Black Campaign, Mitigasi Panggung Kebencian 2024

 


Betul. Balas dendam hanya menutup banyak pintu dan menghasilkan kepuasan semu. Balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu lebih baik dibandingkan musuh-musuhmu dan mampu membuktikan lebih unggul dalam segala hal. Drama-drama kehidupan hanyalah serbuk micin dalam racikan masakan pagi hari. Ubah dendam dengan kompetisi, karena kebencian kemarahan dan ambisi tidak mungkin kita bawa itu semua di akhirat saat kematian. Na’udzubillah min dalik. Manusia wajar marah, namun harus tetap cerdas dan cermat membawa diri.

Sesuai judul tulisan saya kali ini tentang black campaign, cara memitigasi panggung kebencian tahun 2024 besok. Kita akan banyak dihadapkan pada satu situasi menjadi orang yang leading dalam kampanye karena tingginya penguasaan persoalan lapangan, data, dan fakta. Akan banyak pemandangan di sekitar kita memilih jalur gampang dan diasumsikan “boleh ngawur”.

Perhatikan, panggung politik yang waras bisa saja berubah menjadi panggung kebencian jika kampanye hitam atau black campaign dipompa dikapitalisasi dan dieksploitasi terus menerus tanpa batas relevan. Ini hanya akan jadi barang dagangan liar, yang motivasi banyak orang partisipasi kadang aneh-aneh, tidak sedikit tentu urusan kepentingan pribadi dong. Jelas welo-welo itu. Keganasan ini berpotensi memangsa satu dengan yang lain, tentu memangsa persaudaraan berbangsa bernegara. Jadi identifikasinya, publik yang netral yang jernih harus dijaga agar masyarakat/ rakyat mendapatkan perbandingan dan pengetahuan sebelum menjatuhkan pilihan pada capres atau pemilu yang tepat.

Dalam catatan saya, setidaknya saya mengamati ada tiga masalah besar utama yang selalu jadi biang kerok, antara lain yaitu: (1) Pertama, penggerak roda demokrasi yang dijalankan dengan jiwa sakit. Jelas ini biang kerok lahirnya politik hegemoni, politik pendendam, dan politik penuh kebencian. Apa dasarnya? Untuk politik hegemoni, itu muaranya jelas tujuannya mendapatkan kekuasaan sebesar-besarnya. Lalu politik dendam, itu ditunaikan demi menebus luka-luka politik yang pernah tergores atau digoreskan. Terakhir, politik kebencian; itu terjadi dihayati bahkan jelas diamalkan demi menegasikan lawan politiknya. (2) Kedua, tingginya informasi hoax yang diserangkan di media sosial bebas bahkan media resmi. Para pelaku kampanye politis ini terbagi dua, yaitu ada yang profesional ada juga yang amatiran. Yang profesional dikenal sebagai Politikus Bayaran (Politikus Pesanan) yang mendukung calon ttt atau capres ttt demi mendapatkan manfaat akses otorisasi ekonomi dan akses politik suatu hari nanti. Umumnya orang-orang ini terlatih, terampil, senang memainkan retorika membalik-balik isu narasi untuk tujuan memojokkan capres kubu lawan. Gaya komunikasi mereka sarkastik, garang, dan provokatif. (3) Ketiga, tingginya kampanye politis yang dilancarkan secara amatiran oleh orang-orang awam politik yang bersikap partisan. Konten kampanye mereka biasana didominasi ujaran kebencian dan konten politik identitas SARA. Kalau bahasa pinggir jalan kita disebut “serangan waton suloyo”, asal membantah. Benar salah, urusan belakangan. Yang penting terlihat menang.

Lalu apa potensi dan peluang yang saya lihat dari situasi ini? Setidaknya saya melihat dua hal, antara lain: (1) Pertama, kampanye hitam atau black campaign itu sendiri. Kampanye ini akan muncul dalam serangan verbal, visual, auditif yang tidak berbasis obyektivitas dan keadilan. Dasar serangannya apa? Asumsi, spekulasi, sentiment, manipulasi, dan prasangka negatif. Itu wujudnya bisa berupa apa saja? Bisa hasutan, provokatif, dan fitnah. Lalu tujuannya apa? Jelas menghancurkan membunuh karakter orang yang menjadi obyek serangan. Selain itu, cara ini akan menjadikan isu SARA sebagai modal utama paling penting untuk mengeksploitasi dan jadi amunisi serangan andalan ke publik. (2) Kedua, kampanye negatif atau negative campaign. Kampanye ini berbasis gagasan yang didukung obyektivitas lapangan, data, dan fakta. Setiap pihak yang berkontestasi akan saling bersaing dengan menyodorkan kebenaran berbasis lapangan, data, dan fakta. Mereka ini akan saling memberikan tandingan bukti karya, gagasan, dan argumentasi. Semua hal akan terkonfrontasi serta terkonfirmasi dengan baik. Kalau dalam praktik demokrasi, pola gerak negative campaign ini adalah keniscayaan yang sah untuk dilakukan. Cara kampanye ini menarik untuk menunjukkan gagasan karya lapangan, data, fakta, dan bukti berbagai hasil pencapaian. Lalu ini juga bisa untuk menunjukkan kelemahan lawan sekaligus memojokkan karakter lawan politik yang dituju.

Kalau kendala-kendala dan potensi sudah dieksplor. Apakah ada strategi atau solusi khusus terkait hal ini? Ada. Setidaknya saya melihat ada lima kunci utama mengurai masalah ini, antara lain yaitu: (1) Pertama, kuncinya di pengendalian. Tanpa pengendalian, pemilu pilpres 2024 bisa jadi panggung insiden, pemilu ini bisa jadi panggung kebencian dengan semangat menebar permusuhan. (2) Kedua, kampanye hitam atau black campaign bisa ditekan praktiknya di lapangan melalui jalan pendidikan politik rakyat atau warga, terutama para pendukung parpol, dan capres. Elite politik punya kewajiban moral, ekonomi, sosial, politik, dan kultural untuk mendidik dan mencerahkan para konsetuenya. (3) Ketiga, politik harus dikembalikan pada rel budaya, dimana berpolitik berdemokrasi harus dijalankan secara cerdas, visioner, dan mengutamakan keadaban; logika, etika, moral, ilmu dan pengetahuan, dan hasil memperkaya nilai-nilai kehidupan. (4) Keempat, harus ada pemikiran cerdas dalam berwacana sehingga jangan dan tidak gampang emosional dan provokatif. Disinilah para elit politik memiliki tanggung jawab tinggi pada moral menjadikan pilpres 2024 ini sebagai panggung persaudaraan dan panggung demokrasi bangsa. (5) Kelima, didalam etika kontestasi demokrasi, kampanye hitam dilarang karena berpotensi menimbulkan konflik horizontal.

Penutup. Di tangan masyarakat yang cerdas pun bijak, pemilu pilpres 2024 diharapkan jadi festival budaya politik yang bermakna, menyejahterakan, dan membahagiakan. Kita perlu membentuk bahasa yang berkorelasi dengan faktor-faktor sensitif diluar sana. Tidak hanya dipicu oleh penggunaan diksi yang sembrono. Demokrasi yang sehat lahir dari pemikiran, perilaku etis, dan nilai-nilai ideal. Jangan mengotori diri dengan feodalisme, nepotisme, perilaku korup sistemik, dan komplektisitas kejiwaan primordial.

Keadilan harus ditegakkan, walaupun keadilan hari ini menjadi barang yang sukar ditemui. Sebagaimana filosofi pedang keadilan, ia tidak memenggal kepala orang yang tidak bersalah. Jangan sampai keadilan menjadi keadilan bayaran karena tegak pada yang bayar. 


Salam, 


Bahrul Fauzi Rosyidi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?