Black Campaign, Mitigasi Panggung Kebencian 2024
Sesuai judul
tulisan saya kali ini tentang black campaign, cara memitigasi panggung
kebencian tahun 2024 besok. Kita akan banyak dihadapkan pada satu situasi menjadi
orang yang leading dalam kampanye karena tingginya penguasaan persoalan
lapangan, data, dan fakta. Akan banyak pemandangan di sekitar kita memilih
jalur gampang dan diasumsikan “boleh ngawur”.
Perhatikan,
panggung politik yang waras bisa saja berubah menjadi panggung kebencian jika
kampanye hitam atau black campaign dipompa dikapitalisasi dan dieksploitasi
terus menerus tanpa batas relevan. Ini hanya akan jadi barang dagangan liar,
yang motivasi banyak orang partisipasi kadang aneh-aneh, tidak sedikit tentu
urusan kepentingan pribadi dong. Jelas welo-welo itu. Keganasan ini berpotensi
memangsa satu dengan yang lain, tentu memangsa persaudaraan berbangsa
bernegara. Jadi identifikasinya, publik yang netral yang jernih harus dijaga
agar masyarakat/ rakyat mendapatkan perbandingan dan pengetahuan sebelum
menjatuhkan pilihan pada capres atau pemilu yang tepat.
Dalam catatan
saya, setidaknya saya mengamati ada tiga masalah besar utama yang selalu jadi
biang kerok, antara lain yaitu: (1) Pertama, penggerak roda demokrasi yang
dijalankan dengan jiwa sakit. Jelas ini biang kerok lahirnya politik hegemoni, politik
pendendam, dan politik penuh kebencian. Apa dasarnya? Untuk politik hegemoni,
itu muaranya jelas tujuannya mendapatkan kekuasaan sebesar-besarnya. Lalu politik
dendam, itu ditunaikan demi menebus luka-luka politik yang pernah tergores atau
digoreskan. Terakhir, politik kebencian; itu terjadi dihayati bahkan jelas diamalkan
demi menegasikan lawan politiknya. (2) Kedua, tingginya informasi hoax yang
diserangkan di media sosial bebas bahkan media resmi. Para pelaku kampanye politis
ini terbagi dua, yaitu ada yang profesional ada juga yang amatiran. Yang profesional
dikenal sebagai Politikus Bayaran (Politikus Pesanan) yang mendukung calon ttt
atau capres ttt demi mendapatkan manfaat akses otorisasi ekonomi dan akses politik suatu
hari nanti. Umumnya orang-orang ini terlatih, terampil, senang memainkan
retorika membalik-balik isu narasi untuk tujuan memojokkan capres kubu lawan. Gaya
komunikasi mereka sarkastik, garang, dan provokatif. (3) Ketiga, tingginya
kampanye politis yang dilancarkan secara amatiran oleh orang-orang awam politik
yang bersikap partisan. Konten kampanye mereka biasana didominasi ujaran
kebencian dan konten politik identitas SARA. Kalau bahasa pinggir jalan kita
disebut “serangan waton suloyo”, asal membantah. Benar salah, urusan belakangan.
Yang penting terlihat menang.
Lalu apa
potensi dan peluang yang saya lihat dari situasi ini? Setidaknya saya melihat
dua hal, antara lain: (1) Pertama, kampanye hitam atau black campaign itu
sendiri. Kampanye ini akan muncul dalam serangan verbal, visual, auditif yang
tidak berbasis obyektivitas dan keadilan. Dasar serangannya apa? Asumsi,
spekulasi, sentiment, manipulasi, dan prasangka negatif. Itu wujudnya bisa
berupa apa saja? Bisa hasutan, provokatif, dan fitnah. Lalu tujuannya apa? Jelas
menghancurkan membunuh karakter orang yang menjadi obyek serangan. Selain itu,
cara ini akan menjadikan isu SARA sebagai modal utama paling penting untuk
mengeksploitasi dan jadi amunisi serangan andalan ke publik. (2) Kedua,
kampanye negatif atau negative campaign. Kampanye ini berbasis gagasan yang
didukung obyektivitas lapangan, data, dan fakta. Setiap pihak yang
berkontestasi akan saling bersaing dengan menyodorkan kebenaran berbasis
lapangan, data, dan fakta. Mereka ini akan saling memberikan tandingan bukti
karya, gagasan, dan argumentasi. Semua hal akan terkonfrontasi serta
terkonfirmasi dengan baik. Kalau dalam praktik demokrasi, pola gerak negative campaign
ini adalah keniscayaan yang sah untuk dilakukan. Cara kampanye ini menarik
untuk menunjukkan gagasan karya lapangan, data, fakta, dan bukti berbagai hasil
pencapaian. Lalu ini juga bisa untuk menunjukkan kelemahan lawan sekaligus
memojokkan karakter lawan politik yang dituju.
Kalau kendala-kendala
dan potensi sudah dieksplor. Apakah ada strategi atau solusi khusus terkait hal
ini? Ada. Setidaknya saya melihat ada lima kunci utama mengurai masalah ini,
antara lain yaitu: (1) Pertama, kuncinya di pengendalian. Tanpa pengendalian,
pemilu pilpres 2024 bisa jadi panggung insiden, pemilu ini bisa jadi panggung
kebencian dengan semangat menebar permusuhan. (2) Kedua, kampanye hitam atau
black campaign bisa ditekan praktiknya di lapangan melalui jalan pendidikan
politik rakyat atau warga, terutama para pendukung parpol, dan capres. Elite politik
punya kewajiban moral, ekonomi, sosial, politik, dan kultural untuk mendidik
dan mencerahkan para konsetuenya. (3) Ketiga, politik harus dikembalikan pada
rel budaya, dimana berpolitik berdemokrasi harus dijalankan secara cerdas,
visioner, dan mengutamakan keadaban; logika, etika, moral, ilmu dan pengetahuan,
dan hasil memperkaya nilai-nilai kehidupan. (4) Keempat, harus ada pemikiran
cerdas dalam berwacana sehingga jangan dan tidak gampang emosional dan
provokatif. Disinilah para elit politik memiliki tanggung jawab tinggi pada
moral menjadikan pilpres 2024 ini sebagai panggung persaudaraan dan panggung
demokrasi bangsa. (5) Kelima, didalam etika kontestasi demokrasi, kampanye
hitam dilarang karena berpotensi menimbulkan konflik horizontal.
Penutup. Di tangan
masyarakat yang cerdas pun bijak, pemilu pilpres 2024 diharapkan jadi festival
budaya politik yang bermakna, menyejahterakan, dan membahagiakan. Kita perlu
membentuk bahasa yang berkorelasi dengan faktor-faktor sensitif diluar sana. Tidak
hanya dipicu oleh penggunaan diksi yang sembrono. Demokrasi yang sehat lahir
dari pemikiran, perilaku etis, dan nilai-nilai ideal. Jangan mengotori diri
dengan feodalisme, nepotisme, perilaku korup sistemik, dan komplektisitas
kejiwaan primordial.
Keadilan harus ditegakkan, walaupun keadilan hari ini menjadi barang yang sukar ditemui. Sebagaimana filosofi pedang keadilan, ia tidak memenggal kepala orang yang tidak bersalah. Jangan sampai keadilan menjadi keadilan bayaran karena tegak pada yang bayar.
Salam,
Bahrul Fauzi
Rosyidi,
Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan
dilindungi hak cipta!
Komentar
Posting Komentar