BUMN Karya Kembang Kempis Atur Nafas

 

Kita harus bekerja keras bekerja cerdas; memaksa diri kita di kondisi sehat, agar di kondisi sakit menjadi terjamin dan lebih aman. Sama halnya dengan membangun perusahaan. Kegunaan pengalaman dan pendidikan salah satunya adalah membantu berpikir jernih yang tepat sasaran, intensif dan kritis. Jangan mau ditunggangi toxic relationship, kebohongan berisi kebodohan, karena itu seperti bom waktu. Kalau sudah terbukti toxic lebih baik tegas diawal, akan lebih baik dipithes wae ket awal, ben ra ngrusak tatanan.

Saat ini, jelas kondisi keuangan kawan-kawan BUMN Karya semakin tertekan akibat pandemik. Kondisi ini semakin suram karena para investor banyak yang menunda keputusan investasinya di ruas-ruas tol dalam case ini Waskita yang rencananya akan diinvestasikan. Akibatnya? Pendapatan tertunda, hutang tak kunjung terbayar tepat waktu.

Sebetulnya, kalau kita agak mau mengamati; bisa jadi lho, bisa jadi tekanan hari-hari ini terjadi dengan terlalu banyaknya penugasan-penugasan tidak penting dari pemerintah dan tingginya inefisiensi organisasi. Jadi, mau gak mau perlu harus ada rekondisi. Ini hanya opsi solusi saja. Kalau dirasa kasar, ya gak usah.

Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa jumlah rata-rata beban liabilitas kawan-kawan BUMN Karya meningkat 2,55% dari 2019 ke 2020, yakni Rp207,16 triliun ke Rp212,24 triliun. Kenaikan beban liabilitas tertinggi dialami WIKA sebesar Rp42,89 triliun menjadi Rp51,45 triliun. Untuk Waskita dan PP menyusut sekitar 4% dalam kondisi liabilitas Waskita yang paling berat, yakni di Rp89,01 triliun (data penutupan Desember 2020). Untuk rasio liabilitas Waskita jadi sorotan karena hutang menggunung. DER/debt to equity-nya mencapai 282,79% di kuartal III/2020.

Kondisi ini jelas menekan kawan-kawan BUMN Karya menyiapkan berbagai strategi dan cara meredam beban usaha. Ujung pangkalnya jelas kea rah pos hutang menggunung dan arus kas (cashflow) yang harus segera diperbaiki.

Kalau kondisinya seperti itu, lalu strategi keluar dari kondisi ini bagaimana? saya punya 4 sudut pandang solusi dalam hal ini, antara lain sbb: 

a). Pertama, harus mau melakukan 3 hal, restrukturisasi, divestasi dan investasi baru. Perusahaan harus membutuhkan restruktrurisasi agar tersedia cukup waktu dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya. Khusus untuk kasus Waskita, saat ini sedang memproses permintaan restrukturisasi yang melibatkan 52 bank. Cara ini harus digunakan, kalau tidak digunakan maka beban akan terkumpul didepan dan jelas ini akan sangat berat. Kondisi pelan-pelan saat ini, satu ruas sudah dieksekusi, satu ruas dalam proses, dan tiga ruas divestasi dengan pola share-swap.

(b) Kedua, melakukan strategi penerbitan utang. Cara ini sepertinya cara yang paling masuk akal untuk menjadi pilihan bagi kawan-kawan BUMN Karya. Apa tujuannya? Tujuannya menghadapi likuiditas yang ketat. Memang syarat melakukan ini kondisi Neraca dalam kondisi yang cukup kuat, sehingga mampu menyelesaikan daftar-daftar kewajiban perusahaan di jangka pendek.

c). Ketiga, opsi jalan keluar lainnya yang agak sadis/ ganas ya likuidasi. Atau meminta dana injeksi modal dari pemerintah, akuisisi oleh SWF, restrukturisasi melalui penjualan proyek agar ada uang yang bisa untuk membayar utang lancar, dan mempertimbangkan pilihan privatisasi. 

d). Keempat, solusi terakhir, agar agak kondusif dan bisa berangsur-angsur pulih ya implementasi kebijakan baru dari Kementrian Keuangan tentang PMK No.30/PMK.08/2021 tentang Tata Cara Pemberian Jaminan Pemerintah Pusat sebagai Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Harapannya, agar investor asing mulai melakukan pembelian aset BUMN Karya. Kondisi ini akan memungkinkan memuluskan rencana divestasi aset agar terlaksana dg baik. Apalagi divestasi sudah lumrah emnajdi Business Model BUMN Karya agar bisa dapat cashflow (arus kas), lalu hasilnya diputar lagi jadi investasi baru.

Penutup. Membangun kesehatan perusahaan BUMN seperti ini mirip dengan jiwa patriotisme dan harus bersih dari kepentingan. Karena patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Semua muncul dari aksi nyata, bukan basa-basi fiktif!


Salam,


Bahrul Fauzi Rosyidi,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?