Idul Fitri, War Takjil, dan Berstrategi Keberagaman Kolektif Pluralisme

 

Dicek saja ya, orang yang minim toleransi dan suka naratif fitnah dhobos pasti hidupnya sering dalam lingkungan yang homogen stuck yang begitu-begitu saja circle dramanya sehingga “gagap keberagaman dan pluralisme”. Realitasnya seorang bijak harus pemikiran terbuka dan berkomitmen mau menerima segala bentuk perbedaan pandangan di lingkungannya sebagai kekayaan. Kenapa? Karena keseragaman pikiran dan pemikiran adalah sungguh-sungguh memiskinkan kemanusiaan.

Sama halnya dengan momentum Idul Fitri, War Takjil, dan berstrategi keberagaman kolektif pluralisme, bahwa seharusnya idul fitri dan mudik lebaran bisa menjadi wasilah kita menaikkan indeks kebahagiaan orang-orang dalam beragama, bukan malah saling caci, dengki dan saling benci. Peran agama memangnya penting? Sangat penting, bahkan peran agama jelas sangat sentral. Data dari Varkey Foundation saja yang berjudul “Generation Z: Global Citizen Survey, 2017” menunjukkan bahwa tak kurang dari 93% dari generasi Z (usia 15-21 tahun) di Indonesia memandang komitmen pada agama sebagai “sumber kebahagiaan” (Nandini, 2017 dan Wahid, 2024). Ini cukup menarik. Realitas ini menunjukkan agama tidak lagi dipisahkan dari kehidupan hariannya. 

Merefleksi secara historis, sejak dulu memang masyarakat Indonesia dikelanl sebagai masyarakat yang religius. Hal ini membuat masyarakat yang dalam kepercayaannya terhadap masalah kehidupan sehari-hari, mulai upgrade menjadi "melapisi rasionalitas" dan "amal/ tindakan" mereka dengan agama. Kenapa agama penting? Disamping agama menjadi kebutuhan yang privat, agama di Indonesia juga dijiwai dalam Pancasila dan UUD 1945 tentang kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Saya ingatkan ini karena ini bukan hanya perspektif hukum, namun kenyataan empirik. Data Kemenag RI (Simas/ Sistem Informasi Masjid) tahun 2022 menunjukkan bahwa ada sekitar 299.644 masjid, 364.085 musholla, dan 54.375 majlis taklim yang ada di Indonesia. Ini belum ditambah dengan daftar pengajian-pengajian lain yang ada di hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra Miraj, Idul Adha, bahkan hari ini yaitu Idul Fitri. 

Lalu dimana strategi dan war takjil-nya? Strateginya adalah bagaimana membuat idul fitri hari ini diinternalisasi dalam kehidupan kita sehari-hari sehingga menjadi manfaat bagi orang lain. Hari raya seramai yang ada di Indonesia tidak akan ditemui di negara atau belahan dunia yang lain. Ini jelas menjadi traffic silaturahmi antar daerah antar titik wilayah secara masif. Peluangnya dimana? Gerakan ekonomi masif, satu keputusan saja konsekuensi logis/ konsekuensi realitas yang terjadi adalah ratusan ribu orang bergerak dari kota ke desa, dari satu wilayah ke wilayah lain yang ditempuh melalui darat, laut, dan udara. Anda cermati ya, surga ekonomi akan lahir dimana-mana. Apalagi mulai menata "tumpukan manusia" yang berjubel di dari bandara, terminal, hingga pelabuhan. Data eksisting Kemenhub RI menunjukkan tahun 2024 ini ada mencapai 71,7% atau sebanyak 193,6 juta orang bergerak dari satu wilayah ke titik wilayah yang lain. Angka ini signifikan lebih tinggi dibandingkan tahun 2023 (tahun Covid-19) yang hanya 45,67% atau 123,8 juta orang bergerak dari satu titik wilayah ke titik yang lain. Sebuah movement yang sungguh sangat signifikan angkanya. 

Ya inilah idul fitri, sebuah simbol gerakan perayaan kemenangan dalam jihad mencari nafkah di tanah rantau ke kampung halaman. Kenapa demikian? Jamal al-Banna dalam kitabnya Al-Jihad menyebutkan bahwa "jihad hari ini bukan untuk mati di jalan Allah SWT, melainkan untuk hidup di jalan Allah SWT (anna al-jihad al-yaum laisa an namuta fi sabil Allah wa lakin an nahya fi sabil Allah)”. Anggap saja, setelah 1 tahun para perantau ini mencari duit/ nafkah di tanah rantau perjuangannya, waktunya mudik lebaran ini sebagai momen berbagi rezeki kepada sanak keluarga dan para dhuafa-dhuafa miskin. Sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW bahwa berbagilah barang kekayaanmu termasuk barang harta ghonimah pasca-perang ke lingkungan terdekatmu dan sesiapapun yang membutuhkan dalam bentuk zakat maupun sedekah dan hadiah. Zakat itu wajib dan sedekah itu sunnah, namun jika 2 program ini secara konsisten terukur dapat terealisasi maka niscaya fuqoro’ dan para masakin sekurang-kurangnya dapat ditolong atau minimal membahagiakan mereka. 

Bahasa lain, idul fitri menjadi “the days of extending hands”, hari mengulurkan tangan untuk menaikkan indeks kebahagiaan orang melalui nafkah yang siap dibagi-bagi antar sesama yang lebih membutuhkan. Metodologi ini akan sangat membantu ukhuwah insaniyah, ukhuwah wathoniyah kita, dan ukhuwah Islamiyah kita sebagai bagian dari pondasi ketahanan bangsa. Lalu tentang fenomena "war takjil", ini adalah sebuah momentum kebersamaan dan toleransi; bukan hanya oleh orang islam melainkan juga oleh mereka yang non-islam untuk menyemarakkan kehidupan keberislaman dan toleransi antar umat beragama sepanjang Ramadhan. Kalua bahasanya Pendeta Steve Marcel: “Dalam beragama kita toleran, tetapi dalam takjil kita duluan! (Masykur: 2024). 

War takjil adalah sebuah fenomena sosial yang sangat khas Indonesia. Fenomena ini jelas 100% sulit kita menyaksikan fenomena ini negara-negara lain sesama muslim. Walau tampak pragmatis, fenomena war takjil memiliki dua makna. Pertama, kegembiraan dalam menjalankan ajaran agama. Kedua, war takjil mengindikasikan telah terjalinnya hubungan harmonis antara umat Islam dan umat agama lain di Indonesia. Dimana titik berstrategi keberagaman kolektif pluralisme antar umat beragama? Titiknya adalah di hubungan antarumat beragama di Indonesia memang berlangsung cukup baik. Indonesia yang plural berkali-kali terancam konflik, tetapi berkali-kali juga konflik dan perselisihan bisa diredam. Hubungan ini patut kita jaga. Dan alhamdulilah, kita syukuri kita bisa berhasil dan riang gembira beragama di Indonesia. 

Penutup. Kita perlu waspada jangan buang waktu dengan balas dendam, setiap orang yang menyakiti kita pada akhirnya akan menerima karmanya sendiri. Itulah komitmen pertumbuhan dan keberpihakan dalam social engineering expert dunia kolektif pluralisme. Ingatlah untuk kewaspadaan, racun dari ular berkepala dua itu masih ada obatnya. Tapi racun dari manusia bermuka dua, itu belum ada penawarnya. Mblangkon. Karena didepan kita lain, dibelakang kita lain. Ini jelas tentang inkompetensi mental, ber-mindset global, dan komitmen berkarya level peradaban. Semoga kita umat beragama terhindar dari manusia serigala berbulu domba semacam ini.


Salam,


Bahrul Fauzi Rosyidi,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tulisan dilindungi hak cipta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waton Suloyo, HB Politik Dhobos

Pemimpin Masa Depan

Bonus Demografi: Dimana Posisi NU, Santri, dan Masa Depan?