Reformasi Competitiveness SDM Kelas Dunia, Memunculkan Magister & Doktoral Terapan Vokasi Berkelas Menajamkan Kejuruan SMK Mengubah Diploma 3 Menjadi Sarjana

 


Saya percaya, variabel moderator persaingan atau kompetisi yang bisa menjadikan kita selalu terpacu menjadi lebih baik. Industri dan manusia itu akan menjadi luar biasa ketika dia bisa mengajari dirinya sendiri bahwa semua sumber kekuatan kebahagiaan dan motivasi itu berasal dari dirinya sendiri. Agar senjata berjuang ini tepat guna dan tepat sasaran, bagi saya harus ada ilmu terapan yang teruji disitu. Pastikan TRL levelnya diatas 5 agar perjuangan hidup ini menjadi lebih berdasar dan elegan. 

Industri terapan itu kebutuhan pokok di lapangan, ilmu melangit tak bisa menginjak bumi ya sama saja. Di lapangan langkah berikutnya memang tidak mungkin terapan berjalan sendiri, harus dibantu logika inovasinya oleh teori dan pendekatan lompatan-lompatan lainnya. Sehingga pendidikan terapan harus linier hingga level pendidikan ilmiah tertinggi, harus punya target, kedepan banyak lahir profesor terapan andal Indonesia untuk dunia. Stepping stone-nya SMK kejuruan, Sarjana Terapan, Magister dan Doktoral Terapan, setelah doktoral membuat jumlah profesorship terapan makin banyak, jumlah karya product prototype dengan TRL level > 5 (technology readiness level) pun juga makin banyak. 

Indonesia harus serius mengimplementasikan pendidikan Vokasi agar gap lapangan dengan teori makin rendah, dan cepat meningkatkan kemajuan bangsa. Rujukan vokasi berkualitas sudah ada, minimalnya German dan Jepang. Tinggal kitanya bisa mengembangkan, menyesuaikan, dan membangun percepatan lompatan lebih tinggi. 

Banyak sekali masalah dan kendala-kendala yang kita hadapi dalam pembangunan kevokasian ini, garis besarnya antara lain: (a) Pendidikan Vokasi (SMK, S1/ Politeknik Terapan, S2 & Doktoral Terapan) belum maksimal dikerjakan serius di Indonesia. (b) Di lapangan juga banyak kualitas lulusan SMK, Politeknik tak selalu memenuhi syarat kualifikasi penyedia kerja, inilah yang membuat pengangguran masih tinggi (jumlah pengangguran SMK/ S1 Terapan lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA/ S1 Teori). Jadi SDM lulusan ini tidak memenuhi harapan industri atau pemberi kerja. PR berarti jelas di 2 hal, bisa memang SDM-nya tidak kompeten, bisa juga di kurikulum, magang/ immersion, kualitas modul dan tes yang tidak sesuai antara yang diajarkan dengan skill yang dikerjakan lulusan di lapangan. Harus ada cicip profesional dulu, sebelum para lulusan ini benar-benar terjun ke lapangan. 

Bahkan Ekonom Senior Faisal Basri dalam sebuah diskusi zoom juga menilai banyak pengangguran berasal dari lulusan Vokasi, bukan lajur S1 teoritis. Memang fenomenanya, banyak lulusan vokasi (SMK, S1 terapan, Magister & Doktoral Terapan yang sudah based sertifikasi) yang melamar jadi jabatan ttt, meskipun bidang yang diambil sama tapi ternyata kemampuan lulusan juga masih kurang kompeten juga. Ini yang seharusnya relevan malah tidak relevan. Berarti ada logika yang terbalik disini, ini jadi PR.

Atau masalah bisa berupa antara skill yang mereka miliki ditugaskan dilapangan berbeda pekerjaannya, tidak sesuai yang diajarkan. Hanya disuruh mengantarkan surat, fotokopi, membuat minuman atau memasukkan data ke komputer. Ini jelas percuma secara keilmuan. Seharusnya ini bisa dikerjakan sendiri oleh pekerja lain. Semestinya tenaga magang/ immersion harus dilatih dan disupervisi oleh perusahaan dan kampus itu sendiri agar pekerjaanya relevan sesuai modul dengan yang diajarkan.

Lalu solusi dan strategi yang harus dilakukan? Karena jelas Vokasi terbukti bisa menjadi peluang dan solusi utama dalam mengatasi masalah di Indonesia, khususnya kemiskinan akibat penyerapan tenaga kerja generasi muda yang rendah. Kalau secara langkah, apa yang harsunya dilakukan? Antara lain: (a) Memang dibutuhkan upgrading dan transformasi diploma ke S1 terapan, Magister dan Doktoral Terapan di setiap perguruan tinggi yang tumbuh beriringan satu payung kalau perlu dengan industri (skema link & match). Nantinya, lulusan ini bisa melanjutkan pendidikan S2/ S3 terapan di dalam dan luar negeri. Bentuk kurikulumnya based SKKNI level 6 dengan penerapan minimum 60 atau 70% praktik, sisanya teori. (b) Ini harus didukung agar mendorong peningkatan mutu pendidikan makin relevan di lapangan industri dan usaha. Kurikulum dan modul harus dihadirkan bersama sertifikasi keahlian, industri dan dunia kerja agar relevan. Jadi aspek soft skills kuat, kepemimpinan bagus, kemampuan ketajaman inovasi muncul dan keterampilan mumpuni. Bekal utama terapan ini tidak akan kalah dengan lulusan-lusan teoritis lainnya. Artinya sudah tidak kurang-kurang solusi yang bisa kita kerjakan. 

Kalau deteksi potensi dan peluang yang bisa kita upgrade dan kembangkan hari ini. Hasil deteksi data saya di Kemendikbudristek menunjukkan bahwa: (a) Kondisi potensi hari ini based eksisting dari DITJEN Vokasi sudah mengeluarkan 113 surat keputusan izin pembukaan program studi S1 Terapan. Dasarnya adalah minat masyarakat dan kebutuhan industri sdm-nya tinggi. Dari 113 kampus yang mendapatkan SK, ada 45 kampus bagian dari CF Vokasi 2021. Program CF (Competitive Fund) Vokasi minimalnya sudah membantu kontribusi nilai Rp 114 miliar yang memberi manfaat ke 6.000 mahasiswa dan 2.000 dosen. Program ini melibatkan 344 mitra indutri besar di Indonesia dengan 64 mitra SMK strategis. (b) Pelibatan mitra bisnis, industri dan usaha lewat program CF Vokasi saat ini sudah menghasilkan 464 kerjasama link & match dan penyerapan SDM lulusan Vokasi sesuai kebtuhan industri di lapangan. Peningkatan kualitas ini harus meningkat kedepannya. 

Penutup. Saya melihat, dalam kevokasian ini kita harus kompetitif ya, karena adik-adik mahasiswa harus mendapatkan pendidikan relevan yang baik dan dunia ini makin tumbuh semakin kompetitif, terspesialisasi, dan kompleks setiap bulan dan tahunnya. Ini menjadikan pendidikan vokasi penting dari zaman ke zaman. Kita harus siap dengan fakta-fakta yang tidak menyenangkan, ide asing, bahkan filosofi-filosofi asing dalam nilai kompetisi. Karena bagi saya khususnya, negara harus berani memberikan kebenaran dan solusi terapannya kepada rakyatnya menyesuaikan kebutuhan (supply demand) pasar persaingan sempurna di industri luaran sana. Jadi ada feedback loops yang jelas. 



Salam,


Bahrul Fauzi Rosyidi,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?