Bergesernnya Peta Bisnis Telekomunikasi


Saya cenderung lebih setuju dengan prinsip kecerdasan adalah bagian dari kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan.

Strategi adaptasi memang strategi yang paling manjur saat ini. Kenapa? Karena kalau kita membahas bisnis telekomunikasi, arah perubahan pasarnya akan dimenangkan oleh adaptasi teknologi baru yang cenderung minimum pengadaan aset dan teknologi yang fisik sekali. Setidaknya saya melihat, arah bisnis telekomunikasi kedepan bukan lagi bisnis menara, walaupun bisnis telekomunikasi masih sangat bergantung dengan menara telekomuniasi. Masa depan baru akan ditawarkan oleh Fiber Optic antar menara yang dipakai sebagai alternatif. Jadi, akan muncul tren bisnis baru telekomunikasi kearah layanan terintegrasi dengan Fiber Optic. Ini jelas bagus, karena kondisi bisnis sudah cenderung tidak sentralisasi lagi, namun berubah stabil ke desentralisasi.

Peta bisnis dan penguasaan pasar menara telekomunikasi sekarang sudah bergeser. Kok bisa? Saya membahas data pasar ya.  Ini terjadi gara-gara akhir-akhir ini ada konsolidasi internal di Grup Telkom. Bahwa PT. Daya Mitra Telekomunikasi (Mitratel) sudah siap membeli 6.050 unit menara miliknya PT. Telekomunikasi Selular (Telkomsel). Nilai transaksi jual beli menara ini mencapai Rp 10,3 triliun.

Untuk diketahui bahwa kedua anak perusahaan TLKM ini sudah meneken kontrak MOU Jual Beli Bersyarat pada tanggal 14 Oktober 2020 yang lalu. Jenis MOU tsb adalah CSPA, Conditional Sale and Purchase Agreement. Rencananya, setelah segala hak dan kewajiban sudah selesai, maka Mitratel akan menambah unit menara telekomunikasinya hingga 22.000 unit. Dengan langkah ini, Mitratel kedepan sangat jelas akan menjadi market leader menera telekomunikasi di Indonesia, yang akan menggeser posisi TOWR (PT. Sarana Menara Nusantara Tbk) yang sekarang masih punya jumlah menara sebanyak 21.271 unit.

Sejak transaksi MOU diatas, Grup Telkom memang langsung menguasai pasar menara telekomunikasi, ya dibayangkan saja ini adalah gabungan menara Mitratel dan Telkomsel yang akan mencapai 34.000 unit menara. Pemain dominan lainnya selain market leader tsb diatas adalah TRIG atau PT. Tower Bersama Infrastructure Tbk dengan jumlah menara sebanyak 15.540. Oh ya, tambahan penting. Kendala lapangan yang harus diperhatikan dalam hal ini apa? Saya melihat ada dua, yaitu: (1) Otoritas daerah mulai membatasi menara dan masyarakat mulai menolak adanya menara besar, (2) Bisnis ini berpotensi akan berubah, tapi yang pasti kebutuhan menara telekomunikasi dibandingkan fiber optic dirasa pasti masih ada. Hal yang harsu dilakukan memang harus berani adjustment, yakni penyesuaian dengan adopsi teknologi baru.

Kalau masalah sudah terpetakan, lalu apa potensinya? Baik, saya mengawali dari catatan makro. (1) Rame-rame UU Cipta Kerja yang kemaren itu, ternyata bermanfaat memaksa penggunaan infrastruktur (pebisnis telekomunikasi lainnya) untuk memberikan fasilitas bersama, ini tentu akan mempermurah (mengefisiensikan) biaya operasional yang terjadi. Karena dipakai bersama bisa lebih efisien, para operator bisa menjadi lebih murah. (2) Ada sebuah fakta, bahwa langkah konsolidasi yang dilakukan oleh Group Telkom ini dilakukan adanya rencana ingin melantai di bursa dengan membawa Mitratel lewat IPO. Tanpa adanya konsolidasi menara, IPO yang akan dilakukan oeh Mitratel tidak akan menarik. Dari sisi pengamatan bisnis, ini jelas sekali bahwa aksi korporasi yang dilakukan Mitratel adalah salah satu strategi bisnis untuk meningkatkan kemampuan infrastruktur telekomunikasi Mitratel. Proses pengalihan sejumlah 6.050 menara Telkomsel ini akan memperkuat tulang bisnis secara fundamental dan akan menciptakan added value yang kuat bagi Mitratel.

(3) Dan ini terakhir. Konsolidasi MItratel ini rencananya akan dilakukan secara bertahap. Kenapa? Karena jika IPO, maka jumlah menara maupun rasio-rasio keuangan, Mitratel harus mendekati pemain lain menara untuk memenangkan pasar. Dan kalau ini bisa dilakukan, tentu ini bakal ada perubahan bisnis menara kedepan yang signifikan.

Penutup. Kita harus ingat, kebenaran itu bukan di posisi kita. Karena kita tidak mungkin bisa mengubah situasi sendirian, makanya kita harus ditantang untuk banyak mendengar, kolaborasi dan berubah untuk diri kita sendiri. Pilihan perjuanganya memang selalu tiga, menciptakan perubahan, menyesuaikan perubahan, atau menuntut perubahan itu.


Salam,


Bahrul Fauzi Rosyidi

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tulisan dilindungi hak cipta!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?