berbeda. Dasar UU adalah UU No. 20 Tahun 2009 tentang UMKM. Dasar BPS adalah jumlah kriteria ketenagakerjaan, yakni 1-4 orang karyawan adalah usaha mikro, 5-19 orang karyawan adalah usaha kecil, dan 20-99 orang karyawan adalah usaha menengah. Kalau Kementrian Keuangan menggunakan istilah “Pengusaha Kecil”, dengan definisi pengusaha yang selama 1 tahun buku melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar. Untuk mengatur pengecualian pajak bagi UMKM dan pengusaha2 kecil lainnya.

Lalu apa yang harus dicermati sebagai potensi masalah disini? Yang harus dicermati seksama adalah luasnya cakupan Omnibus Law yang mengakibatkan berbagai potensi masalah. Salah satunya, resiko bahwa proses pembentukannya dianggap tidak sesuai dengan prosedur perancangan UU yang telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Inilah yang membuka potensi banyaknya pertentangan-pertentangan dibentuknya Omnibus Law di Indonesia. Belum lagi ini kalau diajukannya judicial review baik di tingkat Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung. Artinya, semua orang mengakui ini inovasi yang baik, namun belum siap terhadap resiko-resiko yang ditimbulkan.

Lalu strateginya? Strategi dan jalan keluarnya adalah pemerintah perlu mengambil langkah-langkah pencegahan. Caranya, pemerintah sebaiknya merevisi dulu UU No. 12 Tahun 2011 untuk mengakomodasi prosedur khusus dalam pembentukan Omnibus Law yang lebih efisien efektif, yang tentu juga mengatur keterlibatan badan pemerintah dan para pemangku kepentingan yang jumlahnya lebih banyak dari pembahasan RUU pada umumnya. Revisi ini akan mengatur adanya UU Payung dengan hierarki diatas UU biasa, yang mempunyai kuasa hukum bersifat lintas sektor dan dapat merevisi banyak undang-undang lainnya secara serentak.

Sebagai suatu konsep hukum yang belum pernah diterapkan secara formal di Indonesia, pembentukan dan implementasi Omnibus Law tentu bakal banyak penolakan dan tantangannya. Salah satu solusi yang paling gampang adalah dengan membentuk Tim Ahli Khusus. Kenapa? Karena tetap saja pemerintah harus mengedepankan harmonisasi hukum, dan kepentingan publik diatas kepentingan badan pemerintah dengan efisien efektif.

Penutup. Banyak yang bilang Omnibus Law adalah cara terbaik menghancurkan kesejahteraan para karyawan/ pekerja. Namun, terkait apapun itu kendala teknis. Saya setuju bahwa segala bentuk kendala regulasi harus bisa kita sederhanakan, harus kita potong, dan harus bisa kita pangkas habis.

Salam,

Bahrul Fauzi Rosyidi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?