Polarisasi Pemilih NU di Pilpres 2024

 


Perhatikan ya, saya percaya hukum alam “menanam angin, akan menuai badai”. Tolong berhati-hati. Ini bisa terjadi di fenomena polarisasi politik apalagi akan dicampuri dengan pertengkaran politis. Mana yang memang elit politik atau arus bawah? Atau politik yang memainkan narasi untuk mengacaukan persepsi arus bawah dan permainan money politic jelas ini cukup berbahaya. Apalagi struktur sosial kita cukup mudah reaktif jika berurusan dengan SARA. Sedikit ilustrasi pembuka, bahwa saat sekelompok rakyat berbunyi dan mulai berbisik-bisik membicarakan masalah dan serangan ke rivalnya, kita harus waspada dan belajar mendengar. Basis data harus dikuatkan, karena wawasan yang benar akan menuntun kita pada tindakan yang benar. Qobla a’malus shohih fahuwa al-ilmu shohih. Ini penting untuk jaga-jaga situasi NU. Sebagai pengingat bagi negara kita tentang pentingnya mitigasi SARA, bahwa sekelas Amerika Serikat saja kebas juga akhirnya dengan isu SARA politik Trump. 

Studi Haggard dan Kaufman (2021) menunjukkan bahwa polarisasi politik cenderung menjadi ancaman kemunduran atau backsliding dalam demokrasi. Kita harus jeli melihat perbedaan respon publik.

Saat ini menuju 2024 akan banyak terjadi polarisasi opini. Apa pandangan utamanya? Bagaimana melihat dan merespon perbedaan responnya? Adakah polarisasi politik di tubuh NU? Hasil survey bagaimana? ada beberapa poin riset yang mencermati bahwa kepercayaan politik di tahun 2024 para pemilih terpecah. Dimana posisi NU? Apakah lebih banyak diuntungkan ataukah dirugikan?

Saya mengidentifikasi polarisasi akan tampak tinggi pada lemahnya keterikatan psikologis masyarakat pada parpol ttt. Namun didalam masyarakat tsb konten atau isian jumlah warga NU akan dominan dan terpecah di berbagai partai politik, suara tidak mengkristal pada jenis partai politik ttt bahkan partai besutan hijau sendiri, malah tidak masuk dalam daftar monopoli pilih warga jam’iyah Nahdlotul Ulama.

Banyak alasan kenapa terjadi seperti itu, salah satunya: (1) Warga jam’iyah NU merasa aspirasi, opini dan impian harapan mereka malah bisa diwakili oleh parpol ttt, malah parpol warna hijau tidak mengakomodir; (2) Tingginya loyalitas jam’iyah NU kepada NU namun tidak parpol pengusungnya. Alasannya apa? Kekecewaan historis tentang dilengserkannya Gus Dur dan bacaan lebih mengutamakan transaksional (kadang malah jurus mabuk) dibandingkan idealism, (3) Indikasi berikutnya, tingginya koalisi parpol pada eksekutif atau pemerintah bukan tentu secara otomatis diikuti oleh kepuasan kinerja Presiden atau warga Nahdiyin. Rangkaian riset internal kami mengamati bahwa fluktuasi kepuasan mengalami naik turun yang tinggi, khususnya pada efektivitas kinerja dan kecenderungan stagnan.

Lalu perspektif alternatifnya bagaimana? Nah itulah masalahnya. Penjelasan polarisasi tampaknya sulit ditolak dalam mengkaji perbedaan respon warga NU atas kebijakan parpol pengusung di 2024. Proses konsolidasi parpol mungkin mampu jadi harapan, tapi belum tentu mampu meredam terbelahnya public 47% lainnya yang saya sebut kemaren. Karena itu kita butuh alat mentafsiran lain. Iseng opini saja, kemarin urusan kesediaan warga vaksin tidak vaksin saja public sudah terbelah di 54,9% tidak mau divaksin, dan 61% mau divaksin (ini riset Litbang kompas 2019). Apalagi ini tentang hajatan 5 tahunan sekali Pilpres 2024 yang selalu menegang tensi konfliknya. Berapa persen (%) besok public yang akan terbelah? Lebih baik kita omongkan sekarang sehingga menjadi mitigasi daripada besok kecolongan.

Lalu menurut saya, apa saja variable masalah dan kendala yang saya tangkap terkait hal ini? Ada banyak setidaknya enam masalah potret data yang menggambarkan masalah-masalah dan kendalanya hari ini ya, antara lain: (1) Pertama, kita harus hati-hati dengan polarisasi dan pembelahan politik (political cleavage) yang ekstrim, (2) Kedua, faktanya kita sudah butuh ruang demokrasi dan berkeadaban, (3) Ketiga, masalah pembelahan politik akibat konsekuensi penerapan sistem multi-partai. Bahwa pembelahan politik umumnya terjadi pada negara yang menerapkan sistem multi-partai. Ini konsekuensi logis dan perbedaan ideology, representasi, kepemimpinan, tokoh atau figure, dan tetap yang paling utama kepentingan masing-masing, (4) Keempat, masalah pembelahan politik akibat antara parpol dengan warga/ rakyat ternyata tidak sama keinginannya. Parpol tidak menjalankan keinginan rakyat, melainkan keinginannya sendiri. Lalu bagaimana nasib warga NU kalau begitu? (5) Kelima, problem ideologi partai yang menawarkan ideologi baru khilafah. Bahwa partai untuk mendapatkan kekuasaan menawarkan ideologi baru khilafah, yang terus menerus ditawar-tawarkan didengung-dengungkan ke publik, bahkan tidak segan mengatakan ideologi Pancasila kita sesat. Mereka gak sadar Pancasila itu sudah final dan Pancasila itu ya khilafah yang sudah disepakati alim ulama dahulu dengan nama Pancasila, (6) Terakhir keenam, yaitu tawaran propaganda dan tingginya investasi kebencian yang cukup mengkhawatirkan. Investasi kebencian ini yang saya cukup khawatir di 2024 besok. Praktik demokrasi kita semoga tidak mengorbankan harapan dan impian pembangunan warga besar NU di seluruh tempat di Nusantara ini.

Uraian

Jumlah (%)

NU

42%

Muhamadiyah

9%

PERSIS

1%

Al-Wasliyah

1%

Lainnya

47%

Total

100%

Data hasil sebaran exit pool Kompas tentang jumlah warna anggota Nahdliyin didalam partai politik masing-masing:

Nama Partai

Jumlah Populasi Nahdliyin

Populasi Non-Nahdliyin

Jumlah Populasi Pemilih Partai

PKB

90,60%

9,40%

100%

PDIP

59,20%

40,80%

100%

NASDEM

55,80%

44,20%

100%

PPP

79,50%

20,50%

100%

GOLKAR

37,40%

62,60%

100%

DEMOKRAT

52,00%

48,00%

100%

PKS

11,70%

88,30%

100%

PAN

5,10%

94,90%

100%

GERINDRA

52,00%

48,00%

100%

Melihat data diatas. Lalu apa saja potensi atau peluang yang bisa kita ambil atau perhatikan? Saya melihat ada dua, antara lain yaitu: (1) Pertama, kita perlu menggodok produksi gagasan brilian inovatif dengan karya sinergi. Demokrasi dengan sendi-sendiri keberagaman di Indonesia dan dominasi jam’iyah NU yang toleran seharusnya membuat demokrasi Indonesia banyak membangun ruang-ruang bersama menggodok dan memproduksi dialog gagasan brilian inovatif dan punya unsur karya sinergi merawat jagad dan membangun peradaban kesejahteraan umat sebagaimana tagline NU hari ini. (2) Kedua, ekspektasi politik pembangunan banyak dititipkan kepada parpol-parpol berbeda yang malah cenderung bukan dari Rahim NU. Bahwa pilpres 2024 telah menanam embrio polarisasi politik bagi jam’iyah NU. Ini akan jadi konflik dalam masyarakat NU gara-gara ekspektasi politik pembangunan banyak dititipkan kepada parpol-parpol berbeda yang malah cenderung bukan dari Rahim NU (trust ke parpol NU rendah juga masalahnya) tidak sesuai harapan, malah menjatuhkan tokoh idolanya (Gus Dur), belum menemukan negarawan di tubuh parpol NU, hanya transaksional dan ambisi mengejar suara. Bukan menawarkan program berkualitas dan visioner, semua kader masih terjerat nama besar NU.

Lalu jika melihat situasi dan kondisinya seperti itu, apa strategi dan kebijakan yang tepat agar posisi kita diuntungkan atau minimal tidak merugikan posisi NU? Saya melihatnya dalam tiga hal, antara lain: (1) Pertama, harus dipahami bahwa politik etis penting dalam kajian kritis polarisasi, sehingga porsi kajian lapangan politik etis NU untuk para parpol harus disiapkan, tujuannya saat hari H kita sudah siap untuk bargaining position. (2) Kedua, dalam model-model tsb tolong temukan titik kepercayaan efektivitasnya dan letak efektivitasnya ada dimana? (3) Terakhir ketiga, kesadaran dan argumentasi warga NU terhadap 2024 dibutuhkan agar tidak salah pilih. Minimal para Parpol yang mau menjilat NU berkomitmen melaksanakan program-program NU sehingga warga NU tidak merasa rugi dan dimanfaatkan saja.

Apa harapan saya tentang polarisasi NU di pilpres 2024 ini? Saya berharap kalau dulu sempat terjadi pertengkaran simbolik “cebong kampret” lalu “kadrun togog”, di tahun 2024 tidak mengemuka lagi ide-ide semacam itu yang menjurus ke isu-isu SARA. Pertengkaran kalaupun ada diharap lebih ke visi pembangunan visioner produktif dan rasional. Bukan debat receh ricuh. Langkah kemarin masuknya Parbowo Sandi ke Kabinet cukup memupus pertengkaran. Nah 47% data saya ini jangan sampai di 2024 membesar angka persentasenya! Harus ada mitigasi, utamanya pertengkaran melalui online atau jagad maya.

Penutup. Buah manis hanya bisa dipetik dari pemilihan bibit yang baik dan cara menanam yang benar agar tidak korupsi. Kita berharap pemilu bisa dilaksanakan dengan damai. Karena impian pemilu seharusnya menguatkan rakyat tidak hanya di hak melainkan tanggung jawab kewarganegaraan dalam berdemokrasi. 


Salam,


Bahrul Fauzi Rosyidi,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tulisan dilindungi hak cipta!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?