Melihat Potensi Energi Terbarukan During Dan Pasca-Pandemi

 


Energi terbarukan mirip juga dalam mindset berpikir, karena alam memiliki energi tak langsung yang kreatif yang merasuki pikiran dan pemikiran. Parahnya, tidak banyak orang yang menyadari bahwa sebagian orang sudah menghabiskan banyak sekali energi hanya untuk menjadi biasa-biasa saja.

Memang masalah energi terbarukan during dan pasca-pandemi kita apa to di Indonesia ini? Setidaknya saya membaca ada 5 masalah paling sering kita temui di lapangan. Apa saja itu? yaitu: (1) jelas edukasi kesadaran EBT di masyarakat masih sangat rendah, yang melek EBT sedikit. (2) ada banyak harapan/ wacana, miskin implementasi. Sumber energi bersih kita saja yang masih dimanfaatkan 8.780 MW atau 1,1% dari 100% potensi eksisting yang ada, yaa bisa dikatakan selama ini pemanfaatan EBT tidak optimal. 

(3) pekembangan EBT tidak bisa menghindar dari harga jual listrik yang mepet-mepet. Sedangkan praktik business as usual membutuhan investor yg jelas menginginkan keuntungakan kan? Nah, ini gak sembhodo. Kalau pemerintah ditanya solusinya bagaimana, jawabannya selalu upaya EBT memang misi yang tidak mudah (ngeles). (4) DEN (Dewan Energi Nasional) sendiri dan ESDM menetapkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untk kebutuhan jangka panjang, sedangkan PLTS sendiri sangat mahal; efektif pemakaian hy 5-6 jam perhari. Kondisinya, jika pemakaian lbh dari 5-6 jam itu maka biaya investasi akan lebih besar; implementasinya: PLTS cenderung akan memasang panel2 surya, artinya butuh lahan khusus, ini lebih menyulitkan lagi kalau diterapkan di perkotaan besar. (5) untuk panel surya yang disambungkan dengan jaringan PLN bagaimana? bisa tidak? Ealah, ternyata banyak sekali policy yang melarang itu. Tidak ada komitmen dan kacaunya regulasi energi jadi PR yang serius harus diperbaiki, khususnya di tubuh PLN. PR-nya harus banyak policy yg diperbaiki agar ada sinergi yg sama-sama enak. 

Lalu peluangnya ada dimana? Peluangnya di wilayah volume. Bahwa Dewan Energi Nasional atau DEN bakal melakukan fokus realisasi pada 10,4% pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan 12,6% dari pembangkit listrik tenaga panas bumi dan EBT lainnya. Untuk target EBT yang awalnya hanya dipatok 5% di tahun 2013, kini ditingkatkan menjadi 23% di tahun 2025, dan targetnya di tahun 2050 akan menjadi 31%.

Kalau ini diseriusi, jelas target ini signifikan memberikan harapan besar bagi kontribusi negara terhadap penyediaan energi bersih.

Penutup. Keberhasilan pengembangan energi hijau terbarukan di Indonesia sangat penting kedepan, hanya realisasinya banyak dipertanyakan bisa apa tidak. Titik kuncinya tetap di komitmen para eksekutif dan stakeholder-nya. Kalau ini bisa tercapai, saya melihat tujan EBT sbg penopang utama energi nasional bisa sekali tercapai.

Catatan saya, wilayah strategis ini jangan sampai terjadi berulang kali praktik kebodohan yang berani mengalahkan kepandaian yang ragu-ragu. Ini area air keruh yang dominan para politikus bayaran senang masuk.


Salam,


Bahrul Fauzi Rosyidi

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tulisan dilindungi hak cipta!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?